Islam sebagai Tawaran

Judul Buku : Pemikiran Politik Islam Indonesia, Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi
Penulis : Syarifuddin Jurdi
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : pertama, Juli 2008
Tebal : XXI + 678 halaman
Peresensi : Ahmad Khotim Muzakka
http://oase.kompas.com/

Relasi politik, kekuasaan, masyarakat, dan agama dasawarsa ini patut dicermati dengan penuh ketelitian, dengan jidat yang berlipat-lipat. Pasalnya, pertautan antara mereka lambat laun menuju arah yang agak kabur. Entah, inikah imbas dari pesan demokrasi pascareformasi atau hanya fenomena temporer yang sekala waktu bisa hilang di telan mahkamah sejarah. Hingga akhirnya lahir ?wajah baru? yang meramaikan dalam jangka tempo yang entah.

Lewat buku ini, Jurdi memamerkan segepok pandangannya tentang hubungan agama (baca: Islam) dengan kuasa bernama negara, aparatur pemerintah, dan polemik yang memercantik intrik?saat pemangku agama hendak memerlihatkan kepeduliannya terhadap kondisi politik Islam di Indonesia. Ini begitu terlihat pada kata pengantarnya yang menyatakan ?gagasan mengenai relasi Islam dan negara setelah kejatuhan rezim Orde Baru menemukan fase baru dalam konteks politik mengenai relasi Islam dan negara.? (hal XI)

Penulis yang merampungkan program doktoralnya di bidang kajian ilmu politik pada salah satu Universitas termuka di Yogyakarta ini, membagi buku setebal 678 halaman ini ke dalam empat tahapan pembahasan, yang tentunya, saling berkesinambungan. Karya tebal ini adalah karya serius Jurdi setelah menamatkan beberapa karya sebelumnya yang juga berkutat pada tema seragam. Yakni isu menggiurkan, politik ke-Islaman masa kini. Keseragamannya ini menegaskan bahwa penulis merupakan segelintir orang yang mau berjibaku secara serius dalam tema ?layak media? ini.

Bagian pertama, Jurdi menjejali ulasan pemulanya dengan konsep Negara yang dihubungkan dengan nafas ke-islaman. Kayaknya, Jurdi begitu antusias hendak me-satumeja-kan Negara bersanding agama. Ini bisa dirasakan saat membaca sub-bab yang secara tematik, seolah, memberikan asupan kepada pembaca tentang konsep negara ?ideal? versi Islam. Bahwa dalam doktrin Islam telah termaktub aneka ragam kriteria ideal sebuah negara bisa disebut demikian: Negara Ideal.

Di tengah usaha keras penulis menyusun ?relief? kasar data dari seabrek pandangan mengenai Negara versi Islam, Jurdi pun sejenak menenggelamkan diri pada pandangan Barat tentang Negara. Namun, porsi yang ditampilkan tidak berimbang. Karena hanya diselipkan di sela-sela ?ketegangan?nya menjabarkan versi Islam. Permasalahan ini diulas hanya pada laman 39-49.

Bagi Hegel, ?Negara adalah akal di bumi dan dengan sadar merealisasikan diri di sana.? Sedangkan di samping Max Weber Negara serupa lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warganya. Kayaknya, konsep Weberlah yang selama kurun Orde lama dipaksa-terapkan di tengah masyarakat. Pemerintahan otoriter. Mental penjajah. Sementara itu Karl Marx memunyai cara pandang unik. Negara yang baik yaitu negara yang dihuni oleh masyarakat sosialis bukan demokratis.

Saya sedikit agak terganggu ketika membaca Bab Kepemimpinan Politik Islam. Di sini ditulis pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan lima orang. Ini berlandas atas kasus pemilihan Abu Bakar saat diangkat sebagai khalifah yang hanya diwakili lima orang saja. Ada yang lebih ekstrem yaitu cukup hanya dengan tiga dan atau satu orang saja. Untuk kali terakhir saya sebut pernah berlaku pada masa Ali bin Abi Thalib yang diangkat hanya oleh Abbas, pamannya. Masihkah konsep ini layak berlaku?

Untuk selanjutnya Jurdi hanya menarasikan ulang bagan pemerintahan yang baik yang banyak ditemui di buku-buku serupa tema. Tidak ada yang baru. Pada akhir bagian pertama buku bertajuk Pemikiran Politik Islam Indonesia, Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Jurdi (entah karena apa?) menyodori pembaca dengan Sejarah politik Islam Indonesia. Yang dihiasi dengan hadirnya Sarekat Islam (SI), di mana Agus Salim sebagai salah seorang pemimpinnya, Majelis Islam A?la Indonesia (MIAI), Partai Islam Indonesia (PII), hingga dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hingga masuknya politik Islam di gerbang Orde Baru. Yang kesemuanya, sekelumit itu. Tapi tak apa, saya kira Jurdi hendak menghidangkannya sebagai ?bumbu? buku ini. Biar berasa tak tawar. Masalah ini juga dibahas pada halaman 233-284 (Bagian Kedua).

