Sastra 2009: Sastra Pertumbuhan

Ahda Imran
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

SULIT sekali mengelak untuk tidak mengatakan bahwa pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 2009 sesungguhnya berutang kepada Mark Zuckerberg. Paling tidak, sepanjang 2009 jejaring sosial Facebook telah memberi corak tersendiri dalam peta pertumbuhan dan pergaulan sastra Indonesia. Sebuah corak yang menyediakan berbagai sudut pandang pertumbuhan dan pergaulan sastra; baik sebagai mediasi karya, isu, akses, interaksi antarpersonal dan komunitas, hingga yang menyangkut perkara identitas dan eksistensi. Meski jejaring sosial ini sebenarnya telah muncul sejak lima tahun yang lalu, tetapi di tahun 2009 Facebook benar-benar menjadi tren yang lebih fenomenal dari blog atau Friendster.

Di tengah itu semua, sastra Indonesia seolah tumbuh di atas sebuah lahan luas tak bertepi. Di atas lahan itu siapa pun bisa dan dipersilakan berladang, bercocok tanam dengan gembira. Menanam jenis tanaman dengan bebas tanpa dihantui oleh pertanyaan apakah tanaman itu hasilnya akan sesuai dengan ukuran yang ditetapkan oleh institusi yang bernama redaktur atau tidak. Di atas lahan Facebook itulah, sastra Indonesia menemukan ruang mediasi berikutnya dan mengalami pertumbuhan teks yang demikian melimpah, yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.

Jika pertumbuhan sastra di media konvensional seperti rubrik-rubrik budaya surat kabar hanya bisa diukur pada setiap hari Minggu, maka di jejaring sosial seperti Facebook pertumbuhan itu tak jarang terjadi dalam hitungan jam. Terutama puisi, dalam satu hari tak terhitung berapa jumlah karya baru yang muncul terpasang dan menyebar. Tak hanya dari para penyair yang telah dikenal, termasuk yang memasang (tag) karya yang baru dimuat di media konvensional, tetapi juga mereka yang entah siapa menulis dan mengirimkan puisi barunya lewat handphone ketika berada di dalam angkot.

Kemeriahan inilah yang terjadi sepanjang 2009. Kemeriahan merayakan pertumbuhan dalam kegairahan, yang lepas dari berbagai keganjilannya, terlalu cepat dan gegabah untuk disebut bahwa di lahan Facebook sastra Indonesia hanya ditumbuhi oleh semak belukar atau jenis tanaman tak bermutu karena ditanam oleh mereka yang hanya ingin segera disebut petani. Mungkin saja benar bahwa Facebook telah mengantarkan banyak orang ke dalam pergaulan sastra Indonesia, yang dengan itu lalu ia merasa ditasbihkan sebagai sastrawan hanya karena berbagai komentar singkat atau tanda jempol, terlebih jika datang dari sastrawan “senior”. Atau, sejumlah indikasi pada sikap yang terkesan memperlakukan kerja menulis puisi bisa untuk hal-hal apa pun, sehingga nyaris tak ada apa pun di dalamnya untuk dinikmati sebagai puisi.

Akan tetapi, lepas dari perkara eksistensial dan yang terkesan instan semacam itu, yang sebenarnya juga niscaya ada di luar Facebook, tak sedikit pula ditemukan bagian dari pertumbuhan yang menjanjikan sesuatu ke dalam perkembangan sastra Indonesia. Di tengah mereka yang menulis atau memasang karya hanya melulu demi kesenangan bahkan keisengan, tak jarang ditemukan karya menarik dari wajah-wajah baru, yang mutunya tak kalah dibandingkan dengan karya yang muncul di rubrik-rubrik budaya.

Akan tetapi, lepas dari bayang-bayang budaya lisan dan gosip yang masih menghantuinya dalam berbagai perdebatan, termasuk juga peluang untuk mengumbar berbagai kepentingan eksistensial sampai kegenitan popularitas, Facebook sebagai sebuah ruang dalam sastra Indonesia di tahun 2009, di lain sisi telah membawa karya, aktivitas, pertumbuhan, dan agenda-agenda sastra keluar dari publiknya yang itu-itu saja. Pergaulan dan publik sastra menjadi lebih cair serta beragam, seperti yang tampak dalam berbagai event sastra.

Masih dari pertumbuhan dunia maya, ada juga gejala menarik lain di tahun 2009 ketika sastra diperlakukan sebagai ruang penciptaan yang dibebaskan dari sifatnya yang introvert. Ia bukan lagi ditulis oleh seorang pengarang, tetapi oleh dua orang seperti novel Elle Eleanor. Novel ini ditulis dua pengarang yang tinggal di Surabaya dan di Jerman, yaitu Ferry Herlambang Zanzad dan Zeventina Octaviani Bouwmester. Novel yang sempat didiskusikan di Bandung (15/11) ini dipercaya lahir dari rahim dunia maya yang meniadakan identitas dan lokasi geografis manusia, sehingga produksi teks berlangsung anonim. Di sinilah karya sastra sebagai teks diproduksi oleh siapa dan oleh berapa orang pun.

