Afnan Malay*
http://www.jawapos.com/
Mengusung tajuk Neverwhere, pameran tunggal perupa Djoeari Soebardja yang digelar Galeri Canna di Grand Indonesia, Jakarta, dibuka 31 Oktober dan berakhir 15 November lalu menampilkan karya cat minyak yang kebanyakan berukuran 140 x 190 cm. Seluruhnya menyoal deforestasi hutan. Perupa yang bermukim di Batu itu menjadi saksi rubuhnya hutan-hutan kita.
Menariknya, hutan yang sarat isu ekonomi-lingkungan-hukum sehingga sering kali menyeret-nyeret otoritas politik lokal-regional-global itu bagi Djoeari bukanlah pokok soal yang rumit-rumit amat. Melalui visualisasi realis yang mumpuni, Djoeari sebenarnya tengah menyodorkan kontras yang menyelimuti hutan: saat tumbuh ketika rubuh.
Kontras-kontras yang menyertai kanvas-kanvas Djoeari (pohon tumbuh-gergaji mesin) justru alat hindar perupa agar tidak jatuh sebagai komentator sosial yang nyinyir. Kepiawaian Djoeari menyeret isu besar yang melingkupi hutan seakan-akan urusan visual yang cantik belaka. Kita baru terhenyak ketika kontras-kontras yang hadir dalam karyanya kita telusuri jeli. Lalu, secara seksama, kita temukan sendiri relasinya.
Sebab, kontras yang dibahasavisualkan Djoeari terbilang persuasi-impresi. Tidak meledak-ledak agitatif. Kita hanya diajak bermain-main memasuki rimba persoalan hutan lewat subjek utama (lelaki penggergaji, bocah perempuan, nenek renta, dan sesosok pengusaha) dikombinasikan: bibit pohon, kayu siap tebang, gergaji mesin, meteran pengukur, lalu peta Indonesia. Dia tidak melebih-lebihkan kontras yang dihadirkan saat menautkan subjek-objek tersebut: Djoeari mengabaikan serangan yang bertubi-tubi.
Tentu ada hiperbola dan sarkasme. Tetapi, Djoeari terlebih dahulu menundukkannya. Sesuatu yang terkesan dilebih-lebihkan di tangan Djoeari berubah menjadi belaian daripada tamparan. Karena itu, sesuatu yang dilebih-lebihkan Djoeari paling jauh membuat kita masygul (empati) daripada merangsang amarah (antipati).
Misalnya, bocah perempuan sedang menggunakan rick saw (gergaji mesin): lidah gergaji berlari mengejar bibit pohon dalam genggaman seseorang (Rest It Form Me Please). Ada pula geliat seorang penebang kayu yang membungkuk sambil tangannya menahan mata gergaji mesin: dia menaksir seberapa tinggi pohon -di sisinya bibit pohon pengganti- yang siap ditumbangkannya (Grow Up). Atau, kontras lain yang disodorkan Love: sisa hutan melingkar berbentuk gambar hati melingkar dalam belitan gergaji mesin.
Tumpukan persoalan dari rentetan kontras pokok perupaan yang digarap Djoeari tersimpulkan dalam There Isn’t Certainly. Kanvas dipenuhi seorang bocah perempuan yang memeluk erat sepotong batang kayu besar (tampak gunung pun terangkul), tangan kanannya menggengam alat ukur yang meterannya meliliti batang kayu. Pada sisi muka batang kayu, terpampang gambar peta Indonesia dan sehamparan hutan yang tersisa.
Mungkin kita bertanya, kalau wilayah deforestasi hutan sebagai isu yang dijelajahi Djoeari begitu jelas lokasinya, lalu mengapa label pameran dibuat mengambang: Neverwhere? Justru di situlah sebagian daya pikat Djoeari. Dia dengan sengaja membuat alibi. Setidak-tidaknya jadi antara nyata dan tiada. Seperti siklus hutan yang diplot singkat, tumbuh dalam dekapan penjaganya yang setia: gergaji mesin. Alibi semacam itu diperlukan Djoeari yang memagari karyanya dengan formula sederhana menunjukkan kegetiran daripada mengumbar kemarahan. Karena itu, jangan heran, sosok perambah hutan dengan gergaji mesin di tangannya tidak tampak sebagai antagonis yang durjana (Affection). Bagi Djoeari, si penebang kayu tetaplah seorang pekerja keras yang riang gembira melakukan aktivitasnya (Hello Nex Day).
Cermati pula aksi bocah perempuan yang senantiasa polos mengadaptasi lingkungan sekitar. Djoeari tidak mengusik kepolosan itu. Sekalipun, misalnya, Djoeari mengombinasikannya dengan ihwal yang tidak lazim bagi kanak-kanak. Seperti ketika mengukur seluas apa hutan yang kini tersisa (How Much Forest for Me?); keingintahuan seberapa panjang mata gergaji mesin (How Long the Saw Eyes); atau lamunan si gadis kecil yang memiriskan (No more tree).
Kesemua pokok perupaan garapan Djoeari tidak satu pun tampil destruktif. Bentuk atau sosok yang destruktif -untuk mencuri perhatian- hanya akan menyeret Djoeari ke dalam melebih-lebihkan realitas yang sesungguhnya terjadi. Padahal, prosesi defortasi hutan, seperti juga ihwal lain dalam kehidupan kita, tidak jarang merupakan buah atau berselimutkan hipokrisi. Kehidupan mutakhir menunjukkan bahwa moralitas buruk, termasuk hipokrit, bukanlah sesuatu yang tersembunyi (keburukan jamak dilakukan) dan terbukti bisa dilakukan siapa saja (wajah dan sosok bukan ukuran).
Itulah sebabnya isu deforestasi hutan bagi Djoeari tidak memerlukan khotbah: yang jahat tampil destruktif. Cukup si penebang kayu hadir petantang-petenteng. Dia bagai aktor lugu yang humoris, tapi semua aktingnya adalah ironi. Hipokrisi merupakan ironi yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kebusukan itu sangat manis menghiasi kanvas Djoeari.
Saksikan sejumput hipokrisi itu, misalnya, pada si penebang kayu yang senantiasa bangga dengan gergaji mesinnya terkesan terdesak kayu besar (Sprout Hopefull if My Forests Green): nyatanya bukankah si kayu yang terdesak? Atau, si penebang kayu berdiri gagah bagai pencinta ulung yang sedang kasmaran di belakangnya layu besar (Heart Keeper). Ada gambar hati berwarna merah pada batang kayu itu: itulah hipokrisi.
Kita menyebut pelaknat deforestasi -si penebang hutan dan konspirasi ekonomis di belakangnya- sebagai sundal perusak lingkungan. Apa lacur -ironisnya- mereka justru menepuk dada sebagai si penjaga hati. Lewat lukisannya yang apik-resik, Djoeari ingin mewartakan kebusukan tidak serta-merta merupakan sosok angkara murka. Dan, untuk itu, untungnya Djoeari tidak melakukan aksi destruktif: merusak bahasa visualnya yang indah. (*)
*) Pemerhati seni rupa, pernah studi di SMSR dan ISI Jogjakarta.