Agus Koecink Sukamto*
http://www.jawapos.com/
MENGURAI Akar Budaya. Itulah tema yang diusung Biennale Seni Rupa Jawa Timur III-2009 yang dibuka Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Djoni Irianto di Galeri House of Sampoerna, Kamis (10/12).
Di galeri itu khalayak bisa menyaksikan ragam seni rupa tradisi dan kekinian karya para perupa Jawa Timur. Di antaranya karya Musafiq (pelukis wayang beber), Nur Samaji (cucu Mbah Masmundari, penerus lukisan Damarkurung), perajin keramik Malo, dan kehadiran generasi perupa muda yang merespons masa lalu untuk masa kini. Mereka, misalnya, Arif C. Tamam, Sugiyo, Achmad Daldiri, Najzil Layin, Bara Widjaya, Eko Sandianto, Fauzi, Din To Jay, Fauzi, Maryoko (pelukis kaca Tulungagung), Addy Prana, Andi Pethal, dan Yudhi Sidharta (keramikus dari Malang).
Budaya lokal menjadi inspirasi dalam proses penciptaan karya seni rupa kekinian yang ditampilkan dalam biennale kali ini. Para perupa muda Jawa Timur kembali dihadapkan pada pemahaman seni yang berbasis pada wilayah budaya mereka masing-masing, di mana pembacaan kembali sejarah seni rupa Jawa Timur sebagai tapak jejak sejarah dimulai.
Kini, sesuatu yang tersembunyi dan tak terawat itu seakan bangkit dan ingin menunjukkan kekuatan nilai-nilainya. Dalam kehidupan kebudayaan di Jawa Timur, kita tahu bahwa banyak peninggalan kebudayaan dan kesenian yang tidak dirawat dan dikelola secara profesional. Peninggalan kebudayaan itu dianggap sesuatu yang kuno, tidak laku, dan akhirnya tergerus oleh perkembangan kebudayaan masa kini.
Hal yang sama terjadi dalam dunia seni rupa Indonesia. Para perupa berlomba-lomba meniru tren lukisan yang populer di pasar dunia. Seni rupa China saat ini dianggap sebagai dewa untuk sebagian besar perupa-perupa Indonesia. Mereka barangkali lupa bahwa sebenarnya Indonesia mempunyai kekuatan dalam kebudayaannya yang sangat kaya dan beraneka ragam yang bisa menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dalam karya-karya mereka. Bahwa sebenarnya cerita-cerita tentang kelokalan itu mempunyai nilai-nilai yang arif, adiluhung, dan kegeniusan yang tersirat di dalamnya. Wayang kulit, topeng kayu, batik, candi-candi, dan peninggalan budaya lainnya hanya dianggap sebuah peninggalan kuno tanpa merasa perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan di masa depan. Bahkan, benda-benda seni adiluhung itu hanya diposisikan sebagai pajangan dan dianggap benda-benda mitologi saja.
Seni rupa yang memang akarnya dari Barat sebenarnya tidak membuat para perupa untuk terus-menerus melihat Barat atau negara di luar Indonesia sebagai kiblat. Budaya lokal sebenarnya bisa menjadi spirit dalam seni rupa Indonesia dalam kancah seni rupa dunia. Untuk itu, diperlukan kesadaran untuk menengok sejenak seni rupa tradisi yang hidup dalam wilayah sekitar pedesaan, perkotaan, pegunungan, perbukitan, pesisiran, aliran Sungai Brantas, dan lain-lain yang belum menjadi kajian untuk diletakkan sebagai dasar pijakan dalam seni rupa Jawa Timur.
Biennale Jawa Timur 2009 ingin menautkan antara pemikiran tradisi dan masa kini yang sezaman dengan kehidupan para perupa. Harapannya adalah sesuatu yang tersembunyi dan tak terawat dalam kebudayaan Indonesia bisa tampil dan mampu membangkitkan ingatan tentang cerita-cerita kelokalan yang mengandung kearifan, kegeniusan, dan keagungan yang hidup dalam nilai-nilai budaya tradisional.
Apa yang akan dilahirkan ketika perjumpaan tersebut hadir sebagai hasil dari pembacaan masa lalu?
Para perupa Tulungagung seperti Sugiyo, Maryoko, Nur Ali, Wiji Paminto, secara tidak langsung mempraktikkan penciptaan karya seninya sebagai hasil persinggungan dengan lingkungan budaya lokal yang hidup pada wilayah tempat mereka tinggal. Pengaruh wayang kulit, kebesaran wayang orang Siswa Budaya yang kini tenggelam, candi-candi yang berserakan di sekitar rumah mereka -seperti Candi Gayatri, Relief Guwa Lawa, dan Candi Dadi- seakan-akan hidup kembali dalam pameran kali ini. Sejarah lokal hadir dalam bentuk visual, puing-puing budaya dihidupkan kembali, dan dimaknai.
Sejarah kebesaran Majapahit dengan sisa-sisa patung dan tradisi pembuatan patung di sekitar Trowulan menjadi inspirasi Hendra Wahyu D. Perupa muda Mojokerto ini dalam karya seni lukisnya yang dipajang di Galeri Orasis Song for You menggambarkan figur patung Buddha sedang mengenakan headphone di kepalanya, mendengarkan musik dari DVD player. Sang pelukis seakan hendak menyuarakan era baru yang membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai modern.
Begitu pula Sugiono, perupa dari Kota Batu dengan karya-karyanya yang berbicara soal masa depan dengan pelaku utama sosok tua dan anak-anak sekitar perbukitan Dia seakan ingin memetaforakan nilai-nilai tradisi ini dalam hubungannya dengan kelestarian budaya lokal itu sendiri. Markeso, salah satu tokoh dalam perjalanan sejarah ludruk di Surabaya yang terkenal dengan ludruk garingan -bermain ludruk dengan iringan musik yang keluar dari mulutnya sendiri dan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain- direspons oleh pelukis muda Dukan Wahyudi. Dukan menghadirkan sosok khas wajah Markeso dengan tulisan The lodroek of garingan, mengharuskan si pelukis melakukan pembacaan kembali tentang karakter Markeso.
Puing-puing budaya yang berserakan itu dihidupkan di galeri-galeri kontemporer Surabaya sepanjang perhelatan biennale hingga 22 Desember mendatang. Selain di House of Sampoerna, pameran juga dilangsungkan di Galeri Orasis (12-22 Desember), Seni Galeri (15-22 Desember), Sozo Art Space (13-22 Desember), dan Galeri Surabaya (14-22 Desember). Ini satu langkah berarti dalam perjalanan seni rupa Jawa Timur dan dukungan penuh diberikan para pemilik galeri untuk even dua tahunan ini.
Biennale Jawa Timur 2009 digagas sebagai strategi kebudayaan untuk memperluas jaringan, proses pembelajaran, dan menjadi pemicu untuk melahirkan perupa-perupa potensial dari wilayah ini. Biennale merupakan satu proses dialog antara perupa, kurator, pemilik galeri yang peduli, dan masyarakat Jawa Timur.
Pada akhirnya biennale yang masih berumur tiga tahun ini diharapkan semakin besar dan berkembang, bahkan bisa menjadi ikon kegiatan kota yang ditunggu-tunggu kehadirannya untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran baru dalam dunia seni rupa Jawa Timur. Semoga.
*) Kurator Biennale Jawa Timur III-2009.