Hilal Ahmad
http://oase.kompas.com/
Sudah tiga jam lebih lelaki tua itu teronggok di sudut pelataran rumahnya. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih terkulai lemas, seperti ayam potong yang mengakhiri hidup lewat belati tukang jagal. Matahari belum berada tepat di atas kepala, namun hari seperti cepat menjemput malam.
***
Lelaki tua itu menatap kosong. Matanya yang cekung membantunya bersikeras menerawang kejadian puluhan tahun silam, saat ia masih berusia seperti bocah yang tengah bermain di pekarangan rumah. Bibir tipis yang terlihat pucat itu mengulas senyum, mengucapkan sebuah nama. Nama yang begitu melekat dalam memorinya yang semakin menua dimakan usia.
?Kirana,? desis lelaki tua itu. Ia menghembuskan nafas berat. ?Seandainya semua berjalan seperti yang kita rencanakan, tentu semuanya tak akan seperti ini,? ujarnya lirih, nyaris tak terdengar, tertelan suara bising bocah-bocah yang asik bermain gundu.
?Eh lihat, kakek itu tersenyum sendiri,? celoteh bocah berkaos biru bergambar jagoan seperti dalam televisi.
?Ah, jangan bohong kamu. Kakek itu kan nggak bisa ngomong,? timpal yang lain. Kali ini bocah lelaki berusia delapan tahun yang tinggal berdampingan dengan rumah lelaki tua itu.
?Aku tidak yakin kalau ia bisu,? sanggah bocah berkaos jagoan lagi.
?Iya. Kalau budek aku mungkin percaya. Tapi kalau bisu,? bocah berkaus merah menggelengkan kepala.
?Ah sudahlah jangan dipikirkan, ayuk kita lanjutkan main gundunya,? bocah keempat yang mengenakan seragam sekolah putih merah menengahi.
?Kok kalian nggak percaya sih,? bocah tetangga lelaki tua itu membela diri.
?Ayok kita buktikan,? tantang bocah berkaus jagoan.
Dengan tiba-tiba, tangan bocah berkaus jagoan mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke arah lelaki tua tadi.
Ia terkesiap. Ingatan akan Kirana kabur begitu saja. Lelaki tua itu mencoba bangkit dari kursi kayu reot yang kerap menemaninya melewati pagi menuju senja. Ia merasakan cairan hangat mengalir dari pelipis wajahnya. Perlahan ia meraba, dan semakin terasa. Cairan yang tak lagi begitu sekental dulu, menganak sungai. Kakek itu terpekur. Dadanya naik turun. Ia begitu ingat, situasi tersebut pernah dialaminya saat ia kelas dua SD. Saat teman-temannya menghadang usai pulang sekolah. Ia dikerubuti lebih dari lima anak, dilempari kalimat menusuk hati dan bongkahan kerikil yang berserakan di halaman sekolah.
Cairan merah dari pelipis itu terus mengalir, membaur dengan cairan bening yang sedari tadi menggenang di sudut matanya. Ia berani bertaruh, telinganya masih cukup tajam mengikuti pembicaran empat bocah yang bermain di pelataran rumahnya. Bahkan setiap kata demi kata masih sangat berbekas di benak lelaki yang dulunya seorang konsultan keuangan di sebuah perusahaan ternama di zamannya.
Ingin rasanya ia berteriak memanggil anak-anaknya. Tapi ia yakin akan sia-sia, karena nama-nama yang begitu dihafal itu tak lagi tinggal bersama dirinya. Sebagai gantinya, mereka mempersembahkan sepasang suami istri tak dikenalnya sedikitpun. Tapi lelaki itu bersyukur masih ada yang mau mengurusinya. Tapi kemana mereka. Matahari hampir masuk ke peraduan namun tak kunjung terlihat.
Cairan itu masih mengalir, berasal dari pelipis dan matanya yang cekung. Namun ia sudah tidak memikirkannya lagi. Lelaki itu mengatupkan mata, seiring dengan rona merah yang menghiasi cakrawala.
***
?Bapak sudah bangun,? suara tegas tertangkap telinga lelaki tua itu. Ia tahu siapa pemiliknya. Gadis kecil buah hatinya yang menjadi kebanggaan karena selalu meraih peringkat teratas dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun lelaki itu tak mau berharap tinggi, karena sangat mustahil baginya bersua dengan puteri kecilnya yang sekarang telah memiliki dua putra dan berdomisili di Kanada.