Artinya, dalam dunia maya semacam ini dipercaya tak ada lagi yang lebih penting kecuali teks yang statusnya sudah bercerai dari siapa pun yang berada di mana pun. Oleh karena itu, sejumlah orang bisa saling melakukan negosiasi kreatif untuk memproduksi sebuah teks sastra, seperti novel Elle Eleanor. Bahkan di situ lebih jauh, karya sastra tidak lagi milik seorang individu, tetapi diciptakan secara kolektif oleh dua orang dan mungkin lebih atau oleh sejumlah orang sehingga tak lagi jelas siapa penciptanya seperti legenda atau cerita rakyat masa silam.

Agaknya, soal yang muncul bukan melulu pada perdebatan kemustahilan karya sastra dilepaskan dari sejarah personal seorang inividu. Akan tetapi pada kenyataan, teknologi informasi memang telah mengubah banyak tradisi penciptaan dalam penjelajahannya ke berbagai kemungkinan yang tak terduga, termasuk karya sastra.

**

DAN seperti tahun-tahun sebelumnya, sastra sepanjang 2009 ditandai dengan sejumlah pertemuan sastra. Terdapat beberapa event temu sastra, baik yang berskala internasional, nasional, atau event sastra antarprovinsi. “Aceh International Literary Festival” di Banda Aceh (5-7 Agustus 2009), “Utan Kayu Literary Biennale” di Jakarta (20-24 Oktober 2009), “Ubud Writer and Reader Festival 2009” di Ubud Bali (7-11 Oktober 2009), “Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II” di Pangkalpinang, Bangka-Belitung (30 Juli-2 Agustus 2009), “Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) IV” di Solo Jawa Tengah, hingga “Konferensi Internasional Kesusastraan (KIK) XX” yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) di Bandung (5-7 Agustus 2009).

Meski beberapa event sebenarnya menating konsep dan tema yang jelas, sebutlah, pembacaan sastra Indonesia pascakolonial dalam TSI II atau perkembangan sastra di hadapan isu kebangsaan dan budaya hibrid yang menjadi tema dalam KIK XX, tetapi ia tak pernah menjadi isu perbincangan yang lebih dari sekadar tulisan atau resensi di koran. Belum lagi beberapa event yang direcoki oleh perkara teknis hingga konsep yang tak jelas seperti Ubud Writer and Reader Festival 2009; Utan Kayu Literary Biennale yang melulu hanya merayakan pembacaan puisi, memindahkannya ke dalam kanvas dan mentransformasikannya menjadi musik; atau Temu Sastra MPU IV yang amburadul dan mengabaikan rekomendasi MPU III di Bandung.

Sastra Indonesia 2009 juga ditandai dengan kompetisi tahunan Khatulistiwa Literary Award, yang dimenangi oleh penyair Sindhu Putra lewat kumpulan puisinya “Dongeng Anjing Api” dan F. Rahardi lewat novelnya “Lembata”. Bahwa kemudian tak ada penjelasan apa pun dari dewan juri seperti tahun-tahun sebelumnya, itu bukan sebuah kejutan. Anugerah sastra tahunan ini, seperti biasa, berhenti pada nama pemenang dan jumlah hadiah uang yang mereka terima.

Pertumbuhan sastra Indonesia 2009 memang tak bisa disendirikan dari perkembangan teknologi informasi yang telah melahirkan cyber culture atau dunia maya seperti ruang jejaring sosial Facebook. Bahwa adanya anggapan perkembangan karya-karya yang lahir belumlah sebesar pertumbuhannya yang demikian marak sebagai sebuah kegairahan, tentu saja benar. Dalam puisi, misalnya, keseragaman pengucapan, tak adanya pendalaman karena terkesan ditulis sekali jadi tanpa kegelisahan, atau tradisi kritik yang belum bisa lebih dari sekadar komentar singkat dan tanda jempol.

Akan tetapi, sebuah pertumbuhan demi suatu perkembangan memang tak ubahnya dengan ruang tunggu. Dalam ruang tunggu itulah, setiap orang, terutama bagi generasi-generasi terbaru, diuji dalam merawat kesungguhan kreatifnya. Sehingga ia tak hanya tumbuh dan memasuki pergaulan sastra melulu di media cyber seperti jejaring sosial Facebook.***

Leave a Reply

Bahasa ยป