Gemarlah Membaca, Maka Cerdaslah Bangsaku

Made Taro*

Beranda

JUDUL di atas seperti kata-kata yang biasa diucapkan tukang sihir. ”Gemarlah Membaca, Maka Cerdaslah Bangsaku”. Kalau disimak, judul itu mengundang banyak tanya, antara lain: tidak cerdaslah bangsaku, dan apakah bangsa Indonesia tidak gemar membaca?

Agar tidak memancing penafsiran yang melebar, sebaiknya kata “cerdas” itu dibatasi dengan pengertian: sempurna perkembangan akal budinya. Pengertian itu sangat kena kalau dihubungkan dengan keadaan yang melanda sebagian masyarakat Indonesia kini, yakni lunturnya rasa kekeluargaan, hilangnya kesantunan, dan kurangnya pengendalian diri. Ditambah lagi, berani berbuat curang tanpa rasa malu, berperilaku yang tidak bernalar, gaya hidup keduniawian, mengabaikan hukum karma, bahkan meninggalkan jatidiri akibat dari pemikiran-pemikiran yang kurang cerdas.

Berbagai cara untuk mendapatkan kecerdasan; salah satunya adalah membiasakan atau membudayakan membaca buku (penyebutan buku di sini sekaligus termasuk media cetak lainnya). Membaca banyak buku dapat memperluas wawasan, memperkaya perspektif, mempertajam pikiran dan perasaan, serta memperoleh bekal untuk mengarungi kehidupan yang sebenar-benarnya.

Tampaknya gampang, seperti permainan umpilaung, tetapi sesungguhnya membudayakan membaca adalah sebuah proses panjang yang penuh tantangan dan kendala. Diawali dengan gemar membaca, lalu ketigihan membaca, dan akhirnya sikap tiada hari tanpa membaca. Membaca jadi sebuah kebutuhan.

Dari Keluarga

Seorang anak SD menceritakan pengalamannya membaca buku sebagai berikut. “Saya suka membaca buku komik dan kadang-kadang cerita. Waktu luang di rumah, saya isi dengan membaca. Ayah seorang petani dan ibu pekerja dapur. Saya tidak pernah melihat mereka membaca buku. Mungkin karena orangtua tidak gemar membaca, maka ketika saya asyik membaca, ayah dan ibu sering memanggil saya untuk membeli rokok dan membeli garam di warung. Saya merasa terganggu, lebih-lebih ketika saya asyik membaca. Lambat laun saya memilih untuk menghindar dari rumah. Akhirnya, kegemaran saya membaca hilang.”

Murti Bunanta, ahli sastra anak dan ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA), mengatakan bahwa kecintaan membaca seorang anak harus ditanamkan dan dimulai oleh ibu dan ayah. Ibu dan ayah seharusnya memberi contoh gemar membaca. Mengutip penelitian Benjamin Bloom, bahwa 50% kematangan inteligensia seorang anak tercapai pada umur 4 tahun dan pada periode ini seorang anak tidak hanya suka meniru-niru suara-suara yang didengar di rumahnya (termasuk suara TV), tetapi juga meniru perbuatan orangtuanya. Jadi dapat diharapkan bahwa bila seorang anak melihat orangtuanya membaca, maka dia juga akan melakukan hal yang sama.

Serupa tapi tak sama adalah pengalaman Mary Leonhardt, seorang penulis dan guru. Semula ia mengira anak muridnya yang gemar membaca berasal dari keluarga yang orangtuanya kutu buku. Ternyata perkiraannya sedikit meleset. Lingkungan mereka adalah orangtua yang kurang gemar membaca tetapi bersedia melakukan hal-hal sangat khusus untuk menanamkan kecintaan membaca ke dalam diri anak-anaknya. Pengalaman itulah yang diterapkan Leonhardt dalam menanamkan budaya baca terhadap anak muridnya.

Yang penting dari kedua penjelasan di atas adalah dorongan gemar membaca yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak. Dorongan itu tumbuh karena motivasi keluarga, lebih-lebih keteladanan orangtua yang dianggap sebagai model oleh si anak. Sangat berperanan adalah lingkungan keluarga yang mencerminkan budaya baca. Sejak kecil sebaiknya anak-anak dibiasakan bergaul dengan buku atau koran, walaupun anak tersebut belum bisa membaca. Kepada mereka juga disarankan untuk ikut merawat kebersihan dan kerapian bahan bacaan. Tanamkanlah kepada mereka rasa sayang kepada buku, bila perlu ceritakan sekelumit apa isi bahan bacaan itu. Dengan demikian tumbuh keinginan pada anak untuk mengetahui lebih jauh; dan ujung-ujungnya suatu saat nanti anak itu ingin membaca sendiri buku tersebut.

