“Perempuan” dalam Lingkaran Pertanyaan

Maroeli Simbolon *
sinarharapan.co.id

Apakah yang dirasakan seorang perempuan tua yang ditinggal pergi oleh ketiga anak kandungnya yang berseberangan dengan kekuasaan? Seberapa berat beban batin yang ditanggungnya seorang diri? Dan masih adakah keadilan di hari esok? Pertanyaan-pertanyaan sejenis inilah yang ingin disampaikan Aisah Bashar dalam pementasan monolog Perempuan di Teater Kecil, TIM, 17 Mei 2005.

Betapa pertanyaan-pertanyaan ini menggedor pintu hati nurani kemanusiaan kita di tengah derasnya kasus-kasus politik yang mengilas kesadaran kita. Secara artifisial perempuan tua dalam monolog ini mewakili semua perempuan di negeri ini yang kehilangan anak-anaknya atau sanak saudaranya dalam permainan dan percaturan politik yang penuh misteri dan ketidakpastian. Ada yang diculik tiba-tiba, dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku, ada yang melarikan diri ke luar negeri, bahkan ada yang tak jelas rimbanya hingga kini. Sedangkan secara simbolik perempuan tua itu adalah ibu pertiwi yang menderita sengsara akibat hilangnya anak-anak peradaban dan budaya luhur dari depannya, diterkam kemunafikan.

Benar kata orang bijak, politik itu kejam? tak kenal saudara. Tetapi, dari monolog ini dapat kita petik sebuah hikmah bahwa sekejam-kejamnya politik lebih kejam sistem yang melegalkan kekejaman politik itu sendiri. Sehingga, sekian banyak orang menjadi korban sia-sia dari sistem yang salah. Dan kehidupan kita pun menjadi berantakan.

Maka, sepanjang cerita monolog berlangsung, tanpa dapat mengelak, ingatan kita dipaksa untuk kembali mengurai berbagai peristiwa mengenaskan yang telah terjadi di negeri ini, yang menimpa putra-putri bangsa kita. Satu per satu, siapa saja yang bersuara lantang dipaksa menerima nasib buruk, yang hampir sama buruknya dengan hewan sembelihan. Diciduk, disiksa, dan tak jelas nasibnya.

Jika sudah berhadapan dengan kekuasaan, jangan lagi bicara cinta dan bermimpi tentang masa depan. Tak ada cinta, welas asih, budi luhur bila pelita hati nurani telah padam. Tak ada lagi budaya yang diagungkan, kecuali kecemasan dan air mata.

Sekian banyak peristiwa mengenaskan terjadi di sekeliling kita dan di depan mata kita, yang dialami putra-putri terbaik kita, tetapi adakah penyelesaian yang pasti? Tak pernah. Tujuan-tujuan luhur tak ada gunanya. Semuanya tenggelam oleh kekuasaan dan oleh sistem yang berkuasa. Semuanya menjadi buku yang senantiasa tertutup dan pantang dibuka, atau serupa pertanyaan-pertanyaan yang kunjung berjawab. Seperti pertanyaan perempuan tua, tokoh kita dalam monolog ini: “Susah payah kubesarkan anak-anakmu, dan inikah balasnya? Cuma kecemasankah bagianku?”

Demikian menyedihkan hidup perempuan tua ini, menapaki hari demi hari dengan terbata-bata dalam kesendirian dan kesepian yang mencekam. Ia senantiasa diteror oleh kabar-kabar buruk tentang ketiga anaknya, Suri, Bintang, dan Juang. Ia dirundung kerinduan yang tak berujung. Ia mendambakan kebahagian yang menjadi dambaan setiap insan di atas bumi ini. Ia merindukan keluarga yang sakinah. Ia merindukan tawa riang anak-anaknya. Ia merindukan suaminya, tempatnya berbagi suka duka. Tetapi, kenyataan yang harus diterimanya dari sistem yang menjunjung kekuasaan adalah penderitaan yang panjang.

Suaminya mati ditembak, tanpa jelas siapa penembaknya dan mengapa ia ditembak. Ketiga anak-anaknya satu per satu menjadi aktivis yang berseberangan dengan kekuasaan, sehingga harus menerima nasib yang tak menyenangkan.

Jika sudah demikian parah sistem yang menekan, siapa yang patut disalahkan? Ataukah kita cuma bisa pasrah menerima nasib yang getir? Barangkali, ya. Seperti perempuan tua ini yang tak menyalahkan siapa-siapa. Ia cuma mempertanyakan kepada foto suaminya mengapa hanya mampu memberi anaknya buku-buku sebagai peninggalan, bukan harta yang berlimpah? Ia hanya bisa pasrah menerima nasib. Malah, ia lebih menyalahkan dirinya yang gagal mendidik anak-anaknya.

