Isbedy Stiawan Z.S. *
sinarharapan.co.id
SUNGGUH! Jangankan melihat parang (tajam dan mengkilat lagi), melihat pisau silet saja aku amat takut. Pernah aku menyaksikan ayahku terluka oleh silet saat mencukur kumis dan jambangnya. Mungkin karena abai atau melamun, pipi ayah terkelupas oleh silet itu. Darah pun mengaliri pipi ayah. Aku segera menutup mata, tak berani melihat warna darah.
Tetapi, justru ayah cuma tersenyum. Ia mengambil kapas kemudian mengelap darah yang ada di pipinya. Ayah berkata, “Luka adalah hal biasa. Setiap orang pasti akan mengalami, lalu mengapa kau takut?”
Bagi ayah memang hal biasa. Aku membatin. Tetapi, tidak bagiku. Luka dan darah sangat menakutkan. Kekerasan amat kuhindari. Itu sebabnya, aku bersyukur bahwa aku hidup dalam lindungan keluarga yang selalu damai. Ayah selalu bertutur lembut, dan ibu tak pernah lepas dari senyum.
Tetapi, nasihat ayah tidak mengubah ketakutan pada benda yang dapat melukai. Sampai kini aku masih trauma. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak ingin mengiris bawang atau sayuran dengan pisau. Lebih fatal lagi, setiap kali melihat darah tubuhku segera gemetar. Lemas. Bahkan aku pernah pingsan manakala anak lelakiku satu-satunya bocor di kepalanya karena jatuh. Untunglah, tetangga sebelah membawa Rio ke puskemas terdekat. Aku siuman setelah Rio pulang dengan perban menempel di kepalanya.
Traumatikku yang akut itu, membuatku tak berani menonton film-film keras: perkelahian atau pertikaian yang menggunakan senjata tajam- juga pistol. Aku juga akan menghindar jika di jalan kusaksikan terjadi kecelakaan.
Itu sebabnya, semasa remaja dulu aku pernah membayangkan ingin mendapatkan suami seperti ayah. Selalu kutepis khayalku pada lelaki yang kejam pada perempuan, kubuang jauh-jauh begitu anganku tertuju pada suami yang selalu menganiaya istrinya. Seperti tetanggaku sebelah dulu, yang setiap hari menindas dan menindak istrinya.
Pernah kukatakan pada ibu, kalau aku berada pada posisi seperti perempuan tetangga sebelah tentu secepatnya aku angkat kaki dari rumah. Apakah cuma lelaki itu seorang di dunia dapat dijadikan suami? Memangnya perempuan tak boleh melawan? “Lebih baik aku hidup menjanda, daripada dianiaya terus!” aku menggerutu.
“Setiap orang tak sama nasibnya. Mungkin perempuan itu bernasib seperti itu, punya suami yang suka menindas?” ujar ibu lembut. Membelai rambutku. Nasihat ibu merasuki batinku.
Hanya saja aku tetap tak sepakat dengan pendapat ibu. Nasib dapat kita ubah, kalau kita mau keluar dari sana. Cuma hal itu tak sanggup kuucapkan. Aku bahagia melihat rumah tangga ibu. “Aku ingin suamiku seperti ayah. Aku ingin punya suami, selembut ayah,” ujarku pelan. Ibu tersenyum. Katanya kemudian, “Amin.”
Pada kesempatan lain kukatakan pada ayah, mengapa lelaki sering menindas istri? Ayah tertawa, setelah itu membantah. Ia tak sependapat pada anggapan bahwa lelaki identik superior dan suka menindas perempuan. “Kamu hanya melihat satu kasus. Padahal banyak lelaki atau suami yang sangat menyayangi perempuan?”
“Maksudnya, seperti ayah?”
Ayah mengangguk. Tersenyum.
“Ayah pengecualian. Jangankan menganiaya ibu, berkata kasar pun tidak pernah. Ayah malah selalu mengalah?”
“Tapi, bukan berarti ayah kalah kan?”