Bagian kedua dibuka dengan sambutan hangat Samuel Huntington yang dipajang berbunyi, ?Rakyat telah mati kecuali para ulama, para ulama telah mati kecuali mereka yang mempraktikkan pengetahuan mereka, mereka semua mati kecuali yang salih, dan mereka dalam bahaya besar.? Ada satu-dua kalimat Huntington yang patut kita renungkan yaitu ?Kita hanya akan tahu siapa kita ketika kita mengetahui siapa ?yang bukan kita? dan itu hanya dapat diketahui melalui ?dengan siapa kita sedang berhadapan.”

Yang menarik dari Perjuangan Politik Islam: Antara Simbolisasi dan Substansi adalah kenyataan bejibunnya kelompok-kelompok Islam yang memiliki pandangan yang secara telak bertolak?oleh karenanya, tak bisa dipersatukan. Heterogenitas ini kerap membawa tikai tak berkesudahan. Yang muncul adalah saling-silang mencurigai belbagai aktifitas yang ditunaikan kelompok tertentu.

Optimisme Jurdi terhadap Islam formalis pembawa ?bendera? agama kemana-mana seakan tumbang ketika dihadapkan pada gagasan Cak Nur (1970-an) yang populer dengan istilah ?Islam Yes, Partai Islam, No!? Apalagi jika dipertemukan dengan langkah radikal Gus Dur yang mengusung sekularisasi politik sebagai gerakan kultural. Yang justru, pada akhirnya, Gus Dur ?bermain? juga pada tingkat struktural (politik). Mengenai hal ini, Jurdi lebih jauh berkomentar: ?Kalau saja polemik antara kalangan Islam simbolik dan substantif di awal ?70-an berlangsung terus tanpa terputus oleh kebijakan rezim Orde Baru, kemungkinan untuk menemukan titik temu mengenai relasi agama dan negara di negeri ini terlalu rumit seperti sekarang ini…? (halaman 218). Ah, benarkah pak Jurdi?

Tak ada yang istimewa ketika sampai pada Bagian Ketiga. Di sini didominasi berlaman ?profil? kelompok-kelompok Islam berhaluan kanan laiknya Hisbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indoensia, Laskar Jihad Ahlul Sunah Wal-Jamaah, Front Pembela Islam, dan sebagai penutup generasi, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (383-457) diketengahkan. Setelah sebelumnya diulas tentang Gerakan Islam Indonesia Kontemporer dan Islam Indonesia dan Politik Global.

Hanya saja pada bagian ini, jika mau membaca, ada kalangan yang bermerah telinga. Yaitu kritik kepada KAMMI yang bagi Jurdi perkembangannya, ?…menggembirakan?, ?karena mampu menarik simpati massa mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri besar. Tapi pada sisi lain juga menimbulkan kebingungan berbagai pihak melihat organisasi ini sebagai sebuah Ormas yang independen dan tidak mempunyai hubungan politik mana pun,? jelasnya.

Namun, lanjut Jurdi, fakta menunjukkan bahwa KAMMI menjadi bagian dari salah satu kekuatan politik tertentu dan kegiatan-kegiatan demonstrasinya merupakan ?pesan? dari kekuatan politik tertentu pula. Yang perlu diperhatikan pula oleh aktifis KAMMI yaitu mengenai prioritas basis keilmuwan harus lebih ditekuni daripada kegiatan demonstrasi yang mencitrakannya sebagai elemen Islam yang ?hidup? di jalan.

Serupa penutup, pada Bagian Keempat, dijabarkan secara panjang mengenai konsep berbingkai Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Dalam banyak teori Jurdi lebih menyukai konsep yang termaktub dalam wahyu Tuhan perihal Islam yang unggul. Dan kayaknya Jurdi juga tergoda dengan Masyarakat Yatsrib (Madinah), yang menurutnya, bisa dijadikan contoh oleh umat Islam. Mengapa? Masyarakat Madinah bersatu dalam perbedaan, baik latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan adat-istiadat maupun keyakinan. Pun, selayaknya ini kita praktikkan di sini: Indonesia. Secara isi, Jurdi berhasrat: Islam dijadikan landasan dalam berpolitik. Islam sebagai tawaran kata lain.

*) Staf di Idea Studies Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, Semarang

Leave a Reply

Bahasa ยป