Meskipun nurani lelaki itu begitu kuat ingin membuka mata, namun sisi lain hatinya menolak. Ia enggan bertemu dengan puteri semata wayangnya yang saat berusia dua hari ia beri nama Sangrina Avalokitesvera. Nama indah yang indah dari sebuah tabloid ibukota yang megupas tentang flora dan fauna.
?Ini semua salah kamu Sangrina.? Suara yang ini pun sangat ia hafal. Ia yakin jika pemiliknya adalah lelaki bermata tajam, berdagu lancip, berkulit bersih, dan berbibir tipis, yang menurut rekan kerjanya adalah salinan dari penampilan fisik lelaki tua itu. Adrian Ramawardhana. Putera sulung yang sudah sejak tiga tahun lalu tak pernah lagi mengunjunginya.
?Kok salah aku. Ini kan ide kamu Adrian, yang menaruhnya di desa sunyi seperti lahan tak bertuan itu,? bantah Sangrina.
?Ini jauh lebih mulia dibanding ide kamu yang ingin menaruh Bapak di panti jompo,? suara Adrian meninggi.
Ingin rasanya lelaki tua itu melerai, seperti yang kerap dilakukannya berpuluh tahun lalu, saat keduanya berebut mainan atau apapun yang meyulut pertengkaran. Sejak dulu keduanya memang kerap bertengkar. Mulanya lelaki tua itu mengira perihal tersebut hanya berlaku saat kanak-kanak saja. Tapi ia salah, kebiasaan itu masih terpelihara sampai sekarang.
Lelaki tua itu menyulam nafasnya yang tercerai berai. Saat-saat seperti ini ingin rasanya ia bertemu dengan putera ketiganya, Ranjita Birawa. Puteranya ini lebih banyak berdiam diri, pun saat kedua kakaknya bertengkar sengit memutuskan tempat tinggal dirinya dalam menghabiskan masa tua.
Masih hafal dalam benaknya, putera ketiga yang ia panggil Bira menitikkan air mata saat mencium punggung tangannya. Lelaki tua itu sangat tersentuh, anak yang paling tak dihiraukannya justru sangat berempati dan memendam luapan kasih yang menggunung.
Lelaki tua itu pun masih hafal, perlakuannya pada Birawa yang ia sadari sangat tidak adil. Ia lebih menyayangi Adrian, si sulung yang memiliki wajah rupawan dan Sangrina yang memiliki otak secerdas Einstein. Tapi Bira, ia tak memiliki kelebihan apapun kecuali keinginannya yang kuat untuk masuk pesantren, yang lelaki itu rasa merupakan hal sia-sia. Ingat Bira, lelaki itu ingat pula pada Kirana. Istri pilihan orangtuanya yang begitu mengasihinya meski tak kunjung berbalas. Kerap pula ia menghardik segala yang dilakukan Kirana untuknya. Tapi untungnya Kirana mempersembahkan buah hati yang lucu dan membanggakan yakni Adrian dan Sangrina. Lagi-lagi lelaki tua itu merajut nafas yang tercerai berai.
?Kau bagaimana Bira, apa kau setuju jika Bapak kita kirim saja ke panti jompo,? suara Adrian terdengar lagi.
Hening. Lelaki tua itu tidak mendengar suara, hanya helaan nafas dari beberapa makhluk yang berada di sekelilingnya. Lelaki itu berharap Bira memberikan jawaban yang sangat memuaskan. Aih Kirana, betapa aku sangat merindukanmu.
?Sebenarnya?aku setuju??
Jantung lelaki itu berdetak lebih kencang seiring makin tak beraturannya garis-garis dalam monitor yang tak jauh diletakkan di ranjang tempat ia berbaring.
Bira yang belum sempat melanjutkan ucapannya tersentak. Sorot matanya yang sedari tadi tak lepas dari monitor penanda kehidupan sang ayah membuatnya spontan memanggil bantuan perawat.
***
Lelaki tua itu mengerjapkan matanya. Ia berada di ruang dengan nuansa serba putih. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi tak berhasil. Lengannya terasa sakit dan terganjal sebuah benda yang tak lain adalah jarum infus. Badannya terasa remuk redam.
Ia menyapu ruang dari sudut matanya. Seorang perawat berseragam putih berdiri di sampingnya, asik mencatat sambil sesekali mengamati benda di ruang tempatnya tinggal.