Kini aku yang tersenyum. Aku mengangguk. Tentu ayah, tentu. Ayah tidak akan pernah kalah di hadapan ibu. Ayah hanya menempatkan diri sebagai suami yang menyayangi dan menjaga cinta. Aku menggumam. Ayah memang lelaki idolaku. Membuatku selalu ingin dekat dan rindu pelukannya.
“Suamiku kelak, kuharap seperti ayah?” desisku.
“Kau sudah berpikir rumah tangga?” ayah mendelik.
Wajahku menunduk. Aku enggan menatap mata ayah.
“Maafkan Niken, ayah?”
Tiba-tiba ayah terbahak. “Ooo tak apa-apa, ayah tidak marah,” ujar ayah kemudian. “Itu artinya, kau sudah besar. Jika seseorang sudah berbicara soal rumah tangga, pertanda ia sudah layak dikatakan dewasa?”
Dan memang dua tahun kemudian, setamat SMA aku dijodohkan dengan lelaki yang tak jauh dari rumahku. Bahkan, jika diurut masih ada pertalian saudara. Keluargaku dengan keluarganya boleh dikata masih bersaudara, meski sudah amat jauh. Kala itu aku berpikir, kini atau kelak aku akan tetap berumah tangga. Lelaki ini atau lelaki lain, tetaplah aku akan menjadi istri. Tak mungkin berubah aku jadi suami, jika perjodohan ini kutunda?
***
PARANG sepanjang 30 sentimeter kini menari di depan mataku. Bagai tangan seorang penari, ia meliuk sekaligus mengancam. Aku benar-benar dicekam ketakuan yang sangat. Ini bukan yang pertama kali?mungkin sudah berpuluh kali. Barangkali hanya karena takdir, aku belum mati di ujung parang itu. Dan, karena takdir pula, kiranya aku tak mampu keluar dari jeratan setan ini.
Pernah aku lari ke rumah orang tuaku. Beberapa minggu lamanya. Tetapi, lelakiku menjemput, dan orang tuaku tak sanggup mencegah. Ibu berkata padaku, bagaimana pun kini kau sudah menjadi milik suamimu. “Ibu dan juga ayahmu, hanya dapat berdoa kalian bisa rukun, saling menyayangi dan mencintai?”
Ah! Ibu tak mengerti bagaimana pedihnya hatiku sebagai perempuan. Ibu tak pernah merasakan menjadi istri yang setiap waktu terancam jiwanya. Ibu biasa terlindung oleh kelembutan dan kasihsayang ayah. Tidak seperti aku, anakmu yang malang ini. Ayah juga tak mampu menyelami lautan hatiku yang dalam. Hanya dapat berenang di permukaan. Sebab ayah tak pernah memperlakukan ibu sekasar yang kualami kini. Ayah yang periang mengisi hari-harinya selalu dengan riang. Ayah dan ibu, sekali lagi kuakui, adalah pasangan ideal. Impian setiap orang. Meski, kata ibu dulu sekali, “Setiap orang tak sama nasibnya.”
Mungkin nasibku harus seperti ini, ibu? Begitu ibu, kutafsir ucapanmu dulu kala aku remaja. Entahlah. Aku memang bukan juru tafsir suatu kata menjadi peristiwa nyata. Aku bukan ahli dalam hal menujum nasib orang, apalagi untuk diriku sendiri.
Entah mengapa, yang pasti, aku dapatkan suami yang dingin dan keras. Hanya karena Rio seorang- anak lelakiku, membuat rumah tanggaku masih dapat kupertahankan. Tetapi kelak, bila Rio sudah agak besar dan kedua orang tua kami sudah tiada, tentu akan kutinggalkan perahu ini. Aku akan melompat ke bahtera dan merenanginya bersama Rio. Di pulau mana pun aku bisa singgah, walau lelah. Di kanal mana pun aku bisa sejenak istirahat, meski hatiku penat.
