lampungpost.com
Hikayat Botol-Botol Anggur
: Nisa Felicia Faridz Widarto
kau selalu menggerutu jika
ku sesap anggur merahmu
satu,
telah lama kita
tak berbincang
tuk genapi usia kita
yang gamang.
renyah tawamu bersetubuh
bersama hujan menderu
di atas hentian kajang.
disini diceritakan
satu kisah persahabatan
yang kekal.
disini dikisahkan
perkariban lelaki
dan perempuan
dari muasal berbeda.
disini bermula sebuah
hikayat yang
ditulis dalam
botolbotol anggur.
dua,
ku seduh anggur merah
ini ke dalam gelasmu.
wanginya kau hirup
hingga tandas.
kemudian kita terbahak,
tertawai lalulalang
basabasi
manusia pengecut.
kita tak bisa bicara
dengan pemanis di bibir.
telah lama kita campakkan
gulagula pertemanan itu.
disini kita adalah kita.
sepasang sahabat yang
tak jemu menggugat
kepincangan dunia.
tiga,
kau tuangkan anggur
ke dalam gelasku.
sekali ini aroma
la cateau menyeruak.
kehangatan sebadani
indra kita yang
mulai melayang.
sebotol anggur
rasanya tak
cukup menemani
percakapan kita.
sebotol anggur bagai
kecap di bibir saja.
ada keluh terucap
bila dunia tak
seindah yang
kita duga.
ada tawa sinis
jika penguasa lebih
goblok dibanding
yang kita kira.
kita selalu
bercitacita utopis.
walau kita bukan
komunis melankolis.
mirip kisah pak
kumis yang ciderai
hatimu di pagi gerimis.
empat,
mari ku tuangkan
anggur ini.
kini ku hidangkan anggur
putih yang ku beli
di lantai dasar midvalley.
ternyata dua gelas
tak cukup lagi.
seorang lelaki tiba
menemanimu dari
negeri impian.
semoga ia maklum
dengan kegilaan kita.
ku berharap ia
lelaki bermaqam ulama.
tak ku sangka ia
menyesap wine sambil
berucap bismillah.
lima,
ku jemput kau
bersama lelaki budiman.
telah ku pilih tiga
botol anggur
berusia seabad.
berhatihatilah
menyesapnya.
sebab harganya
serupa seribu
kali upah
buruh terendah.
mari nikmati berbotol
anggur ini dari atas
canselori ukm.
bayangkan betapa
pedihnya bersekolah
di negeri yang dulu
berguru kepada kita.
atau anggaran kampus
ini yang berlipat tiga
dibanding apbd
bumi kopi dan lada.
enam,
dengarlah hujan
riuh di atas langit bangi.
berucap takzim untuk
perkariban kita.
dengarlah sapa malaikat
penjaga hujan :
“tahniah untuk
perkariban kalian
yang brutal.”
kini waktu telah
beranjak malam.
namun hikayat
botolbotol anggur
akan berkekalan
melampaui masa.
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti.
Kakawin Perkariban Kita
: Depri & Dothy
kita berkarib bagai tiga pendekar
dari bumi berabad entah.
masalalu berhimpitan dalam
derasnya alam pikir kita.
perjumpaan nan memukau,
dini hari di padepokan yang
pikuk kala kita didik sebagai
penggugah nurani pertama.
siapa pengingat bahwa
kita berzuriat sama?
engkau berkata :
“nenek moyang kita
perantau agung dari
bumi campa dan pasai.
konon pewaris silsilah
para nabi dan rasul.”
“nenek moyangku
sri teguh darmawangsa.
penubuh kanal purba
tempat berlalu jungjung raksasa
penjajah tujuh pulau intan
dan lautan emas.”
“nenek moyangku adityawarman
terlahir dari dua
lembah subur bersisian.”
pada tiap butir darah kita
tercatat persembahan
cinta dara petak
di hadapan maharaja wijaya
sang penguasa bumi wilwatikta.
pada tiap sengal nafas kita
mengalun auman ken arok.
maling kecil dari padang karautan.
lelaki murahan yang
dicinta para dewa.
lelaki murahan yang
dikutuk sebagai syiwa.
karibku, tak perlu engkau berduka.
oleh karena setetes keringatmu
menari darah seorang bromocorah.
arok menabal diri sebagai raja.
murkanya mencabut jiwa
dandang gendis sang pendusta.
kita berzuriat rajaraja.
kakawin ini ku gubah
sebagai kecintaan
pada masalalu yang gemilang.
nyanyikan kidung ini dengan khidmat.
niscaya ruhruh syuhada
akan tersenyum mengembang.
Bandar Lampung, 16 Januari 2008
Wasiat Terakhir
kutulis surat ini untukmu anakku terkasih.
di bawah remang cahaya damar,
di pojok lamban dalom
yang mulai terbakar.
sekala bgha telah terkepung, ananda!
lelakilelaki durjana dari utara telah tiba.
nujum gerinung dalom seolah berbisik :
suatu hari di akhir musim penghujan,
duaratus sembilan puluh tiga tahun
sejak ibu negeri berpindah
ke bunuktenuar;
lelakilelaki durhaka akan
menebas pokok sesembahan kita.
tak ku hirau isyarat alam nan abu.
kita jelmaan dewa!
sejak bila kita ditaklukkan?
dapunta hyang pun memunggah takzim;
merayu selaksa prajurit dari
kaki pesagi nan keramat.
ku tulis surat ini menjelang nafas pamungkas.
di hari ketika kejayaan pokok
sekala berubah serupa ampas.
batubatu purba pun mengelupas,
di bawa angin yang lari bergegas.
anakku, lelaki terakhirku,
balaskan dendamku yang berkarat.
ingatlah akanmu yang mati sekarat.
Perpustakaan Tun Sri Lanang, Universiti Kebangsaan Malaysia, 5 Agustus 2009
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Juli 1981. Staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila dan mahasiswa Program Doktor lmu Politik, Universitas Kebangsaan Malaysia.