Hadiah Sastra dan Ajal Media

Lugiena De
http://www.pikiran-rakyat.com/

Sabtu tanggal 8 November 2008, untuk kesekian kalinya Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) memberikan penghargaan kepada para penulis Sunda. Penghargaan dari LBSS tersebut, yang dikenal dengan sebutan Hadiah Sastra LBSS, merupakan ajang penghargaan bagi karya-karya kreatif berbahasa Sunda berupa puisi, cerpen, dan esai yang dimuat di berbagai media cetak dalam kurun waktu satu tahun.

Pada mulanya, penghargaan LBSS diperuntukkan bagi karya dalam bentuk buku serta individu pengarang yang tulisan-tulisannya dinilai berkualitas. Namun, sesudah lama vakum lalu kemudian diselenggarakan kembali pada 1989, Hadiah Sastra LBSS diperuntukkan bagi karya kreatif yang sudah dimuat di media cetak. Dalam pelaksanaannya, pernah juga Hadiah Sastra LBSS menjadi parsial, yakni hanya menilai karya di sebagian media cetak. Namun untuk penghargaan karya 2006 dan 2007 yang dilaksanakan kemarin, LBSS mengikutsertakan semua media cetak yang memuat karya sastra dan esai berbahasa Sunda.

Media sastra

Sebagai salah satu kegiatan yang tidak bersifat tentatif, dampak positif dari Hadiah Sastra LBSS tidak sebatas menjadi motivator bagi para pengarang, sebagaimana halnya kegiatan penghargaan sastra. Secara tidak langsung, Hadiah Sastra LBSS turut mengukuhkan citra bahwa media cetak Sunda memang identik dengan sastra Sunda. Citra itu sudah hidup selama puluhan tahun, terutama di lingkungan publik sastra Sunda dan pembaca media Sunda. Sebelum munculnya Hadiah Sastra LBSS, setidaknya ada dua hal lain yang menjadi indikator terbangunnya citra tersebut.

Pertama, dari dulu sampai sekarang, mayoritas media cetak Sunda selalu memberikan porsi yang cukup besar bagi sastra Sunda. Sebagai contoh, majalah Mangl? setiap kali terbit selalu memuat empat sampai lima cerpen. Sedangkan majalah Cupumanik setidaknya memuat dua cerpen. Itu belum termasuk puisi, esai sastra, dan karya terjemahan.

Jumlah media cetak Sunda sekarang yang saya ketahui kurang lebih mencapai lima belas media. Dari angka tersebut, hampir dua pertiganya selalu konsisten memuat karya sastra. Bahkan yang menarik, dalam jumlah tersebut terdapat majalah Bina Da`wah, yang dari namanya saja sudah bisa dikenali sebagai majalah dakwah Islam. Namun, majalah bulanan ini selalu menyajikan cerita pendek dan sajak setiap kali terbit.

Kedua, pengarang dan kritikus sastra Sunda banyak yang merangkap pula sebagai redaktur media cetak Sunda. Majalah Mangl? yang merupakan media cetak Sunda tertua sekarang ini, sebelum keredaksiannya dijabat oleh Karno Kartadibrata dan alm. Duduh Durahman, pernah pula dijabat oleh Wahyu Wibisana dan alm. Rustandi Kartakusuma. Keempat nama tersebut merupakan tokoh penting dalam sastra Sunda.

Redaksi beberapa media cetak Sunda sekarang pun masih dihuni orang-orang dari lingkungan sastra Sunda. Seperti Eddy D. Iskandar dan Rosyid E. Abby (Galura), Dadan Sutisna dan Hawe Setiawan (Cupumanik), Dudi Santosa (Sunda Midang), Dhipa Galuh Purba (Seni Budaya), serta Aan Merdeka Permana (Ujung Galuh). Selain mereka, masih banyak lagi pengarang dan kritikus sastra Sunda yang pernah mengisi pos redaksi media cetak Sunda.

Yang lebih penting dari sekadar persoalan keidentikan, media cetak Sunda pun sebetulnya merupakan tulang punggung sastra Sunda yang paling utama. Hal itu disebabkan media cetak menjadi ruang perkembangan sastra yang paling dominan. Namun, tentunya dominasi ini tidak dapat ditafsirkan sebagai hegemoni media cetak terhadap sastra Sunda.