Bahwa sampai kini Isman masih jadi suamiku, semata demi keutuhan hubungan kedua orang tua kami. Padahal sudah beberapa tahun ini kami tak lagi tidur seranjang. Bahkan Isman acap tidak tidur rumah ini. Suatu kesempatan aku pernah meminta cerai, tetapi Isman berkeras tak ingin melepas.
“Kita berpisah, kalau di antara kita ada yang mati,” tandasnya. “Kalau belum ada yang mati, sampai kapan pun kau tetap istriku. Jadi kau jangan macam-macam!”
“Aku istrimu? Apa buktinya kau adalah suamiku, secara badani dan batiniah kita sudah tak menyatu lagi?” bantahku.
Ia berang. Mendorongku ke ranjang, melempar asbak yang hampir mengenai wajahku. Aku terisak karena tak ingin terdengar oleh tetangga. Rio mendekat dan memeluk erat tubuhku. Isman menarik lengan Rio, menyuruhnya keluar kamar. Setelah itu kembali ia menghampiriku dengan parang. Parang yang mengkilat dan tajam itu yang selalu dipakainya untuk mengancamku. Tubuhku gemetar. Aku benar-benar ketakutan.
Jangankan parang, diancam dengan pisau silet saja aku tak berani. Aku tak sanggup membayangkan parang itu mengenai tubuhku, menyayat kulitku lalu darah mengucur dari badanku. Jangankan darah manusia, ayam yang terpotong pun aku tak berani melihat darahnya. Sekarang, akankah aku harus melihat kucuran darah, darahku sendiri?
O tidak! Cuma saat tengah malam ini, bagaimana aku dapat keluar dari rumah ini? Rumahku sendiri, rumah yang kubangun dari seluruh gajiku sebagai pegawai negeri. Meski belakangan ini tak lagi kurasakan kenyamanan, selain seperti berada di kawah neraka paling bawah.
Isman masih mengancam. Parang sepanjang 30 sentimeter tergenggam erat di tanganya. Aku tak berkutik. Tetapi aku juga tetap bergeming. Pikiranku, kalau memang harus mati kapan pun bisa: sekarang atau kelak sama saja. Sama persis kala aku harus memutuskan bahwa sekarang atau nanti, aku akan kawin. Pilih Isman ataukah lelaki lain, tetaplah aku sebagai istri. Tak akan pernah berubah, misalnya aku menjadi suami. Jadi, bahwa aku siap dan pasrah pada kematian, semata karena aku tak lagi berpikir soal waktu.
Kalau pun harus menimbang, tiada lain hanyalah soal Rio. Kalau kumati, siapa perempuan yang berkenan menjadi ibu bagi Rio? Ia akan kehilangan perhatian dan kasih sayang, sebagaimana anak ayam kehilangan induk. Kutepis segera bayangan kematian dari benakku. Segera kubangkit dari ranjang. Aku harus melawan, harus bisa keluar dari kamar yang seakan dipenuhi oleh maut.
Parang sepanjang 30 sentimeter itu masih di depan mataku. Hanya tak lagi mengayun-ayun selayaknya jemari seorang penari. Mata Isman kini tertuju ke selengkanganku yang terbuka. Segera ingin kututup pakaianku yang tadi melindungi kedua pahaku. Namun, Isman segera mendekat. Kembali kuberingsut ke tengah ranjang.
“Kau masih cantik, Niken?”
Aku membuang wajah.
“Kenapa kau selalu menjauh dariku. Bukankah aku belum menceraimu, jadi kau masih tetap istriku?” Isman mendekat.
“Jangan, Isman. Aku kasihan dengan Rio, kalau kau membunuhku?” Aku benar-benar ketakutan. Khawatir sekali, jika ia mengayunkan parangnya ke tubuhku. Aku mengiba, terus beraharap agar suamiku tidak berlaku bodoh. Membunuhku. Bagaimana Rio kelak? Kusebut-sebut nama Rio. Anakku memanggil-manggilku. Kami terpisah oleh pintu kamar yang terkunci.
