Dewan Sastra Nasional, Perlukah?

Maria Magdalena Bhoernomo
sinarharapan.co.id

Gagasan untuk mendirikan lembaga baru di bidang seni budaya, dengan label Dewan Sastra Nasional, sebenarnya bukan hal yang baru. Misalnya, pada tahun 1995 lalu, dalam acara Temu Penyair Nasional di Taman Budaya Solo, dalam perbincangan santai antarpenyair, gagasan tersebut pernah terlontar, tapi langsung disambut dengan gelak tawa.

Tapi, namanya saja gagasan, sebelum terwujud, maka akan bisa muncul kembali, meski dari otak dan kepala yang lain. Dan jika kini gagasan tersebut kembali muncul, ada sejumlah pertanyaan yang menyertainya. Misalnya, antara lain, seperti apa bentuknya sih? Siapa saja anggotanya sih? Program kerjanya apa saja sih? Dan sih, sih, sih lainnya.

Mungkin, bagi beberapa pihak, mendirikan lembaga semacam Dewan Sastra Nasional tidak perlu repot-repot, karena bisa langsung meniru seperti yang ada di Malaysia, misalnya. Namun, Indonesia bukanlah Malaysia yang relatif lebih mudah bagi kalangan sastrawannya untuk merangkul pejabat negara agar turut serta aktif mengurus masalah sastra. Bahkan, pejabat-pejabat di Indonesia cenderung alergi terhadap sastra, sementara itu kalangan sastrawannya pun cenderung alergi merangkul pejabat untuk turut serta mengurus sastra.

Memang, jika dilihat dengan kacamata ekonomi, perkembangan sastra tidak bernilai sama sekali. Dan karena Indonesia kini sedang membutuhkan banyak investasi untuk mengatasi krisis, maka masalah seperti perkembangan sastra dianggap tidak perlu dipedulikan lagi. Selain itu, dalam faktanya, sastra adalah suatu “cabang seni” yang sangat kering kerontang, sehingga tidak mungkin memberikan peluang untuk berkorupsi bagi pejabat negara. Dengan kata lain, jika ada pejabat negara yang bersedia mengurus sastra, pasti bukan karena punya niat untuk korupsi, sehingga akan dianggap aneh dan sok nyentrik.
***

Kalau misalnya Dewan Sastra Nasional bisa dibentuk barangkali pengurusnya terdiri dari para sastrawan yang kini tergabung di dalam majalah sastra Horison, atau yang berada di beberapa komunitas sastra di Jakarta, sehingga mereka akan mengalami “pembesaran nama” yang mampu mengalahkan nama-nama sastrawan di daerah. Dengan demikian, maka yang kemudian terjadi adalah terciptanya hegemoni pusat (Jakarta) di dalam banyak kegiatan sastra serta publikasi sastra yang pasti akan membuat cemburu bagi kalangan sastrawan di daerah-daerah.

Oleh karena itulah, Dewan Sastra Nasional mungkin tidak perlu ada, jika kedududukannya di Jakarta. Sebaliknya, jika kedudukannya di luar Jakarta, pasti kalangan sastrawan yang ada di Jakarta tidak setuju atau menentangnya habis-habisan, bahkan kalau perlu dengan unjuk rasa turun ke jalan atau melancarkan kampanye boikot di media-media nasional yang kebetulan berkantor pusat di Jakarta.

Ada gagasan menarik yang berkaitan dengan perkembangan sastra, yang sampai kini tidak terwujud, gara-gara muncul di daerah. Misalnya, gagasan untuk mengadakan tradisi tahunan atau lima tahunan pemberian hadiah sastra bertaraf nasional dengan label “Djarum Award” di Kudus yang bernilai satu miliar rupiah. Seandainya gagasan ini muncul di Jakarta, barangkali sudah terlaksana, atau setidaknya menjadi isu nasional yang digembar-gemborkan lewat media cetak nasional, meskipun nilainya berkurang, atau bahkan berlipat ganda sehingga di Indonesia ada sastrawan yang menjadi miliader.

Munculnya gagasan “Djarum Award” di Kudus tersebut, agaknya sudah cukup membuktikan, betapa sastrawan di daerah pun sebenarnya kaya gagasan yang hebat, yang jika dilaksanakan akan dapat mendukung perkembangan sastra kita. Selain itu, sastrawan daerah pun sebenarnya telah banyak yang berhasil menyelenggarakan acara-acara besar untuk mengembangkan sastra kita, seperti Temu Penyair Nasional di Solo, Konggres Cerpen Indonesia di Yogyakarta, Bali dan Lampung, dan Pesta Sastra di Tasikmalaya.