Dibandingkan dengan media buku, secara kuantitas karya-karya sastra Sunda lebih banyak muncul di media cetak. Namun, perbandingan ini sangat mencolok. Dalam satu tahun saja, media cetak bisa memuat sampai ratusan judul karya sastra. Sedangkan buku sastra Sunda yang terbit dalam satu tahun hanya mencapai kisaran sepuluh judul (tentunya, buku-buku cetak ulang harus dikecualikan karena media cetak pun sangat jarang memublikasikan karya yang sudah dimuat sebelumnya). Jika karya-karya sastra Sunda di media cetak itu disatukan, akan beberapa kali lipat lebih tebal dari buku-buku sastra yang biasanya terbit di bawah 200 halaman.

Sebagai tambahan pula, mayoritas karya sastra yang sudah terbit dalam bentuk buku pun sebelumnya sempat diecerkan terlebih dahulu di media cetak. Selain itu, penerbitan buku-buku sastra Sunda bersifat fluktuatif sehingga tak jarang terjadi penurunan dan peningkatan secara drastis. Sedangkan media cetak bersifat konsisten.

Dengan memaparkan uraian tersebut, saya tidak bermaksud menafikan peran buku sebagai kurir sastra Sunda ke masyarakat. Akan tetapi bagaimanapun, peran media cetak sangat menentukan sebagai mata rantai pertama karya sastra Sunda, sebelum bereinkarnasi ke dalam bentuk buku. Media cetak Sunda adalah barometer sastra Sunda.

Akan tetapi, media cetak Sunda bukannya tanpa masalah. Justru kondisi semua media cetak Sunda sekarang dapat dikatakan tidak (belum) stabil serta sangat rentan terhadap ancaman gulung tikar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbitan media cetak Sunda di mana pun lebih sering mengalami defisit daripada menangguk untung.

Oplah tiap media pun tidak ada yang melebihi angka 5.000 eksemplar. Padahal, jumlah penutur bahasa Sunda sendiri lebih dari 25 juta jiwa. Maka, tidaklah mengherankan jika fenomena timbul tenggelam banyak mewarnai perjalanan media cetak Sunda.

Memang, era reformasi juga membawa angin segar bagi bidang pers, termasuk pers Sunda. Setelah tahun 2000, ada beberapa media cetak Sunda yang muncul, seperti Ujung Galuh, Balebat, dan Hanjuang. Ini merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun, maraknya kembali penerbitan tersebut semata-mata dilandasi oleh idealisme kesundaan. Tahun 2007 lalu, “Koran Sunda” yang baru seumur jagung akhirnya kehabisan napas. Beberapa bulan yang lalu pun majalah Seni Budaya hampir saja berhenti. Beruntung masih bisa diselamatkan setelah dilakukan beberapa perubahan, terutama menyangkut masalah finansial.

Stabilisasi atau mati

Media cetak Sunda pernah mengalami masa-masa keemasan, yakni pada 1960-an sampai pertengahan 1970-an. Pada waktu itu, majalah Mangl? pun pernah menembus oplah lebih dari 100.000 eksemplar. Akan tetapi, media cetak Sunda sekarang tidak lagi demikian. Konteksnya tidak lebih dari sekadar usaha revitalisasi bahasa dan sastra Sunda.

Jika harus terus-menerus berada dalam kondisi seperti sekarang, saya kira kecil kemungkinan media cetak Sunda bisa bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Apalagi di tengah kelesuan ekonomi dan politik globalisasi-kapitalisasi saat ini. Apabila tidak dilakukan usaha stabilisasi, kepunahan tersebut hanya persoalan waktu. Jika media cetak Sunda punah, akan bagaimanakah nasib bahasa dan sastra Sunda?

Kontribusi positif sudah dilakukan lembaran “Khazanah” yang sedang kita baca ini. Terhitung sejak tahun 2005, “Khazanah” mulai memuat karya sastra Sunda. Selain “Khazanah”, koran Priangan pun yang masih menjadi bagian dari Grup Pikiran Rakyat, secara berkala selalu memuat karya sastra Sunda. Dengan jumlah pembaca yang sangat besar dibandingkan dengan media cetak Sunda, hal ini merupakan perkembangan yang menggembirakan.

Tentunya langkah nyata yang paling ditunggu adalah dari pemerintah daerah, sebagai pihak yang membuat produk hukum Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Revitalisasi Bahasa, Sastra, dan Budaya, serta sebagai pihak pengelola APBD. Namun, yang jadi persoalan, apakah peran pemerintah (masih) bisa diandalkan? ***

*) Mahasiswa Jurusan Bahasa Sunda UPI, bergiat di ASAS.

Leave a Reply

Bahasa ยป