Eriyanti
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
BERBINCANG dengan Sapardi Djoko Damono (69), seperti membuka kamus sastra yang terbuka. Kita tidak hanya akan banyak menemukan kata penting dari perjalanan sastra di Indonesia, tetapi juga bagaimana proses tumbuh dan berkembangnya. Berbincang dengannya, seperti juga sedang melacak jejak kreatif dari perjalanan karya yang bertebaran. Betapa tidak, pria ini memang mengayuh dua dunia sekaligus, baik sebagai sastrawan maupun akademisi. Sejak 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Namun kini, ia telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan dan juga menjadi guru besar di sana. Pada masa itu juga ia menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam.
Sajak-sajak SDD, begitu ia akrab dipanggil, sangat populer. Sajak-sajak tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing bahkan bahasa daerah. Seperti sajak “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”. Kepopuleran sajak-sajak ini karena sebagian di antaranya diaransemen dalam bentuk musikalisasi. Dia juga menulis esai, kolom, dan artikel di berbagai media; menerjemahkan karya-karya asing; dan menulis beberapa prosa. Saat pendiri Yayasan Lontar ini hadir sebagai salah satu pembicara pada Kongres Sastra Indonesia 2009 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung beberapa waktu lalu, “PR” diberinya waktu khusus untuk berbincang-bincang, membuka lembaran kamus yang menuturkan perjalanan sastra Indonesia masa lalu, kini, dan kelak, dengan realitas yang mengitarinya. Berikut petikannya.
Saat ini begitu banyak buku dan karya sastra diterbitkan, bahkan siapa pun bisa menjadi novelis atau penulis sajak. Bagaimana Anda memandang kenyataan ini?
Sekarang ini penerbitan buku sastra sudah menjadi kegiatan industri. Tetapi, mau tidak mau, fenomena itu harus ditempuh. Logikanya, semakin banyak karya sastra diterbitkan, semakin banyak pula orang membacanya. Tetapi apakah demikian? Bagaimana pula dengan jenis bacaan yang diterbitkan? Ini persoalan. Di sisi lain, pemerintah tidak mungkin melakukan sensor terhadap karya sastra. Kebijakan sensor tidak akan ada gunanya, dampaknya kecil sekali. Sementara itu, tujuan industri itu kan mencari keuntungan. Tetapi keuntungan baru bisa diraih bila sudah banyak jumlah judul buku yang diterbitkan.
Bagaimana dampak positif dan negatif fenomena ini terhadap kehidupan sastra?
Sastra berkembang luas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jumlah buku sangat banyak, orang yang dapat mengakses sastra juga banyak, buku murah, banyak pameran dan lelang buku, serta novel bertaburan. Zaman dulu, buku masih jarang. Kalaupun sempat terjadi “banjir roman” pada 1940-an, pengaksesnya tidak seperti sekarang.
Kalau sastra sudah jadi industri untuk mengejar keuntungan dan tidak mungkin dilakukan sensor, bagaimana dengan kritik sastra?
Kritik sastra baru dapat dilakukan setelah karya itu terbit. Tidak mungkin karya sastra diperiksa sebelum diterbitkan, kecuali oleh pembaca pertama dari penerbitnya sendiri. Tetapi kan jumlah naskah yang masuk juga ratusan, siapa yang mau periksa. Sensor itu umumnya muncul dari masyarakat. Kalau tidak senang, bukunya pasti akan dipertimbangkan atau ditarik. Kalau pemerintah turut campur, akan jadi wacana dan sangat merepotkan.
Kalau begitu biarkan saja karya sastra “menggila”? Biarkan saja penulis menulis sekenanya? Padahal, karya sastra memengaruhi pembacanya.
Ya, memang begitu. Karya sastra tidak akan pernah bisa disensor. Biarkan saja masyarakat yang memilih dan memilahnya sendiri, mana karya yang baik, pantas, dan bermanfaat untuk dibacanya dan tidak. Kalau memang ada karya yang memang harus ditolak, masyarakat harus berani menyatakan penolakannya.
Siapa yang harus mendidik masyarakat?
Pemerintah yang harus mendidik rakyat. Salah satunya lewat karya sastra. Bukan dengan cara memberikan konsep atau teori sastra, tetapi berikan sebanyak-banyaknya buku agar masyarakat bisa memilih.
Bagaimana dengan kritik sastra? Yang menjembatani karya sastra dengan pembaca kan karena adanya kritik?
