Irein Rizqiah Khalida*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Ketika produk dipersiapkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus mendesak, industri dimulai. Sebagaimana film, sastra juga telah memasuki era industri.
Sampai tahun 1950-1960-an, masih ada kesulitan untuk mencari apa yang bisa dibaca. Di masa itu penerbitan langka. Yang aktif hanya Balai Pustaka, Gunung Agung, dan PP Analisa. Tetapi kini justru sastra meledak. Hampir tidak bisa lagi kita lacak apa saja yang terbit, karena begitu banyaknya. Jenis sastra yang diterbitkan pun sudah beragam.
Dalam industri kreatif, sengaja tak sengaja, langsung tak langsung, sastra memang memiliki posisi kunci. Dalam musik, lirik-lirik lagu yang ditulis oleh Taufiq Ismail untuk Trio Bimbo, misalnya, sangat menentukan kesuksesan grup musik tersebut. Di dalam film, kehadiran Novel Ayat-ayat Cinta dari Habiburahman dan Laskar Pelangi dari Andrea Hirata yang mendahului filmnya, menyebabkan film itu meledak tidak karuan.
Di dalam kehidupan media, kemampuan untuk meracik formula sebagaimana dilakukan oleh Majalah Tempo di tahun 70-an (mengawinkan antara jurnalisme dan sastra) merupakan kunci kesuksesan majalah itu yang sampai kini banyak pengaruhnya. Tayangan-tayangan sinetron yang meledak seperti Losmen, Si Doel, Bajaj Bajuri, dan sebagainya juga sangat ditentukan oleh pencapaian sastra dalam penulisan skenario.
Fenomena tersebut menandakan bahwa industri kreatif tidak bisa meninggalkan sastra. Karya sastra adalah bagian dari regulasinya, sehingga karya sastra dianggap penting untuk menjadi teks penafsir. Memang kecenderungan umum dari fenomena ini adalah hanya memperpanjang napas pasar.
Sastra memang berbeda dengan industri barang yang tidak “menjual emosi”, seperti industri mobil, obat-obatan, senjata, properti, dan sebagainya. Sastra menjual jasa kreativitas. Sifat-sifat produknya pun berbeda. Wilayah sastra dengan demikian adalah rasa dan pikiran. Tetapi karena kedua hal itulah yang banyak mengemudikan tindakan manusia, arti sastra menjadi amat penting. Sastra dapat mengakibatkan perubahan-perubahan yang penting kepada tingkah-laku dan kebijakan manusia. Tak heran kalau sejarah pernah mencatat bahwa tulisan Beecher Stowe, Uncle Tom`s Cabin, pernah menyulut perang saudara di Amerika yang berbuntut penghapusan perbudakan.
Jadi kendati diawali dengan sama sekali tidak “fisikal”, sastra adalah sebuah media yang tidak langsung memengaruhi realitas. Sastra memiliki peran penting dalam berbagai perubahan sosial. Perubahan prioritas. Perubahan nilai. Perubahan selera. Walhasil sastra sebenarnya langsung berdampak pada kebutuhan nyata dalam kehidupan, dalam segala aspeknya, kendati jalannya panjang.
Karena posisi sastra semacam itu, sastra tidak hanya terkait kepada sastra, tetapi kepada seluruh masyarakat dan pada semua sektor kehidupan. Tidak ada orang yang bisa luput dari sastra, selama ia mempergunakan bahasa sebagai basisnya untuk berkomunikasi. Inilah yang menyebabkan sastra juga bisa masuk menjadi komoditas industri.
Ketika novel yang dijadikan film atau lirik lagu laris di pasaran, misalnya, produser terus menyambungkan napas dalam bentuk lainnya. Karena itu, terkadang sastra sejenis ini hanya semacam gimmick saja. Bisa jadi fungsinya sama dengan gimmick lain seperti mug, tas, atau kaus. Pada titik ini fungsi sastra sebagai teks penafsir dari karya seni lain terancam. Namun ternyata ada juga yang mencoba tak terpengaruh. Salah satunya adalah Seno Gumira Ajidarma.
Saat Seno menovelkan film “Biola tak Berdawai”, ia sepertinya sangat menyadari bahwa sastra dengan hakikat kesastraannya bisa membuat narasi film berubah bentuk. Hal ini Seno lakukan dengan mengoptimalkan sudut pandang (yang sulit diverbalkan dalam film) dan membiarkan kata menjelajah secara imajiner sehingga cerita bisa begitu transeden yang pada titik kemampuan tertentu akan sangat sulit difilmkan.
Keberanian Seno melawan verbalitas transformasi film ke sastra, mematahkan citra gimmick tadi. Novel Biola Tak Berdawai-nya Seno berpotensi memiliki independensi estetika yang akan memperkaya penonton film “Biola tak Berdawai”-nya Sekar Ayu Asmara. Pada titik inilah karya sastra sedang bernegosiasi dengan industri. Karenanya, perlulah kiranya para penulis novel pesanan dari penerbit yang bekerja sama dengan produser film mencontoh apa yang dilakukan Seno.
*) Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.