Perawat itu tersenyum. Lalu berkata, ?Bapak lekas sembuh ya,? lalu pergi meninggalkannya kembali bergumul dengan kesunyian.
Esok harinya, lelaki itu sudah merasa lebih baik. Ia bisa menggerakkan persendian tubuhnya. Ia mencoba menegakkan punggungnya, dengan susah payah akhirnya keinginannya tercapai. Ia bersandar sambil terus mengamati ruang yang menjadi tempat tinggal barunya itu.
?Kirana?.?
Belum sempat kalimatnya berlanjut, Adrian masuk ke dalam ruang.
?Bapak sudah bisa pulang hari ini,? ujarnya singkat.
***
Lelaki itu sudah siap dengan rutinitas hariannya, duduk di pelataran rumah menyaksikan perjalanan sang surya menuju senja. Tak ada pekerjaan yang lebih mengasyikkan baginya selain detik demi detik merasakan pergantian waktu.
Ini merupakan hari pertama setelah ia kembali dari rumah sakit. Menurut dokter yang merawatnya, ia hanya menderita luka ringan karena kehabisan darah yang terus mengucur dari pelipisnya yang terluka.
Lelaki itu sudah tidak lagi mempermasalahkan hal tersebut, ia justru mengamati pekarangan rumahnya yang biasa dijadikan arena bermain bocah-bocah tetangga, tapi kini sepi. Padahal hari itu libur sekolah karena tanggal merah. Hari seperti itu kerap digunakannya untuk bermain bersama Adrian dan Sangrina dengan berbagai kegiatan. Sedangkan Bira dan Kirana mempersiapkan segala sesuatu di dapur.
Ingat Adrian dan Sangrina hatinya seperti disayat-sayat. Kemana mereka sekarang, apakah tengah terjebak pada kesibukan masing-masing. Tapi tidakkah terpikir untuk semenit saja menemaninya, sekadar menghiburnya, seperti yang ia lakukan saat mereka masih kanak-kanak.
Sekelebat, benaknya teringat Bira dan Kirana. Batinnya bergemuruh. Kadua nama itu membuatnya sangat terpukul. Raut wajahnya yang keriput sangat kentara menyiratkan penyesalan. Andai saja waktu dapat diputar ulang, tentu ia tak akan mengusir keduanya dengan kasar hanya karena tuduhan yang sampai saat ini tak dapat dibuktikan.
Lelaki tua itu melirik pohon belimbing tepat di depan matanya. Cahaya matahari dari ufuk timur masih bermalu-malu bersinar dari balik ranting pohon tersebut, pertanda hari masih belum beranjak siang. Pandangannya beralih pada sekantung obat yang ia sendiri tak tahu berguna sebagai apa. Sebelum duduk di singasananya, ia sempat menitipkan permintaan agar sepasang suami istri yang merawatnya jangan menggang hingga matahari tepat di atas kepala. Dan sebelum ia duduk di kursi itu, disediakan air putih dalam gelas berukuran sedang.
Lelaki itu tersenyum saat matahari menyinari pepohonan dan hampir memakan habis bayangan pohon di pekarangan. Tangan kirinya meraih kantung plastik warna hitam, dan menumpahkan butiran pil di telapak tangan kanannya. Lalu menenggak habis butiran berwarna putih, kuning, dan biru tanpa sisa. Tangan kirinya kembali meraih gelas sedang berisi air putih lalu meneggaknya hingga habis.
Pria itu menantikan detik selanjutnya dengan mata bebrinar, seperti mata bocah yang menang saat main gundu di pekarangan rumahnya. Saat matahari benar-benar berada di atas kepala, senyum di wajah tuanya semakin terlihat, seiring dengan gumpalan busa yang keluar dari sudut bibirnya yang dulu menjadi ampuh menggaet para wanita.
Satu persatu nafas yang ia rajut dengan susah payah mulai melemah, kemudian menghilang. Seiring dengan deru mobil yang masuk ke pekarangan rumah.
Sebelum ia benar-benar menutupkan mata, sosok wanita dan lelaki yang begitu dirindukannya selama tiga tahun ini mendekati singasananya. Namun ia hanya bisa mengucapkan sebuah nama yang sekaligus sebagai kalimat terakhirnya.
?Kirana?.?**
Serang, 04112008