Kritik sastra itu repot, tidak ada tempat lagi. Tidak ada koran yang menyediakan untuk itu. Paling timbangan buku, tetapi itu kan muji-muji saja. Namun, apakah masyarakat membacanya? Menulis kritik itu tidak bisa cuma sepenggal-sepenggal, harus utuh. Tetapi adakah tempatnya? Paling dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, atau esai. Tetapi siapa yang membaca semua itu? Apakah para pembaca karya sastra membacanya? Tidak, masyarakat justru lebih banyak membaca karya bukan karena membaca kritik atas karya tersebut. Makanya, kritik sastra lebih mengarah pada akademik saja. Sangat sedikit yang dipublikasikan sehingga kesannya seperti tidak ada. Padahal, kritik sastra seperti itu kan teruji. Berbeda dengan kritik sastra di media yang biasanya hanya asal kritik.
Kritik dan apresiasi yang benar akhirnya hanya ada di lingkungan akademik. Bagaimana orang akademik ini menjembatani karya dan apresiasi masyarakat?
Kita masih punya lembaga pendidikan formal. Caranya, bagaimana strategi mengubah pola pendidikan formal. Pendidikan formal kita tidak bisa seperti sekarang. Anak-anak sekarang itu bukan tidak menyukai sastra atau guru-gurunya tidak mampu menyampaikan sastra, tetapi karena sistem pendidikannya sudah jauh tertinggal dari kenyataan. Anak-anak sekarang kan saban hari berhubungan dengan komputer. Mereka bisa belajar apa pun dari situ. Satu pola yang harus dipikirkan dunia pendidikan. Berikan setiap anak komputer, berikan akses internet gratis. Biarkan anak memilih sesuai dengan kesenangannya. Semakin banyak yang dilihat, semakin cerdas.
Bagaimana perkembangan penelitian sastra di lingkungan akademik?
Sastra itu kan sebenarnya tidak bisa diakademikan. Memang iya bisa, tetapi saya tidak terlalu percaya. Namun di luar semua itu, ada hal menarik selain membicarakan penelitian sastra akademik. Bagaimana melihat kenyataan kita sendiri di luar sastra dan menciptakan teori serta konsep-konsep yang hanya cocok untuk kita. Sebab, pada kenyataannya, teori-teori barat itu tidak bisa membedah sastra kita. Beberapa memang bisa karena dipaksakan, tetapi kan sastra kita itu harus dilihat sebagai sesuatu yang beda. Walaupun pengaruh barat pasti akan selalu ada.
Apakah memungkinkan melahirkan teori sastra yang sangat lokal?
Oh sangat. Selama ini, orang kita itu memelintir sekali. Teori sastra barat dipaksakan membahas sastra kita. Arjuna itu bisa jadi kurus banget, padahal di India sana sangat kekar. Lalu mengapa ada Semar? Kenapa Srikandi laki-laki itu tiba-tiba menjadi perempuan? Ini kan yang belum banyak diungkap.
Kalau nanti muncul teori sastra lokal, apa manfaatnya untuk sastra kita?
Oh pasti luar biasa. Teori-teori sastra itu dibuat berdasarkan karya sastra yang sudah dibaca oleh si pembuat teori. Kalau teori itu berasal dari barat, berarti pembuat teori itu adalah para pembaca yang sudah membaca sastra barat. Kalau teori itu kemudian diterapkan pada sastra kita, akan lain.
Bagaimana dengan sastra dunia maya? Saat ini, semua orang bisa menjadi penulis, esais, bahkan penyair, tanpa ada kritik.
Tidak apa-apa. Dalam sastra itu ada tradisi lisan, tulisan, dan sekarang ada tradisi digital. Era digital itu akan berkembang lagi, bahkan mungkin melahirkan sesuatu yang baru. Kesalahannya adalah orang-orang sastra dunia maya masih berniat membukukan karya-karya digitalnya dalam bentuk buku. Ini salah kaprah. Mestinya, yakinkan dulu bahwa saya akan bergerak di sastra maya. Lalu cari, temukan, dan kembangkan sesuatu yang baru dari dunia maya untuk sastra.
Hal apa yang dapat dikembangkan dari fenomena sastra dunia maya?
Wah… banyak sekali. Dulu, kita tidak bisa ngapa-ngapain dengan karya sastra. Sekarang, kenapa tidak membuat game (permainan) lewat karya sastra. Misalnya, coba ubah ending karya sastra yang pernah ada, seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli) atau Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), atau ganti tokoh-tokohnya, ubah jalan pemikiran tokohnya, pasti bisa menjadi karya baru. Cara ini bisa dilakukan semua orang yang terlibat di sastra dunia maya. Jadinya semacam karya bersama. Itu akan sangat merangsang kreativitas dan bisa memunculkan karya-karya baru.