Bayu Dwi Mardana
http://www.sinarharapan.co.id/
?Terus terang proses peralihan masa prasejarah ke masa sejarah Nusantara belum banyak disoroti peneliti. Padahal bila diteliti lebih jauh, pada masa ini bisa terungkap bagaimana perjuangan nenek moyang kita untuk berhubungan dengan dunia luar,? ungkap Endang Sri Hardiati, Kepala Museum Nasional, prihatin. Padahal, persentuhan dengan dunia luar itulah menghasilkan era baru dalam sejarah Indonesia. Tentu ini tak bisa kita lupakan begitu saja.
Berawal dari rasa keprihatinan tadi, Endang melontarkan ide untuk mengadakan pameran yang berusaha menyingkap proses masa peralihan tadi berdasar dari temuan-temuan yang sudah dilakukan para peneliti arkeologi. Gayung pun bersambut. Ide manis itu ditanggapi positif Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Belum lagi dukungan dari para kolega dan ahli arkeologi dalam dan luar negeri.
Selain mengadakan pameran, Museum Nasional juga menggelar seminar dengan tema yang sama. Seminar ini dilaksanakan setelah acara pembukaan pameran bertajuk ?Fajar Masa Sejarah Nusantara? pada Senin (15/10) lalu. Peserta seminar bukan saja datang dari kalangan peneliti negeri sendiri tetapi juga berhasil mendatangkan peserta dari Inggris, Perancis, Kamboja, Selandia Baru dan Vietnam.
?Pameran ini juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang peradaban Indonesia pada awal dikenalnya tulisan yang ditandai dengan temuan arkeologis, berupa prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,? tegas Endang.
Pameran yang rencananya digelar sampai pertengahan Desember itu menampilkan 83 koleksi antara lain peninggalan-peninggalan masa megalitik, benda-benda perunggu, manik-manik, amulet, meterai, arca-arca, prasasti sampai fragmen sisa-sisa bangunan dari situs percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Yang jelas seluruh materi tadi merupakan warisan budaya yang berasal dari masa prasejarah akhir dan awal masa sejarah Nusantara.
?Meski kedua periode tersebut tidak berbeda jauh, bahkan secara kronolologis menyambung, yang satu melanjutkan yang lain, tetapi warisan budaya yang dihasilkannya punya perbedaan yang besar. Terutama, yang menyangkut keberadaan aksara atau tulisan,? papar Endang dengan ramah.
Alhasil dari kedua periode tadi, penyelenggara berusaha menampilkan materi atau koleksi yang menggambarkan, kehidupan keagamaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan perdagangan kuno India-Nusantara-Cina, komoditi perdagangan kuno dari wilayah Nusantara dan sisa-sisa pemukiman.
Menurut Endang sumber koleksi-koleksi itu bukan saja dari Museum Nasional saja tetapi juga datang Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Masa Megalitik
Masa akhir zaman prasejarah disebut juga dengan Paleometalik karena pada masa ini telah dikenal teknik peleburan bijih-bijih logam dan pembuatan benda-benda dari logam. Pada masa ini pula masyarakat di Nusantara telah mengenal kepercayaan terhadap arwah nenek moyang. Sebagai perwujudannya, mereka melakukan pemujaan lewat media batu besar yang disebut megalitik.
Bukti-bukti pemujaan tadi bisa kita ketahui dari peninggalan-peninggalan megalitik yang tersebar di wilayah Nusantara, seperti Situs Pangguyangan, Sukabumi dan Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Lalu kita juga bisa lihat di Pasemah, Sumatera Selatan dan di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Hasil dari penemuan bukti-bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa pada masa tersebut masyarakat telah memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. ?Kita bisa lihat dari sistem sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kesenian yang mereka miliki,? sebut Endang.
Sistem sosial ekonomi ? terutama perdagangan, telah dilakukan tak sebatas pada kawasan Asia Tenggara saja, namun sudah merambah ke Asia Daratan, seperti India dan Cina. Hal ini sudah terbukti dengan ditemukannya penyebaran nekara perunggu di Indonesia yang bermula dari Vietnam (kebudayaan Dongson). Termasuk penyebaran keramik dari masa Dinasti Han, Cina pada sekitar abad ke-2 SM.
Bukti lainnya adalah temuan arkeologis berupa gerabah roulet yang berasal dari Arikamedu, India Selatan. Munculnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha yaitu Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad ke-5) dan Kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7) juga merupakan pengaruh dari adanya kontak masyarakat Nusantara dengan India.
Para peneliti arkeologi memperkirakan bahwa sekitar 2.000 ?2.500 tahun lalu, Nusantara telah terlibat dalam perdagangan global. Penyebabnya gara-gara terjadi peningkatan kebutuhan barang-barang eksotik yang mempunyai nilai prestise di kalangan para elite di daerah Mediterania, India dan Cina. Di antara barang-barang eksotik itu adalah rempah-rempah, terutama cengkeh.
Perdagangan rempah-rempah ternyata telah mendorong terjadinya proses Indianisasi dan memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Menurut Profesor I Wayan Ardika, peneliti arkeologi, perdagangan rempah-rempah juga telah menjadi pemicu munculnya sejumlah negara atau kerajaan yang terletak di sepanjang jalur komersial yang menghubungkan India dengan Mediterania. Perdagangan itu pun berhasil melibatkan orang-orang Eropa untuk pertama kalinya membangun daerah koloninya di Asia Tenggara.
Selain bukti arkeologis, I Wayan Ardika juga memaparkan data artefaktual, sumber-sumber tertulis, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri yang memberikan informasi tentang nama tempat (topomim) dan produk yang terdapat di Nusantara atau Asia Tenggara.
Bukti kitab yang cukup terkenal adalah kitab Ramayana karya Valmiki yang diperkirakan berasal dari abad ke-4 SM sampai abad ke-2 setelah Masehi menyebutkan Pulau Jawa (Javadvipa) dan Pulau Sumatra (Suvarnarupyakadvipa). Lalu ada juga kitab Periplus yang merupakan pedoman untuk berlayar di Lautan Erythrasa atau Samudra Indonesia. Kitab ini ditulis oleh seorang nahkoda Yunani-Mesir yang biasa mengadakan pelayaran antara Asia Barat dan India, dan diperkirakan berasal dari abad pertama Masehi.
Ada juga informasi lain tentang pedagang asing yang tersurat dalam prasasti Bali Kuna antara lain prasasti Bebetin AI (896 Masehi), Sembiran B (951 Masehi) dan Sembiran AII (975 Masehi). Istilah yang digunakan dalam prasasti tersebut adalah banyaga (pedagang yang mengarungi lautan) dan banigrama (perkumpulan pedagang).
Hubungan dan interaksi antara orang India dan Indonesia telah mendorong munculnya kerajaan Hindu-Buddha di negeri ini. Sentuhan budaya Hindu-Buddha dapat dipastikan telah memberi kontribusi terhadap munculnya multikulturalisme di Indonesia. Sebetulnya kalau kita teliti lebih jeli, kerajaan Hindu-Buddha hanya berkembang di kawasan Indonesia bagian barat, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Sedang di wilayah timur pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha bisa dikatakan kurang signifikan, malah bisa dibilang tak ada.