Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/
LEMBAGA Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) baru saja membagikan Hadiah Sastra Sunda bagi sejumlah sastrawan Sunda yang memublikasikan karya-karyanya di berbagai media massa cetak, untuk penulisan puisi, cerita pendek, dan esai. Beberapa sastrawan Sunda yang mendapatkan hadiah tersebut antara lain yang memublikasikan karya-karya yang ditulisnya di tabloid Sunda Galura, lembaran seni dan budaya Khazanah HU Pikiran Rakyat, majalah Mangle dan Cupumanik. Pemberian hadiah sastra semacam itu pada satu sisi menunjukkan bahwa kehidupan sastra Sunda dewasa ini masih mendapat perhatian dari pemerintah dan lembaga terkait. Sebab, hadiah sastra yang diberikan LBSS kepada para sastrawan Sunda sebagaimana tahun-tahun sebelumnya antara lain bersumber dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat c.q. Disbudpar Jabar.
Dengan hadiah sastra semacam itu, paling tidak ada semacam gairah bagi para sastrawan untuk terus berkarya. Masalah lebih lanjut adalah karya sastra semacam apakah yang sesungguhnya layak diberi hadiah sastra oleh LBSS, jika daya kreatif dan inovasi dalam melahirkan bentuk pengucapan yang baru dijadikan ukuran? Lebih tegasnya adalah apakah puisi Sunda dewasa ini sudah menemukan pengucapan yang baru, setelah Godi Suwarna melahirkan antologi puisi Jagat Alit, Blues Kere Lauk, dan Dongeng Si Ujang? Demikian juga dalam penulisan cerita pendek dan esai.
Adanya keinginan yang demikian dari sejumlah sastrawan Sunda dalam pemberian hadiah sastra versi LBSS tidak menutup kemungkinan bahwa di tahun-tahun mendatang tidak ada yang menang, sebab tidak ada pembaruan atau kedalaman mengolah tema. Jika ada yang memenuhi kriteria pastilah hal ini menarik karena perkembangan sastra Sunda dari generasi ke generasinya senantiasa diisi orang-orang kreatif.
Menata kembali konsep pemberian hadiah sastra Sunda, apa pun nama lembaga yang akan memberikan hadiah sastra tersebut, patut dibicarakan dan dipikir ulang oleh kritikus sastra dan akademisi sastra Sunda yang menginginkan sastra Sunda maju lebih jauh dibandingkan dengan perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia saat ini. Jika konsep semacam ini diterapkan, tidak mustahil perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda di tahun-tahun mendatang akan diisi oleh berbagai karya sastra hasil eksperimentasi. Dengan catatan, pada awal tahun sebelum penilaian itu dimulai, LBSS terlebih dahulu mengumumkan syarat-syaratnya.
Gaya penulisan cerita pendek yang dikembangkan Godi Suwarna lewat antologi Murang-Maring paling tidak menunjukkan hal itu. Demikian juga dalam penulisan puisi.Puisi Godi berbeda dengan Wahyu Wibisana dan Sayudi. Jika ada puisi yang mirip gayanya dengan Godi, Wahyu, dan Sayudi, misalnya, dewan juri berhak menolaknya. Sebab, karya yang demikian itu bukan karya inovatif, melainkan karya manerisme yang tidak lebih dan tidak kurang serupa dengan parasit saja. Ini hanya harapan agar LBSS di masa mendatang lebih bergengsi kedudukannya dalam perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda modern.