Maria Magdalena Bhoernomo
sinarharapan.co.id
Memperjuangkan teater modern di Indonesia agar dapat hidup sebagai seni panggung (yang dibutuhkan dan membutuhkan publik atau penonton) memang bukan pekerjaan sederhana. Diperlukan napas panjang, kesabaran dan ketekunan yang prima dalam kurun waktu yang bisa saja tak terbatas. Beberapa tahun lalu, seorang pekerja teater, yang juga dikenal sebagai penyair, Sosiawan Leak, pernah berkata bahwa dirinya sedang suntuk melakukan semacam konsolidasi publik teater modern di Solo (Taman Budaya Surakarta), dengan memprakarsai pertunjukan teater yang telah “mapan” dengan teater kampus dan teater sekolahan secara bergiliran di hari yang sama.
Maksudnya agar publik teater yang sudah “mapan” dan publik teater kampus atau teater sekolahan bisa bersama-sama hadir untuk menonton semua penampilan teater. Dan hasilnya cukup melegakan, karena setiap pertunjukkan teater selalu dihadiri penonton dengan jumlah yang lumayan. Tapi belakangan, agaknya Sosiawan Leak telah kehabisan napasnya sebagai pejuang teater di Solo. Dan ia pernah mengeluh, betapa ia sebagai seniman perlu juga memperhatikan keluarganya. Dengan kata lain, ia tidak bisa terus-menerus menjadi pejuang atau pahlawan bagi teater modern, yang tidak pernah memperoleh “bayaran semestinya”, karena anak-istrinya butuh makan. Maklumlah, ia telah menjadikan seni sebagai semacam ideologi, maka ia harus memperoleh apresiasi yang layak dari publik yang menikmati keseniannya. Misalnya, kalau ia diundang untuk membaca puisi, ia harus mendapat imbalan.
Romantisme Konyol
“Kasus Sosiawan Leak” tersebut, agaknya dapat menjadi cermin, betapa memperjuangkan teater modern agar bisa hidup dan punya banyak penonton tidak cukup hanya dengan romantisme. Bahkan, romantisme dalam hal ini tampak konyol, jika dilakukan oleh seseorang yang ingin mengaktualisasikan dirinya secara profesional. Dan dalam sejarahnya, kehidupan banyak teater modern Indonesia memang bergantung pada romantisme yang konyol tersebut. Sehingga, hampir tidak ada teater modern yang mampu menjadi lahan profesi permanen bagi para pekerjanya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa semua pekerja teater modern di Indonesia memerlukan lahan profesi di bidang lain untuk menghidupi diri dan keluarganya kalau tidak ingin mati kelaparan!
Namun, jika dicermati, bukan hanya seniman teater modern yang butuh lahan profesi lain untuk bertahan hidup. Seniman-seniman di Indonesia, di luar teater juga membutuhkan lahan profesi lain, karena tingkat apresiasi seni di Indonesia, relatif rendah. Selain itu, pihak pemerintah pun cenderung tidak punya apresiasi terhadap seni. Jika dibandingkan dengan perhatiannya terhadap olahraga misalnya, perhatian pemerintah terhadap seni dapat dikatakan selalu jauh panggang dari api.
Agenda Kompetisi
Mungkin, teater modern Indonesia akan dapat hidup dengan memiliki publik yang besar jumlahnya, dan para pekerjanya juga bisa menjadikannya sebagai lahan profesi primer, jika diadakan semacam agenda kompetisi mirip kompetisi sepakbola. Dalam hal ini, semua Taman Budaya yang ada di setiap provinsi dapat dijadikan panggung untuk melangsungkan kompetisi dengan skala nasional.
Untuk menentukan mana teater yang layak mengikuti kompetisi berskala nasional, sebelumnya perlu dilakukan seleksi atau kompetisi berskala lokal. Misalnya, di masing-masing daerah kabupaten, dipilih teater yang paling bagus untuk mengikuti kompetisi di tingkat provinsi. Dan di masing-masing provinsi, dipilih satu atau tiga teater terbaiknya untuk mengikuti kompetisi berskala nasional.
