Nyoman Tusthi Eddy
KALAU para tetua Bali di masa lalu (khususnya yang beragama Hindu) menyuruh anak-anaknya mempelajari sastra, maka yang dimaksud dengan sastra bukan saja Sastra Indah (Pigeaud via Darusuprapta, 1976), tetapi juga bahan-bahan tertulis lainnya. Sebagian besar bahan-bahan ini bersubstansi agama, moral, dan etika yang dimaksudkan sebagai acuan hidup bagi pembacanya. Jadi, ruang lingkup sastra dalam hal ini meliputi seluruh karya tulis, bukan hanya seni sastra.
Made Sukada dalam brosur hasil penelitiannya terhadap sastra Bali yang berjudul “Masalah-masalah Pokok ke Arah Membina Ilmu Sastra Bali” mengatakan, jika klasifikasi persepuluhan Dewey diterapkan pada klasifikasi sastra Bali, maka jenis-jenis cerita Tantri saja yang masuk ke dalam sastra.
David J. Stuart-Fox dalam “Bibliography of Balinese Culture and Religion” membagi sastra Bali menjadi (1) Literature (general), (2) Mahabharata and Parwa, (3) Kakawin, (4) Kidung, (5) Geguritan and Peparikan, (6) Folktales, (7) Modern Balinese Literature, dan (8) Bali and Indonesian Literature. Pembagian ini dengan jelas menunjukkan batas antara sastra dan seni sastra.
Drama sebagai salah atu genre seni sastra diambil dari sastra kidung dan gaguritan. Sastra Bali tradisional tidak memiliki drama dalam bentuk teks, tetapi memiliki berbagai bentuk seni lakon yang keberadaannya ditunjang oleh sastra kidung dan gaguritan.
***
Kalau amanat dimaknai sebagai pesan pengarang kepada pembaca, yang tersurat dan tersirat dalam karya sastra Bali tradisional mengandung amanat. Keberadaan amanat dalam karya sastra Bali tradisional dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu (1) amanat lugas dan (2) amanat terselubung.
Amanat lugas adalah amanat yang tersurat dan tersirat dengan jelas. Pengarang tampak sangat tendensius dalam mengemukakan amanatnya. Tokoh-tokohnya tampil dengan watak hitam-putih, dan kisah diakhiri dengan kematian (kehancuran) tokoh berwatak hitam (jahat). Salah satu contoh misalnya cerita “Men Tiwas dan Men Sugih”.
Amanat terselubung adalah amanat yang keberadaannya kurang jelas. Keberadaan dan maknanya harus digali dan ditafsirkan. Banyak karya sastra Bali yang tampaknya sebagai cerita seloroh atau sekadar bahan hiburan, tetapi di dalamnya terselip amanat. Sebuah contoh cerita “Raja Pala”.
Cerita ”Raja Pala” adalah kisah percintaan dan perkawinan eskapis antara manusia dan bidadari. Cerita semacam ini dapat menjadi hiburan sedap bagi yang sedang dimabuk cinta. Tetapi di tengah kisah percintaan romantis itu terselip amanat: “Janganlah mencari kenikmatan dengan cara akal bulus atau sifat akompli seperti I Raja Pala terhadap Ken Sulasih. Kenikmatan (kama) yang diperoleh dengan adharma (menipu, memperdaya), akan menjadi bumerang bagi pelakunya. Kenikmatan I Raja Pala beristri Ken Sulasih harus ditebus seimbang dengan kesedihannya saat ditinggalkannya.
Cara lain untuk mengemukakan amanat adalah selipan langsung berupa wejangan moral atau kritik sosial. Hal ini dilakukan oleh pengarang sebagai narator atau lewat tokoh-tokoh ceritanya. Sebuah contoh misalnya “Gaguritan Manukan”. Karya Ida Bagus Ketut Rai (Ida Pedanda Gede Abah) ini adalah karya sastra simbolik yang sarat amanat. Selain berisi petuah tentang kepemimpinan dan kenegaraan, juga kritik sosial dari fenomena sosio-budaya masyarakat modern.
***
“Da mamunyah mamoth mangutang-ngutang/ Sastrane jua pelajahin/ Bekelang di awak”
(Janganlah mabuk-mabukan, berjudi membuang-buang uang/ Pelajarilah sastra/ Sebagai bekal hidup)
“Sanghyang Sastra gulik sahi/ kentet resepang di manah/ surupang teked ke hati/ to tungked to sundih”
(Tekunlah belajar sastra/ resapkan dalam pikiran/ camkan sampai membatin/ itulah tongkat, itulah suluh)
Dua penggalan gaguritan tersebut memberikan gambaran jelas fungsi sastra dalam tradisi Bali. Pada penggalan pertama sastra dikatakan sebagai bekal hidup. Yang dimaksud bekal hidup adalah acuan berpikir, bersikap, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sastra maupun susastra adalah ajaran, bukan sekadar hasil ekspresi keindahan.
Penggalan kedua menajamkan apa yang disebutkan penggalan pertama. Secara simbolik dikatakan sastra sebagai tongkat dan suluh, yang berarti sebagai penuntun dan pencerah.
Sebagaimana karya sastra umumnya, sastra Bali tradisional memiliki dua fungsi yaitu (1) fungsi individual dan (2) fungsi sosial. Fungsi individual adalah untuk membentuk dan membangun karakter seseorang atas dasar nilai-nilai budaya yang melatarinya. Fungsi sosial adalah fungsi sastra sebagai acuan bersikap dan berbuat di masyarakat. Dengan demikian sastra Bali tradisional adalah sastra didaktis dalam arti seluas-luasnya.
Dilihat dari fungsinya sebagai sarana pendidikan sastra Bali tradisional terdiri dari dua genre yaitu (1) sastra dengan amanat lugas, (2) sastra dengan amanat simbolik-filosofis. Karya sastra dengan amanat lugas untuk anak-anak dan masyarakat lugu, sedangkan sastra dengan amanat simbolik-filosofis untuk kaum terdidik dan intelektual.
Digunakannya tembang pada geguritan, kidung, dan kakawin, adalah nilai plus yang berperan sebagai pendukung fungsinya. Irama yang kuat dan teratur mempermudah terserapnya ide yang tersirat dalam karya sastra; sebab irama yang kuat dan teratur dapat membangkitkan rasa.
***
Dilihat dari kandungan amanat dan fungsinya, tak ada sastra nihilis dalam khazanah sastra Bali tradisional. Sastra Bali tradisional adalah sastra yang bulat dan utuh, yaitu bermanfaat dan menyenangkan.
Dalam beberapa karya sastra Bali tradisional juga terdapat lukisan absurd dan surealistik. Unsur absurd dan surealistik ini bersumber pada mitos yang telah menjadi kekayaan batin masyarakat Bali. Dengan demikian pembaca tidak merasakan unsur absurd dan surealistik ini sebagai sesuatu yang asing dan “menganeh-aneh”. Misalnya, orang Bali sangat paham dengan lukisan latar surealistik kehidupan atman (roh), surga, dan neraka dalam gaguritan “Bagus Diarsa”.
Dalam tradisi Bali sastra bukanlah tujuan, tetapi media pencapaian nilai-nilai kemanusiaan. Justru inilah yang memuliakan kedudukan sastra di tengah masyarakat. Sastra Bali tradisional bukanlah “pepes kosong” tetapi sebuah “paket kemanusiaan” yang sarat nilai-nilai. Sastra untuk sastra bukanlah sastra.