Bukan hal yang tabu, kalau sejak kecil diperkenalkan pengetahuan sastra kepada anak yang belum bisa membaca atau baru belajar membaca. Misalnya dengan membaca buku cerita bergambar. Dengan memperlihatkan gambar dan memperdengarkan ucapan (baca), anak-anak sudah beradaptasi dengan ucapan yang benar dan ekspresi yang hidup. Membacakan cerita kepada anak, tidak berarti membunuh minat baca, bahkan sebaliknya, rasa keingintahuan mereka termotivasi.

Tokoh Sentral

Banyak nian orang menghujat kehadiran televisi di rumah tangga. Hujatan itu bukan sekali bahkan berkali-kali. Orang lupa bahwa penemuan dan kehadiran televisi itu tidak mungkin dibatalkan. Televisi adalah media dengar pandang yang pengaruhnya bagaikan pisau bermata dua. Dia bisa melukai jari-jemari, tetapi sekaligus bermanfaat untuk kepentingan sehari-hari.

Sehubungan dengan gemar membaca, pengaruh televisi sangat terasa. Orangtua yang semula menjadi tokoh sentral, berubah peran menjadi tokoh figuran, bahkan terabaikan sama sekali. Pernah seorang ibu menyatakan keluhannya. Menjelang tidur, ia mendongeng di depan anaknya yang baru berumur 4 tahun. Ia sengaja mendongengkan ceriat rakyat Bali yang terkenal, yakni “Bawang Kesuna”. Baru berlangsung 3 menit, anak itu beringsut, lalu duduk terpaku di depan pesawat televisi.

Sang ibu menyadari bahwa kisah dan nilai dongeng sangat perlu bagi perkembangan pribadi anak. Usaha ibu itu adalah bagaimana membuat agar anak tidak keranjingan menonton televisi. Televisi adalah hidangan “makanan” untuk umum. Ia kelihatannya sangat ramah dan murah hati, padahal ia sangat pelit terutama kalau menyediakan “makanan” khusus untuk anak-anak. Jadilah anak itu pemakan segala. Ia cepat dewasa karena dikarbit. Lama-kelamaan akan muncul penyakit yang mengkhawatirkan, yakni hilangnya kegemaran membaca menjadi kegemaran menonton. Sang anak tidak lagi melihat atau mendengar proses, tetapi terbiasa menikmati barang jadi yang menarik, instan, simpatik, dan lama-kelamaan tanpa terasa, anak itu mengalami kemiskinan imaginasi dan ketumpulan kreativitas.

Ah, jangan menyalahkan televisi secara berlebihan. Tetapi adalah penemuan modern yang sangat dibutuhkan masyarakat. Media komunikasi satu arah itu memang kadang-kadang berlaku superior. Sekarang bagaimana usaha kita agar televisi juga berperang mencerdaskan bangsa. Bagaimana mempertahankan kegemaran membaca yang telah terbina dengan baik, menjadi gemar membaca sebagai kebutuhan. Tayangan televisi bukan semata-mata kebijakan pengelola, tetapi juga pemerintah dan pengisi acara. Memang sulit mengemas sebuah produksi yang bernilai mencerdaskan bangsa tetapi juga sekaligus diterima pasar. Sangat perlu pemikiran-pemikiran yang bijak dan cerdas.

Tidak adil kalau dikatakan hanya televisi yang menggoda kegemaran membaca. Buku bacaan pun sangat berperan penting. Masalah itu bukan hanya menyangkut pengadaan, tetapi juga daya tarik dan lebih-lebih kualitas. Berbicara buku tentu memerlukan pembicaraan panjang lebar, menyangkut penerbitan, percetakan, penulis, daya beli, perwajahan, dan lain-lainnya.

Kembali kepada budaya gemar membaca. Menurut laporan, minat baca bangsa Indonesia menduduki peringkat terendah di Asia Tenggara. Sungguh masuk akal kalau dikatakan kurang cerdasnya bangsa Indonesia karena tiadanya atau kurangnya minat baca. Itulah salah satu masalah dan tanggungjawab orangtua di rumah tangga. Dalam rumah tangga, orangtua semestinya tetap berperan sebagai tokoh sentral. Televisi adalah salah satu fasilitas dan sarana motivasi yang pengadaannya dilakukan orangtua. Jangan biarkan anak-anak menjadi pemakan segala. Peran orangtua sangat diperlukan sebagai pendamping, nara sumber dan sebagai pengatur waktu, kapan membaca dan kapan menonton.

*) Penulis adalah pengasuh Sanggar Kukuruyuk.

Leave a Reply

Bahasa ยป