Ah. Ternyata sudah sedemikian perihkah nasib yang menimpa ibu pertiwi? Tanpa dapat mengelak, pertanyaan ini menohok uluhati kita saat menyaksikan monolog yang mengesankan ini.
***

Suasana gelap dan senyap. Pelahan musik sendu mengalun. Disusul siluet berwarna merah seorang ibu yang sedang mengayun anaknya yang menangis.

“Cuma tukang kredit yang lewat, Uti. Itu bukan bapakmu,” demikian terdengar pilu suara perempuan tua. “Beberapa bulan lagi hukuman ayahmu selesai. Ah, sabarlah. Dalam keadaan begini, kita harus saling menguatkan.”

Dari sinilah persoalan demi persoalan kemanusiaan bergulir menjadi bola salju, yang semakin lama semakin membesar, dan semakin menghimpit kita. Begitu bergulir, bola salju itu tak dapat lagi berhenti sebelum mencapai tujuannya. Dan bola salju itu bergulir dengan tenang, tidak melompat-lompat dengan garang. Tenang dan penuh perenungan.

Penonton yang memadati gedung yang berkapasitas 1.500 itu menjadi senyap dan serius menyaksikan atau menjadi saksi atas peristiwa yang dikisahkan. Sepertinya penonton tak ingin melepaskan detik demi detik peristiwa yang terjadi.

Perempuan tua ini bergerak dalam penguasaan panggung yang utuh, terkadang bergerak ritmis terkadang bergerak tak beraturan, mencerminkan kekacauan kejiwaannya. Sesekali ia minum dan menyulam dengan tangan agak gemetar, sesekali ia tertawa dicelah isak tangisnya yang serak.

Dan sebagaimana teori drama yang telah diajarkan Aristoteles dan Stanilavsky, maka menjelang puncak pementasan baru muncul loncatan-loncatan, dengan kaburnya anaknya dari penjara dan hilangnya anaknya yang lain. Suasana pun menjadi mencekam dan menggetarkan.

Puncaknya perempuan tua ini berteriak histeris, membanting foto suaminya hingga pecah berkeping-keping. Dan beling-beling itu diremas-remasnya, lalu ia mengobrak-abrik buku-buku peninggalan suaminya diiringi tangis putus asa.

Hingga akhir cerita, penderitaan perempuan tua belum berakhir, masih diselimuti pertanyaan demi pertanyaan. Perempuan ini bersimpuh dalam tangisannya di sudut kiri depan, sementara siluet anak kecil yang menangis dalam ayunan di sudut kanan belakang. Keduanya dalam penantian masing-masing. Keduanya meratapi kehilangannya.

Semua kesuraman yang dialami perempuan tua itu berhasil diwujudkan penata lampu yang ditangani Bono. Sayangnya, hal ini kurang didukung oleh kekuatan penata pentas yang dipegang Adhek MY Pasaribu, yang terkesan seadanya dan kurang terkonsep.

Demikian pula penata musik yang dipercayakan kepada Hendri Paranginangin kurang mampu merasuk dan menjiwai, seperih penderitaan tokoh kita, perempuan tua. Musik terkesan datar, kurang mengisi. Tetapi, semua kekurangan itu mampu dibungkus dan menjadi tak terasa oleh permainan apik Aisah Bashar, aktor muda yang penuh bakat yang aktif menulis cerpen, puisi dan naskah teater. Permainan yang mumpuni, siap berkibar dan menunjukkan kelasnya.

Betapa cewek manis yang lahir di Rantauprapat 24 tahun lalu ini berhasil menampilkan sosok perempuan tua secara pas dan konsisten selama hampir satu jam pertunjukan. Apa yang dilihat penonton di panggung bukanlah sosok cewek lulusan S2 Linguistik USU Medan, melainkan benar-benar tokoh perempuan tua yang kesepian dan tertekan kejiwaannya. Perempuan tua yang kehilangan dan putus asa.
***

Beruntunglah siapa saja yang menyaksikan monolog Perempuan yang naskahnya ditulis Aisah sendiri dan disutradarai Idris Pasaribu ini. Selain penggarapan yang cermat, permainan akting yang prima dan terjaga, juga cerita yang kuat dan mengandung pertanyaan demi pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya PR dan renungan yang tak boleh kita bawa ke dalam mimpi, apalagi dibiarkan berlalu bersama angin.

Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa menuntut jawaban. Dan jawaban itu harus segera kita temukan, sebelum segalanya terlambat: pahit atau manis, sebagai pilihannya. Sesuai pesan akhir perempuan tua ini: “Telah kita pilih jalan ini, dan risiko pasti ada pada setiap pilihan.”

*) Penulis adalah pekerja seni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *