Eddy D. Iskandar*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
KETIKA hendak membuat film “Atheis”, almarhum Syuman Djaya pernah mengatakan bahwa jika ingin membuat film Indonesia berwajah Indonesia, maka pilihlah cerita berdasarkan karya sastra Indonesia. Film “Atheis” sendiri berdasarkan roman terkenal karya Achdiat K. Miharja. Sebelumnya, Syuman ? salah seorang sutradara terkemuka kita lulusan sinematografi Moskow, pernah membuat film anak-anak berdasarkan karya Aman Datuk Majoindo “Si Doel Anak Betawi”, yang melambungkan keaktoran Rano Karno kecil dan sukses secara komersial. Syuman juga membuat film “Pinangan” yang diadaptasi dari karya terkenal pengarang Rusia Anton Chekov.
Sesungguhnya, sutradara kita yang dekat dengan lingkungan kehidupan sastrawan, bahkan sutradara memang dikenal pula sebagai sastrawan, seperti Asrul Sani, pernah membuat film berdasarkan karya sastra, seperti “Salah Asuhan” (Abdoel Moeis) dan “Kemelut Hidup” (Ramadhan KH). Bahkan pelopor film Indonesia Usmar Ismail, pernah membuat film “Anak Perawan di Sarang Penyamun” berdasarkan roman karya Sutan Takdir Alisyahbana.
Beberapa karya sastra lainnya yang pernah dibuat film, antara lain “Pagar Kawat Berduri” (Trisnojuwono), dan “Senja di Jakarta” (Mochtar Lubis). Bahkan, karya sastra berbentuk drama yang sangat dikenal “Malam Jahanam” (Motinggo Boesye) pernah pula dibuat film yang disutradarai Pitrajaya Burnama.
Kini, MD Entertainment setelah sukses membuat film berdasarkan novel laris karya Habiburrahman El Shirazy “Ayat Ayat Cinta”, konon sedang mempersiapkan pembuatan film “Di Bawah Lindungan Kabah” berdasarkan roman karya Hamka. Sedangkan Elang Perkasa Film akan membuat film berdasarkan karya Pramudya Ananta Toer “Bumi Manusia”, yang telah direncanakan sejak lima tahun lalu.
Sutradara film yang menaruh perhatian besar terhadap karya sastra, terutama ditunjukkan oleh sutradara yang memang dekat dengan kehidupan sastrawan dan mengikuti perkembangan karya sastra. Syuman Djaya misalnya, pernah berniat hendak membuat film tentang kehidupan penyair Chairil Anwar, bahkan ia sudah menyelesaikan skenarionya. Sebelum film itu terwujud, Syuman meninggal dunia. Pada perkembangan berikutnya, produser film ternyata lebih tertarik untuk membuat film berdasarkan novel populer yang masuk kategori paling laris.
Kampus dan remaja
Film “Karmila” yang disutradarai Ami Priyono, mungkin bisa disebut sebagai film yang mengawali trend film berdasarkan novel pop. Selanjutnya, warna kampus ? dengan setting Fakultas Kedokteran, muncul pula pada film berdasarkan novel Marga T. lainnya, yang sukses luar biasa ? baik film ataupun lagu-lagunya (ciptaan Eros Jarot) “Badai Pasti Berlalu”.
Dunia kampus yang lebih hidup, ditampilkan pada film “Cintaku di Kampus Biru” garapan Ami Priyono berdasarkan novel Ashadi Siregar. Film tersebut, sekaligus melambungkan popularitas Roy Marten sebagai pemeran utamanya. Sekuel cerita “Cintaku di Kampus Biru” berikutnya, juga diangkat ke layar lebar, yaitu “Kugapai Cintamu” garapan sutradara Wim Umboh dan “Terminal Cinta” garapan sutradara Abrar Siregar. Pada film yang disebut terakhir, pemeran utamanya Rendra.
