lampungpost.com
Padi Masak
ini kali telah sempurna matang dirinya
serupa padi masak
dirinya siap diangkut jauh-jauh
ke lumbung-lumbung tuan berduit banyak
sebab piutang mesti tuntas
berbulan-bulan ia garapi lumpur
secair tulang-tulangnya. disebar benih,
berminggu ia menunggu
padi di tanam utang yang tumbuh
ini kali lumpur terakhir yang digarap
tak elok bermain sawah berlama-lama
ia merindukan lampu-lampu
dan cerita-cerita yang dihembuskan dari jauh
siangi padi, tebas rumput-rumputnya
cabut kesedihan dalam-dalam
berbulan ia menunggu
panen terakhir. tubuhnya telah tanak
menunggu saat dipanen. karung-karung
diangkut ke gudang tuan berduit
hingga kosong lumbung sendiri
2009
Subuh
sudah lama subuhmu tak tersentuh wudhu
waktu pekat untuk berbaring berlepas penat sekejab
masih jua kau dengar suara adzan dan pura-pura mendiamkan
kau ingin mendekap sajadah, memeluk tuhan dipagi buta.
Ada yang menyerumu;
ke mana kau habiskan waktu subuhmu
di mana kau
habiskan?
2009
Masangin
:saifuddin gani
kau ingin mencoba peruntunganmu sekali lagi:
melewati gerbang yang membuka dirinya
untuk semua yang datang.
tak pernah tersesat kau sesungguhnya
ada aku yang mengasihimu, lebih dari
sekedar ingatan-ingatan kecil dan gerutuan
bertahun lampau. semua kekal di sini,
lekat di antara yang berdatangan
turis-turis dengan alkohol di tangan
membuatmu cemas dan melihatnya
semata ancaman yang akan membunuh kita semua
di depan beringin itu, kukira kita akan kekal
sebagaimana malioboro yang mengabadikan peristiwa
membuat semua orang ingin ke sana
tentu juga kau
–ah tidak ada lagi yang tersisa sebagai kenangan
kita kehilangan apa pun sebagai tempat pulang.
di tempat-tempat begini, tempat orang-orang datang
dan pergi. apalah kita. sekumpulan
orang-orang panik yang tunduk
pada gerbang yang membuka dirinya. tempat kau mencoba
memasukinya dan berkali tersesat arah
2009
Sehabis Peristiwa
kemudian orang-orang mulai melupakan
duka cita apa saja
yang menyisakan luka
dan air mata bagi keluarganya
setiap bencana adalah milik orang lain
ia hanya mimpi buruk
yang harus dikutuk
selalu saja ada yang lalai
atas kesakitan yang pernah lahir
padahal bau mayat
tak sepenuh jauh, terus berpendar
di udara terbuka
dan setelahnya begitu biasa
mereka menceritakan duka-cita
di kedai minum
dan mengunyahnya menjadi
sepiring lelucon.
Kuta
Di kuta kami berbagi keluh
Dengan malam, sama sepinya
Dengan ombak
Bagaimana puisi bisa tercipta
Jika aku tak merasa ke mana-mana?
***
Indrian Koto, penyair lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Menyukai sastra dan terus belajar mendalaminya. Mahasiswa Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Rumahlebah Yogyakarta dan Rumah Poetika. Beberapa tulisannya berupa cerpen dan puisi dipublikasikan di media masa juga termuat dalam beberapa antologi bersama.