Dalam pelaksanaannya, kompetisi teater modern Indonesia berskala nasional harus dilaksanakan secara rutin setiap bulan di Taman Budaya di semua provinsi, dengan sistem sebagaimana yang dikenal di dalam kompetisi sepakbola. Sehingga, semua kelompok teater berkesempatan manggung di daerah lain, di samping di daerahnya sendiri. Misalnya, kelompok teater dari Sumatera, Jawa dan Bali bisa manggung di Kalimantan dan di Sulawesi, begitu sebaliknya.
Dalam pembentukan kepanitiaan dan penyediaan dananya, bisa dilakukan oleh instansi yang berwenang. Misalnya, Menteri Pariwisata dan Budaya yang menjadi penanggung jawab tertinggi, bisa merangkul pihak sponsor yang berasal dari swasta. Kalau Bank Mandiri bisa menjadi sponsor kompetisi sepakbola Liga Mandiri, apakah tidak mungkin jika bank-bank lain tertarik untuk menjadi sponsor kompetisi teater modern?
Aset Pariwisata dan Budaya
Jika kompetisi teater modern Indonesia benar-benar dapat dilaksanakan secara rutin setiap tahun, bukan tidak mungkin akan menjadi aset pariwisata dan budaya yang sangat berharga. Dalam hal ini, wisatawan domestik bisa dari kalangan pengamat dan penggemar teater di daerah-daerah. Dan wisatawan asing bisa dari berbagai negara yang ingin menontonnya sekaligus melihat obyek-obyek wisata yang ada di Indonesia. Jika dalam sepakbola ada suporter yang disebut “Bonek” yang sangat fanatik mendukung kesebelasan di daerahnya, maka dalam kompetisi teater juga mungkin akan bermunculan fans-fans berat dari banyak daerah yang punya gairah seperti “Bonek”. Sehingga, publik teater akan terkonsolidasi dengan sendirinya.
Untuk menjadi “Bonek” dalam kompetisi teater, tentu sangat menyenangkan dibanding menjadi “Bonek” dalam kompetisi sepakbola. Sebab, dalam kompetisi teater tidak akan muncul kerusuhan atau kekerasan yang membabi buta dan membahayakan jiwa.
Harus ditegaskan, betapa persoalan kesenian dan kebudayaan, khususnya persoalan teater modern, selayaknya diperhatikan oleh pemerintah, bukan saja demi para pekerja teater saja, melainkan demi seluruh bangsa. Jika sepakbola nasional kita yang melulu kalah di dalam kompesiti regional maupun internasional terus-menerus dimanja-manja dengan dana alokasi dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN), kenapa kesenian semacam teater modern dibiarkan merana? Dalam hal ini, membangun taman-taman budaya di semua provinsi, tanpa mengadakan semacam kompetisi seni (teater), ternyata tidak cukup, dengan bukti betapa banyak taman budaya yang selalu nyaris sunyi tanpa agenda kesenian yang kontinu dengan skala besar (nasional).
Pemain Profesional
Dengan adanya kompetisi teater modern berskala nasional, maka para pekerja teater mungkin akan bisa menjadi pemain profesional, sebagaimana pemain sepakbola. Dalam hal ini, setiap kelompok teater terbaik di masing-masing provinsi bisa mengontrak pekerja-pekerja teater yang dapat bermain dengan bagus. Maka, penulis skenario dan sutradara pun bisa dikontrak secara profesional. Maka, sistem transfer antarpemain teater bukan hal yang perlu dianggap aneh lagi. Untuk selanjutnya, pemain-pemain profesional dalam dunia teater modern juga bisa ditransfer untuk bermain di sinetron atau di dalam acara-acara drama yang ditayangkan oleh teve. Dengan demikian, dunia teater modern akan berkembang pesat, menjadi bagian dari dunia hiburan yang lebih bergengsi, di mana pemain-pemainnya akan menjadi bagian dari hiruk pikuk dunia selebritis yang bermobil mewah dan punya rumah megah.
***
*) Penulis adalah Pencinta Teater, tinggal di Kudus.