“Perilakumu menyakitkan,” kembali kudengar suara Isman, di antara suara gemeretak giginya. “Untuk apa kau berhubungan dengan lelaki itu, kau selalu mengirim pesan dari ponselmu. Aku tahu, sudah kubaca semuanya?”
Mendengar itu jantungku berpacu kencang. Bukan tak mungkin, kemarahannya makin memuncak. Aku lupa menghapus semua pesan singkat di telepon genggamku, aku benar-benar abai tidak segera menyembunyikan ponselku. Kini sudah tak ada lagi alasan, mengapa aku mengirim pesan singkat tentang rumah tanggaku. Aku teringat pesan pertama yang kukirm pada Hary: “Dia ada di sini, dekat denganku. Tapi, menurutku, terasa amat jauh. Meski dia selalu bilang hanya soal jarak.”
Pesan singkat itu kukirim pada sepotong malam. Setelah itu, beberapa pesan lain antara kami saling bersahut. Hanya dengan pesan-pesan singkat itu, aku merasa terhibur. Hanya dengan ‘mengobrol’ lewat pesan singkat di ponsel, kesepianku terobati. Dan, Hary- lelaki pengusaha yang kukenal ketika ia menjadi rekanan dalam proyek di kantorku, membalas setiap pesan singkat yang kulayangkan padanya.
Hary sering menasihatiku supaya aku tetap tabah. Kadang pesan singkatnya penuh dengan semangat hidup. Katanya dalam pesan singkat, “Kuharap suatu kelak, jarak itu dapat kembali merapat?”
Tetapi, aku tak yakin kami bisa kembali menyatu. Cintaku sudah layu. Kasihsayangku sudah menguning oleh musim garing. “Hidup saja ada mendaki dan ada lurah, begitu pula cinta?” Hary memberiku semangat. Dan, sejak itu aku semakin akrab dengan Hary. Pada hari-hari tertentu, kami janji bertemu. Mengelilingi kota dengan mobil yang dibawa sendiri oleh Hary. Kami mampir di swalayan dan makan siang. Sebatas itu. Kemudian aku diturunkan di tempat kami biasa bertemu. Hubunganku dengan Hary, membuat hariku terasa hidup. Aku bisa melupakan kekalutan dan kekusutan rumah tanggaku. Aku bisa lupa sejenak pada kesepianku?
“Untuk apa kaukirim pesan seperti itu? Itu sama saja kautelanjangi rumah tangga kita ini?” Isman kembali berucap. Suaranya menggelegar, hatiku berdebar-debar.
Ingin kucoba jelaskan bahwa dengan mengirim pesan singkat itu kepada Hary, setidaknya aku telah melepas sumbat di dadaku. Sumbat itulah, entah apa namanya, yang selama ini membuatku sesak. Lalu, salahkah aku mencabut barang sedikit sumbat yang ada itu sehingga dengan begitu aku bisa bernafas?
“Tidak untuk apa-apa,” jawabku memberanikan diri. ?Sebab kalau aku bisa mengadu padamu, tak mungkin aku kirim pada lain orang??
Suamiku, entah mengapa, kini menatapku dengan mata setengah layu. Ia mendekatiku pelan-pelan. Kedua bola matanya terus tertuju ke pahaku yang setengah terbuka. Tangannya menempel di pahaku. Meraba. Membelai. Aku terpejam?
***
SUNGGUH! Sudah dua tahun ini aku tak mencium aroma keringat dan mulut suamiku. Wajar kalau kini aku sangat merindukan. Kubiarkan ia makin mendekat, meraba, dan membelai kulitku. Kupejamkan mataku. Kunikmati setiap inci jemarinya bermain di tubuhku. Sampai dia terlelap di atas perutku, dengan parang yang tergenggam di tangan kirinya tampak terkulai di sisi ranjang. Parang itu tak lagi menari?
Lampung, 21 Desember 2004; 13.22
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang. Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media massa daerah dan Jakarta. Lebih dari 15 buku cerpen dan puisi diterbitkan, dan baru terbit buku puisi Anjing Dini Hari (Rumah Aspirasi, Februari 2010).