Kegetiran dari Jawa hingga Aceh

Judul: Dari Jawa Menuju Atjeh, Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam, dan Gay
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: xvi+200 halaman
Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka
http://suaramerdeka.com/

INILAH buku yang ramah, memasukkan diksi yang enak dibaca, tidak mencerca, dan sekaligus bernuansa sastra. Meski dalam beberapa permasalahan dibutuhkan pemikiran yang rumit, namun semua itu bisa dikemas dengan bahasa bersahaja dan enak dinikmati sebagai bahan refleksi.

Linda Christanty, yang peraih Khatulistiwa Literary Award (2004), memang cukup lihai ?mempermainkan? tiap kejadian. Setiap hal yang ditulis selalu saja berkait dengan ketokohan seseorang. Tak selalu orang besar yang dibahas. Kejelian Linda memandang suatu hal dengan tajam menjadikan tulisannya tak sekadar gugatan dan hujatan, melainkan juga menjadi merupakan pembeberaan hal tercecer yang diungkapkan secara renyah.

Kali pertama membaca kemungkinan pembaca menyangka tulisan ini adalah karya sastra, bukan reportase, karena hampir di tiap paragraf selalu disertai penggambaran yang rinci dan hal-hal yang remeh-temeh. Pembaca akan menjumpainya dengan intensitas yang bisa dibilang sering. Seolah apa yang mengitari kejadian yang melingkupi Linda harus diikutsertakan dalam diskripsi yang dibangun.

Namun, ketelitian penulis yang juga penulis cerpen ini justru memunculkan tanda tanya. Seberapa pentingkah diskripsi hal-hal remeh ?seperti pakaian yang dikenakan seorang tokoh yang diceritakan, penampilan? membangun kebersahajaan tulisan? Sepertinya tak ada korelasi yang menghubungkan antara kedua hal tersebut. Tapi, semua itu beralasan karena Linda menggunakan jurnalisme sastrawi.
Bukan Kekinian

Sebagai buku yang dihasilkan dari kompilasi tulisan yang pernah tersiar di pelbagai media, tentu tema yang diusung bukan isu kekinian. Tapi berhubung gaya penulisannya yang ?bukan berita?, melainkan ?cerita?, maka serasa ada yang tersimpan di dalamnya. Dalam ?Jurnalisme dalam Sepotong Amplop?, Linda secara terbuka mendedahkan kepada kita bahwa ada budaya yang sudah mengakar dalam proses peliputan berita di negeri ini.

Bahwa amplop diperlukan untuk mempermulus jalannya pemberitaan. Bukan hanya dari narasumber kepada wartawan, tetapi juga berlaku sebaliknya. Dalam sebuah penelitian 72 dari total 82 wartawan yang diteliti di belahan daerah di Indonesia ternyata menerima amplop saat melaksanakan proses pengumpulan berita. Indikasi ini diperkuat dengan keminiman honorium yang diberikan media kepada wartawan.

Dalam ?Hikayat Kebo?, pembaca akan disuguhi hikayat yang mengenaskan. Adalah Ratno bin Karja, alias Kebo si pemabuk di pinggiran kota Jakarta, yang harus mati dengan sejarah hidup memprihatinkan. Sebagai penghuni pemukiman kumuh bersama dengan warga lain ia bergolak dengan kejamnya dunia. Kondisi pemerintahan yang karut-marut waktu itu, antara 2001-sebelumnya telah menjadikannya orang kalah dan salah. Lingkungan yang mengitari menjadikannya demikian.

Membaca kisah-kisah dalam buku ini, pembaca tidak diajak mempersalahkan, melainkan diimbau untuk membaca betapa kondisi atau nasib seseorang merupakan hasil dari bentukan sosio-historis yang melingkupi. Tak ada ?teks? yang terlepas dari konteks merupakan ungkapan yang relevan yang coba diusung lewat gaya tutur pengungkapannya. Meskipun ulah Kebo yang menghanguskan perumahan ludes terbakar memang sudah selayaknya menjadikan warga sekitar berang; kehilangan sisi kemanusiaannya, menyudahi usianya.

Menyoal Sumpah Pemuda, pemimpin kantor berita Aceh Feature ini ?tidak punya paralelisme pengalaman dengan peristiwa itu?, bukan sekadar akibat ketakhadirannya pada momen kelahiran hari bersejarah tersebut. Akan tetapi luapan ketidakpuasannya terhadap pengubahan tata-redaksi ?menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia? berubah menjadi ?berbahasa satu, bahasa Indonesia? menjadikannya sedikit gelisah. Bukankah teks yang pertama jauh lebih menghargai perbedaan berkebahasaan ketimbang yang kedua? Dalam artian, meskipun masyarakat Indonesia mempunyai bahasa kedaerahan masing-masing ditambah dengan dialek yang tak sama, toh bahasa kebangsaan, persatuan harus satu; bahasa Indonesia.

Bagi saya, judul yang dijadikan dalam buku ini tak lebih dari sekadar jangkauan yang telah ditempuh penulisnya secara geografis, yang melanglang-buana dari Jawa hingga ke Aceh: tempat ia berasal. Ditambah lagi dominasi tulisan di sini juga membahas permasalahan Aceh, GAM dan usaha pemerdekaannya. Hal ini termaktub pada ?Orang-orang Tiro? dan ?Menunggu Wali?. Keduanya membahas perihal Aceh dengan cara berbeda. Untuk ?Aceh dalam Sepiring Rujak? saya belum mengerti mengapa harus disertakan dalam buku ini.

Buku ini ditutup dengan tulisan berjudul ?Mengapa Saya Masih di Aceh?? Di dalamnya berisi kegelisahannya perihal layak-tidakkah Aceh menerapkan hukum syariah yang digagas sekian tahun lalu yang didera bencana terdahsyat sepanjang sejarah, tsunami serta konflik, lalu hukum agama. Pada dasarnya tulisan ini memiliki spirit yang sama dengan ?Adakah Pelangi dalam Islam?? yang dibuka dengan memaparkan konflik batin Nong Darol Mahmada. Dari ?marah? kepada Tuhan karena sakit yang mendera ibu yang begitu hebat, ketidakterimaan mendengar indoktrinasi kewajiban seorang perempuan mengenakan kerudung, hingga fatwa mati bagi Ulil yang menjadikannya geram. Buku ini memang sebuah gado-gado.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *