Afnan Malay
http://www.jawapos.com/
20 Desember ini hingga 3 Januari 2010, lima perupa pengusung street art -Prayoga Satria, Janu Satmoko, Prihatmoko Catur, Riono Tanggul, dan Toto Nugroho- memamerkan 20 karya mereka di Galeri Emmitan Surabaya. Kita saksikan kanvas-kanvas yang kerasukan realitas eskapis jalanan dengan paduan realitas imajinatif komik. Bahasa visual yang sengaja dipilih sebagai perlawanan terhadap apa yang dipersangkakan estetika konvensional yang jumud. Sekaligus respons atas pagar-pagar relasi sosial yang formal (intimidatif).
Bentuk-bentuk penyikapan visual berujud komikal, seni rupa jalanan (cakupannya menurut pionir urban art John Fekner semua seni rupa di jalanan kecuali grafiti -sehingga disebut juga post-graffiti atau neo-graffiti), dan bersifat underground yang kini dilakukan banyak perupa tentulah menarik dicermati. Tumpuan sikap itu adalah menegasikan kemapanan. Negasi atas kemapanan termasuk bentuk visual pada komik yang masuk melalui pintu literasi yang fungsinya menghidupkan teks-teks yang bisu.
Dapat dikatakan, kedudukan visual dalam komik itu hanya sebatas pendamping teks, setidaknya posisinya setara: saling melengkapi. Belakangan, komik-komik kontemporer justru kian larut menjadikan teks-teks tidak lebih dari sekadar subvisual.
Bentuk-bentuk bahasa visual yang digunakan kelima perupa dari Jogja pengenyam studi seni rupa itu merupakan pertaruhan eksistensi (eksplisit-terlacak-deklaratif) keperupaan mereka. Sekalipun, ada suasana kikuk dalam urusan eksistensial itu: sebab ia membonceng keganjilan berupa identitas yang tersembunyikan (implisit-acak-hening). Bukankah, seni rupa jalanan menegakkan otoritasnya pada keramaian ruang publik (misalnya, mural, tembok kota, stiker) yang sesungguhnya merupakan realitas alienatif yang temporal?
Padahal, pada lain sisi, pesona eksistensi -yang menggoda kelima perupa- adalah persangkaan pada keabadian. Bahkan, eksistensi sendiri sebenarnya isu kemapanan. Tetapi, bukan itu benar pokok soalnya. Apalagi, dalam praktik apa-apa yang sudah ditahbiskan secara baku-definitif selalu saja tersedia cara untuk menegosiasi mencari ruang yang membuka. Begitupun, apa yang dikerjakan Prayoga, Janu, Prihatmoko, Riono, dan Toto dengan cara menjumput seni jalanan dan bahasa visual komik merupakan upaya menegosiasi kemapanan, utamanya artistik, bisa juga politik, budaya, ekonomi, hukum, pun agama.
Bagi Janu, secara psikologis jalanan telah menjadi rumah keduanya: dunia yang dikelayapinya intens sehari-hari. Riono bahkan sempat mencecap vandalisme yang menyontak seni rupa jalanan, ketika pada suatu subuh pada 2005 akhirnya ia dan keempat kawannya ditangkap polisi beserta satpam (yang sekian waktu mengintai aktivitas keseniannya di jalanan) di area Stasiun Lempuyangan, Jogja.
Pada pameran kali ini Prayoga meretro stiker lama ihwal perempuan tengah menekuk relasi sosial bersenjatakan kemolekan rupa (Power Punk Girl dan Just Another Love). Janu yang kesehariannya lekat dengan aroma jalanan justru mendeskripsikan kekerasan relasional yang terjadi dengan sangat lembut bahkan cenderung feminin (Positivity dan Greeting From Jogja).
Sedangkan Prihatmoko menghadirkan dunia imajinasi yang menggugah secara visual gradasi warnanya sangat memperkuat pokok perupaan (There’s thunder In The Skies dan Bright Hope Came True). Riono yang lebih suka ”terjerat di jalanan” daripada ”terpenjara di kampus” yang sangat dekat bahasa visual komiknya terkesan rapi mengonsep isu relasional-eksistensial (I Need Some Friend dan It’s Over Now). Toto yang mengerjakan eksploitasi print making pada kanvas mendesakkan kekejaman yang terasa bingar (Feel Fresh dan Put Me Down).
Kalaulah betul bahasa seni rupa jalanan dan bahasa visual komik merupakan bentuk negosiasi ketika pengusungnya menghadapi kemapanan adalah soal pilihan otonom masing-masing perupa. Motivasi dan tujuan selalu merupakan pengetahuan-pengalaman dan interpretasi atas kedua hal tersebut yang dilakukan oleh individu. Di luar itu, senantiasa ada konteks sejarah (politik dan ekonomi) yang tengah berlangsung.
Kini kita memasuki masa yang mendorong orang-orang untuk tidak lagi terkesima dengan politik yang dekaden. Karena itu, perlawanan kolektif-ideologis terhadap sesuatu yang mapan akan menemukan kesunyian. Tentu banyak penjelasan untuk itu, tetapi dalam konteks seni rupa fakta tersebut justru membuka ruang yang longgar hadirnya bentuk-bentuk visual.
Seni rupa jalanan (kota utamanya Sao Paolo, Melbourne, Bristol, Berlin, dan New York) dan bahasa visual komik adalah ladang kebebasan yang memikat. Salah satu alasan, misalnya, figur dan peristiwa yang divisualisasi -katakanlah sebagai simbol perlawanan terhadap sesuatu- tidak serta-merta memerlukan identifikasi-konfirmasi faktualnya. Perlawanan dengan motif politik-agama-budaya (seni rupa kendaraannya) sering menjepit apa yang kita sebut kebebasan. Tapi, pastilah itu soal pilihan.
Kalau visualisasi realis diperkaya oleh surealis (sur dalam bahasa Prancis artinya di atas), tentu kita akan terperanjat menyaksikan bahasa visual komik (seni rupa jalanan lebih menonjol keliaran aktivitasnya, vandalisme): ada realitas yang lain, yaitu realitas liyane. Imajinasi visualnya terkadang lebih liar daripada yang disuguhkan surealis. Karena surealis, betapa pun, masih tetap dipandu reali(ta)s objektif sebagai tolok ukur identifikasi-konfirmasi. Pada bahasa visual komik setidaknya kita akan menghadapi bentuk-bentuk imaji yang lebih luas. Kita akan segera diantar memasuki realitas liyane.
Sekalipun ikhtiar menghadirkan realitas liyane itu sebetulnya negasi yang eskapistik-alienatif-temporal. Karena itu, realitas objektif sebagai penanda untuk melakukan identifikasi-konfirmasi tetap bisa dirujuk. Seperti karya seni rupa jalanan yang liar tumbuh di ruang publik (temporal), toh akhirnya -tentu saja sebagian- menemukan rumahnya juga diparkir pada museum dan galeri (permanen). Misalnya, karya-karya Ellis Gallagher, Tod Hanson, 108, Ces53, Neck Face, dan Os Gemeos. Karena itu, ada pula yang menikmati implikasi ekonomis layaknya Ash, Faile, dan Shepard Fairey. (*)
*) Pemerhati seni rupa, pernah studi pada SMSR dan ISI Jogjakarta.