Sukses film yang mengangkat romantika kehidupan kampus universitas, membuat produser melihat ruang lain yang dianggap potensial penontonnya yakni film yang mengungkapkan dunia remaja SMA. Adalah film “Gita Cinta dari SMA” (Eddy D. Iskandar) yang mengawali sukses film-film tema remaja berdasarkan novel.
Tahun delapan puluhan, cukup banyak film berdasarkan novel karya pengarang wanita, antara lain “Bukan Sandiwara” (Titie Said), “Jangan Ambil Nyawaku” (Titie Said), “Kabut Sutra Ungu” (Ike Supomo), “Dalam Kabut dan Badai” (Mira A. Sardjono), dll.
Di era reformasi, daya tarik novel yang laris, terbukti masih menjadi incaran para produser film. Bahkan hampir bisa dipastikan, novel yang banyak peminatnya, akan menjadi film yang sukses secara komersial. Yang menarik, trend novel paling laris di era reformasi, justru novel yang bernuansa islami, seperti “Ayat Ayat Cinta” (Habiburrahman El Shirazy), “Ketika Cinta Bertasbih” (Habiburrahman El Shirazy), dan “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata).
Film “Laskar Pelangi” garapan sutradara Riri Riza mencatat jumlah penonton yang fenomenal, ditonton oleh 4,5 juta orang. Sedangkan film “Ayat Ayat Cinta” ditonton oleh 3,5 juta orang. Kedua film tersebut, sama-sama mendapatkan penghargaan sebagai Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2008 dan 2009. Lanjutan kisah “Laskar Pelangi”, yaitu “Sang Pemimpi”, kini sudah edar, salah seorang pemerannya adalah penyanyi terkenal Peterpan Ariel. Film Islami berdasarkan novel, termasuk juga “Perempuan Berkalung Sorban”.
Pada masa reformasi, patut dicatat juga film remaja berdasarkan novel remaja, seperti “Eiffel I?m in Love”, “Kambing Jantan”, “Me and High Heels”, “Cintapuccino”, “Jomblo”, dll. Selain itu, satu film yang mengungkapkan kisah tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan “Ca Bau Kan” karya Remy Sylado yang dibuat film oleh Nia di Nata.
Sesungguhnya, awal 70-an, PT Sarinande Film telah menggarap film “Bernafas Dalam Lumpur” karya wartawan/penulis Zaenal Abdi, yang disutradarai oleh produsernya sendiri Turino Junaedy. Film yang dibintangi Suzanna dan Rahmat Kartolo tersebut sempat menghebohkan, karena untuk pertama kalinya menampilkan kisah tentang seorang PSK dan banyak menampilkan adegan ranjang.
Ada juga beberapa film berdasarkan cerita pendek, misalnya film “Buah Hati Mama” (Sophan Sophiaan) berdasarkan cerpen karya Makmur Hendrik, “Do?a yang Mengancam” (Hanung Bramantyo) berdasarkan cerpen karya Jujur Prananto, dan “Emak Ingin Naik Haji” (Aditya Gumay) berdasarkan cerpen karya Asma Nadia.
Ketertarikan terhadap roman karya Pramudya “Bumi Manusia”, bagaimanapun juga terkait dengan popularitasnya yang mendunia, juga materi ceritanya dianggap kuat dan memikat. Sedangkan ketertarikan produser terhadap roman “Di Bawah Lindungan Kabah”, bisa jadi karena melihat minat yang begitu besar terhadap film bernapaskan Islam.
Memang tidak semua karya sastra, dianggap mudah untuk dibuat film. Meskipun, benar seperti kata Syuman, kalau ingin melihat film yang berwajah Indonesia, buatlah film berdasarkan karya sastra Indonesia. Dan tentu saja, masih banyak karya sastra yang menarik untuk dibuat film.
Seperti juga minat pembaca terhadap karya sastra, film berdasarkan karya sastra pun masih dianggap banyak yang kurang menguntungkan dari sisi komersial.
*) Ketua Umum FFB.