Dengan demikian, sekali lagi, jika Dewan Sastra Nasional jadi dibentuk, hendaknya tidak meremehkan sastrawan daerah untuk turut serta mengurusnya. Selain itu, sebaiknya kedudukannya tidak berpusat di Jakarta, karena Jakarta terlalu gersang bagi gagasan-gagasan hebat dalam rangka mengembangkan sastra kita. Dan buktinya, dalam beberapa dekade terakhir, hampir tidak ada acara sastra bertaraf nasional yang diikuti oleh banyak sastrawan daerah di seluruh Indonesia yang diselengarakan di Jakarta!
***

Jika Dewan Sastra Nasional jadi dibentuk, sebaiknya lebih banyak membuat program kerja yang berkaitan dengan upaya sosialisasi karya sastra. Sebab, selama ini, masalah sosialisasi karya sastra masih jauh dari cukup, karena terbentur oleh rendahnya minat baca masyarakat kita. Jika belakangan ada buku sastra yang mengalami beberapa kali cetak ulang, ternyata lebih disebabkan oleh teks-teks cabulnya yang memang paralel dengan maraknya selera masyarakat terhadap pornografi. Sedangkan buku-buku sastra yang lebih berbobot, tapi tidak melansir teks-teks cabul, nyaris tidak laku.

Harus diakui juga, betapa masalah sosialisasi karya sastra adalah persoalan klasik di negeri ini, sehingga sering muncul manuver-manuver yang dilakukan oleh sementara sastrawan ambisius yang ujung-ujungnya membuat mereka “mati muda”. Misalnya, karena sulit mencari penerbit profesional yang bersedia menerbitkan karyanya, banyak sastrawan (terutama yang muda-muda) memberanikan diri menerbitkan karyanya sendiri, tapi karena tidak laku dijual kemudian mereka kapok berkarya lagi.

Lalu, sering muncul ejekan yang dilontarkan kepada sastrawan muda: “Teruslah berkarya, kalau ingin selalu menjadi kere!” Ejekan demikian, bisa menjadi teror di banyak daerah, sehingga akibatnya semakin jarang muncul sastrawan muda yang berani menampilkan dirinya maupun karyanya. Bahkan, banyak komunitas sastra di daerah pun ikut-ikutan gulung tikar, karena dianggap sebagai komunitas kaum kere yang sama sekali tidak menarik di mata pemerintah daerah maupun masyarakat.

Dengan demikian, jika Dewan Sastra Nasional suatu ketika benar-benar bisa berdiri, masalah sosialisasi karya sastra selayaknya dapat dirumuskan menjadi agenda kerja utama, dengan tujuan memberi peluang bagi sastrawan untuk mampu hidup layak. Misalnya saja, bagaimana caranya agar siswa-siswa sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi memiliki tradisi membaca karya sastra dengan penuh minat dan apresiasi. Dan bagaimana caranya agar media-media audio visual memiliki tayangan sastra yang didukung banyak iklan sehingga para sastrawan tidak lagi tersisih dari gemerlapnya kehidupan selebriti di negerinya sendiri.

Mungkin, Dewan Sastra Nasional memang sangat dibutuhkan di negeri ini, bukan hanya karena kehidupan banyak sastrawan kita masih memprihatinkan, misalnya tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya karena makan saja susah, tapi juga karena sastra itu sendiri masih sangat terasing di tengah masyarakat luas, khususnya di media-media audio visual. Dengan kata lain, Dewan Sastra Nasional sangat dibutuhkan di negeri ini, karena nasib menjadi sastrawan bagaikan sebuah kutukan abadi. Betapa banyak sastrawan muda yang beberapa tahun silam masih produktif tapi kini telah lenyap seperti ditelan bumi.

Atau, Dewan Sastra Nasional memang sangat dibutuhkan di negeri ini, untuk memperjuangkan sastra agar lebih mendapat apresiasi dari pemerintah dan negara, misalnya agar semua meja kerja atau perpustakaan di kantor-kantor negeri dihiasi dengan buku-buku sastra karya para sastrawan kita. Ya, siapa tahu semua itu bukan sekadar impian indah.
***

*) Penulis adalah pengrajin sastra, tinggal di Kudus.

Leave a Reply

Bahasa ยป