Sastra dan Pembentukan Identitas Bangsa

Harfiyah Widiawati*
http://www.pikiran-rakyat.com/

Perbincangan mengenai sastra dan kebangsaan bukanlah hal yang baru. Kedua entitas tersebut memang terkait erat. Beberapa topik yang sering dibahas di antaranya adalah peran serta sastra dalam membentuk gagasan tentang sebuah bangsa. Peran serta sastra atau lebih luasnya lagi tulisan-tulisan cetak, dalam membentuk nasionalisme negara-bangsa Asia dan Afrika, misalnya telah dibahas oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities. Dalam konteks Indonesia, munculnya majalah dan koran terbitan Sino-Cina dan Indo-Eropa di akhir abad ke-19 membantu menyebarluaskan gagasan-gagasan revolusi di Eropa, yang akhirnya menjadi cikal bakal munculnya semangat persatuan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Tulisan Teeuw dan Goenawan Mohamad membahas betapa lembaga penerbitan, Balai Poestaka, dirintis pemerintah kolonial Belanda untuk membudayakan nilai modern ke dalam masyarakat Indonesia tradisional. Nilai-nilai modern disebarluaskan dan dikemas dalam bentuk bacaan yang “menghibur” dan “mendidik” pembacanya. Penyensoran dilakukan oleh Balai Poestaka untuk menyeleksi bacaan yang layak terbit dan dibaca di tanah Hindia. Maka tak heran bila karya-karya sastra terbitan Balai Poestaka memiliki tendensi untuk tidak kritis terhadap kolonialisme Belanda.

Begitulah bahasa yang mengejawantah dalam karya-karya sastra selalu mempunyai dua sisi. Pada masa kolonial ia bisa digunakan oleh orang-orang pribumi untuk membentuk nasionalisme, tetapi pada saat yang sama juga bisa digunakan oleh pemerintah kolonial untuk melanggengkan penjajahan. Bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia dianggap dapat mempersatukan para pemuda yang berjuang di tanah yang sama. Dengan menggunakan bahasa Melayu Indonesia ini, para sastrawan dari berbagai pulau dapat berbagi perasan ketertindasan, yang mereka alami, secara nasional. Namun, bahasa tersebut memiliki keterbatasan karena tidak bisa mewadahi perasaan-perasaan intim lokal yang hanya dimungkinkan oleh bahasa daerah.

Pada masa pascakemerdekaan karya sastra yang muncul dilihat oleh Maier (dalam Foulcher dan Day, 2002) merepresentasikan kecemasan pascakolonial. Transisi ke modernitas dan ke identitas negara bangsa menimbulkan kegamangan. Makna dari kemerdekaan tersebut dipertanyakan. Apakah artinya Indonesia? Bila sebelumnya nasionalisme dilihat dalam kerangka patriotisme atau narasi besar lainnya, kini nasionalisme dilihat dari kacamata yang lebih sehari-hari, banal. Hal ini tercermin dalam bahasa karya-karya sastra yang lebih eksperimental. Bila dalam karya Balai Poestaka bahasanya lebih teratur, kaku, dan seragam, dalam karya pascakemerdekaan bahasanya lebih longgar, terpecah, dan inkonsisten karena sedang mencari akar budaya dan kenyamanan yang nanti menjadi identitasnya.

Banyak persoalan yang dapat dibahas mengenai kesusastraan modern pascakemerdekaan. Misalnya kritikus sastra dapat menggarisbawahi pembentukan kanon sastra (canon formation) dalam hubungannya dengan pembangunan bangsa (nation building). Karya-karya yang menjadi kanon, dipelajari dan dibahas di institusi akademis, pembahasannya diterbitkan di media nasional seringkali paralel perkembangannya dengan projek pembangunan bangsa. Karya sastra yang dapat bertahan bukan saja karya yang memiliki kualitas formal sastra yang tinggi, melainkan juga karya yang dapat bersaing secara ekonomi, politis, dan sosial. Ambilah contoh kanonisasi pada masa Lekra. Karya sastra yang dapat bertahan adalah karya yang mengusung gagasan sosialisme, yang berbentuk realisme sosial; sastra menjadi alat propaganda politik. Munculnya manikebu sebagai reaksi atas politisasi sastra ini dapat dilihat sebagai upaya kontestasi terhadap definisi kebangsaan yang dibangun oleh Lekra.

Demikian pula dalam kondisi sastra kontemporer Indonesia. Munculnya kontestasi terhadap sastra Utan Kayu, sastra wangi, sastra pesantren, chicklit, dan teenlit, dapat dilihat sebagai beragamnya cara memaknai dominasi, cara memaknai normalitas, cara memaknai diri, cara memahami semesta yang ditempati oleh diri. Pada akhirnya “cara memahami” ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kebangsaan karena bangsa merupakan elemen yang beranggotakan individu; identitas bangsa adalah identitas kelompok yang terbentuk dari jalinan identitas individu.

Dengan demikian, banyaknya individu yang menulis tema tertentu, menunjukkan kondisi bangsa pada masa tersebut. Bila banyak sastrawan yang menulis tema mesianisme maka dapat dilihat kerinduan sekaligus ketidakmampuan anak bangsa untuk menciptakan kondisi ideal; bila banyak penyair menulis dengan menggunakan genre tertentu, puisi romantik misalnya, terlihat pula pengharapan penyair tersebut akan transendensi melalui mediasi alam. Dominasi sastra kanon dari latar budaya tertentu juga membangun sikap bangsa tertentu. Dominasi budaya Hindu-Jawa dalam karya-karya sastra Orde Baru, misalnya, membangun sikap-sikap patuh terhadap penguasa, pasrah (nrimo) terhadap takdir.

Demikianlah sastra bukan hanya menjadi representasi dari semangat zamannya, sastra dapat menjadi alternatif untuk memahami kondisi suatu bangsa. Sejarah suatu bangsa tidak hanya dapat dilihat dari buku sejarahnya, atau dari tulisan-tulisan di jurnal, koran dan majalah nasional. Sastra mengungkapkan hal-hal banal yang tidak bisa diungkapkan oleh buku sejarah ataupun undang-undang dasar sebuah bangsa. Sastra menampakkan yang oleh Williams disebut sebagai structure of feeling suatu bangsa. Oleh karena itu, untuk memahami identitas bangsa, bacalah karya sastra yang diproduksi oleh bangsa tersebut.***

*) Penulis, pengajar pada Program Studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran.

Leave a Reply

Bahasa ยป