Hidup Bukan Cuma Seks, Kawan!

Indra Tjahyadi
sinarharapan.co.id

Hidup bukan cuma seks. Banyak hal dari hidup dan kehidupan ini yang dapat diangkat dalam sebuah karya sastra. Memang pemilihan tema seks acapkali memberikan daya tarik tersendiri bagi publik sastra. Akan tetapi, dalam kehidupan yang sudah semakin kompleks seperti saat ini, banyak pula hal di luar seks yang juga tak kalah menariknya untuk diangkat dan dikabarkan melalui sebuah karya sastra, seperti tema-tema tentang kehidupan manusia pinggiran, kaum miskin kota, dan sebagainya.

Tema-tema semacam tersebut di atas adalah juga sama menariknya dengan tema-tema yang hanya memusatkan diri pada pembicaraan mengenai seks semata. Bisa jadi, dalam dugaan saya, pemikiran semacam ini jugalah yang mendorong Sihar Ramses Simatupang dalam menciptakan cerpen-cerpennya yang terangkum dalam kumpulan cerpen tunggalnya yang berjudul Narasi Seorang Pembunuh (Dewata Publishing, 2004).

Tengok saja kesembilan cerpen karya Sihar Ramses Simatupang yang terkumpul dalam kumpulan cerpen tunggalnya yang berjudul “Narasi Seorang Pembunuh” tersebut (selanjutnya akan disingkat “NSP”). Dalam kesembilan cerpennya yang terkumpul dalam buku kumpulan tersebut, tak ada satu pun yang menempatkan seks sebagai tema utama. Seandainya pun ada penyinggungan pembicaraan mengenai seks, hal tersebut semata-mata dikarenakan apa yang hendak diangkatnya dalam cerpen tersebut adalah seorang pelacur seperti dalam sebuah cerpennya yang berjudul “Di Sebuah Gerbong” (2004: 50-62).

Persinggungan Sihar dengan seks dalam cerpen “Di Sebuah Gerbong” tersebut, semata-mata, disebabkan Sihar berusaha mengangkat figur seorang pelacur sebagai tokoh utamanya. Meskipun demikian, dalam cerpennya yang berjudul “Di Sebuah Gerbong” tersebut, tak ada penggambaran akan pergumulan penuh hasrat dan birahi antara dua orang yang berlainan jenis. Justru yang coba dihadirkan oleh Sihar dalam cerpennya tersebut konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi seorang pelacur atas profesinya sebagai penjaja seks terhadap kehidupan yang dihadapinya.

Hal yang sama juga dapat ditemui dalam salah satu cerpennya yang lain yang berjudul “Sebuah Rahasia” (2004: 32-39) dan “Pelarian” (2004: 40-49) dan. Dalam kedua cerpennya tersebut Sihar juga menyinggung soal seks dan perselingkuhan seperti yang kerap terjadi di masyarakat kita saat ini. Tidak seperti Jenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, pun juga Ayu Utami dalam usahanya untuk mengangkat seks dan juga perselingkuhan, dalam karya-karya Sihar, sekali lagi, seks dan perselingkuhan tersebut bukanlah tema utama yang ingin diangkatnya.

Memang dalam cerpennya yang berjudul “Sebuah Rahasia” Sihar berusaha menceritakan dua orang yang berlainan jenis kelamin, yang keduanya sudah menikah, memadu kasih di sebuah pantai. Meskipun demikian, Sihar tidaklah berusaha menyoroti peristiwa narasi tersebut dalam sudut pandang kegairahan yang badaniah yang dipenuhi oleh hasrat birahi. Akan tetapi, ia lebih menggambarkannya sebagai kedua insan manusia yang tengah memadu kasih, dan ingin kembali mengenang memori percintaannya kembali.

Tidak ada pergumulan liar penuh dengan hasrat birahi dan kesyahwatan yang digambarkan Sihar dalam cerpennya yang berjudul “Sebuah Rahasia” tersebut. Hanya drama percintaan yang begitu melodramatis, yang dipenuhi oleh keinginan untuk saling memadu kasih, dan juga begitu perih, yang berusaha diperlihatkan oleh Sihar dalam cerpennya tersebut. Ia lebih melihat kekuatan cinta sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan daripada hal-hal yang lebih syahwati.

Begitu juga dalam cerpennya yang berjudul “Pelarian”. Dalam cerpennya yang berjudul “Pelarian” tersebut, bahkan Sihar, menggambarkan betapa sebuah peristiwa perselingkuhan dapat mengakibatkan berubahnya jalan hidup dan nasib seseorang. Diceritakannya dalam cerpennya tersebut, bagaimana seorang istri yang terpergok sedang asyik-masyuk berselingkuh pada akhirnya harus mati terbunuh. Dan si suami yang membunuhnya harus dengan suka rela mengubah jalan hidupnya dari menjadi seorang yang hidup tenang sebagai petani menjadi seorang pelarian. Dan hal tersebut terjadi, hanya karena semata-mata ia memergoki istrinya sedang asyik-masyuk dengan lelaki lain, ketika ia, si suami, pulang sehabis menggiring kambingnya.

Ini merupakan tragedi. Dan ini juga hal yang saat ini acapkali dapat ditemui dalam kenyataan sosial negeri ini sehari-hari. Cobalah saja lihat banyak sekali acara-acara televisi kita yang menampilkan berita-berita semacam itu. Dan ini menjadi bukan hal yang asing lagi. Peristiwa-peristiwa semacam itu tak ubahnya sudah bagaikan udara yang dihirup saban hari.

Bisa jadi ini juga merupakan sebuah kepekaan atas hidup dan kehidupan yang sedang terjadi dan melingkarinya, yang berusaha diperlihatkan oleh Sihar melalui cerpen-cerpennya dalam kumpulannya tersebut. Sebab sebagai seorang cerpenis, Sihar dituntut untuk memiliki kepekaan tersebut. Dan sebagai seorang sastrawan (meskipun muda) ia tak dapat mengelak dari takdirnya tersebut. Sebab bagaimana pun juga sebuah karya sastra tercipta tidaklah begitu saja jatuh dari langit! Karena sebuah karya sastra, apa pun bentuknya adalah sebuah wahana dialektika antara manusia, dengan dunia, dan juga Tuhannya.

Dan pada akhirnya, ya, barangkali memang ada benarnya apa yang ada di benak Sihar Ramses Simatupang ketika menciptakan cerpen-cerpen yang terangkum dalam kumpulannya tersebut bahwa hidup bukanlah melulu hanya soal seks semata. Dan di tengah gegap gempitanya penerbitan buku-buku sastra bertemakan seks, penerbitan buku kumpulan cerpen Narasi Seorang Pembunuh (Dewata Publishing, 2004) karya Sihar Ramses Simatupang seakan-akan menjadi sesepoi angin lain yang menyegarkan. Terima Kasih.
***

*) Penyair, esais, warga kota Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *