Kodirun *
pondokpesantren.net
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. al-Syu’ara: 224)
Sebuah Ingatan
ImageSekitar tahun 1997 seorang teman dekat saya di masjid milik pesantren tempat kami bersama-sama menuntut ilmu (thalab al-ilmi), membaca fenomena menarik. Seringkali sebelum ia merebahkan badan sambil membersihkan kertas-kertas yang berceceran, iseng-iseng ia baca sampah kertas itu yang berisi coretan-coretan kata mirip puisi, yang diksi, komposisi, dan muatan temanya dirasakannya tidak kalah dengan puisi-puisi “mapan”. Saat itu pula teman saya tadi sadar bahwa ternyata santri mempunyai potensi yang tidak kecil dalam bidang sastra.
Dari situlah kemudian lahir sebuah buku kumpulan puisi yang diberi judul Narasi Speaker Masjid yang terbit dua tahun berikutnya, 1999. Buku ini dicetak dalam bentuk photo copy dalam jumlah yang sangat terbatas dan sangat sederhana. Ada 20 santri yang puisinya bisa di muat di buku itu. Masing-masing santri menyumbangkan sekitar satu sampai sepuluh judul puisi yang berisi berbagai hal kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari. Mulai dari yang bertema cinta sampai kondisi masyarakat yang yang dianggap sudah carut-marut. Ada juga yang membidik persoalan politik tingkat atas yang amburadul.
Yang membanggakan dari antologi sederhana itu adalah bahwa mereka para santri dapat mempersembahkan sebuah karya “teramat sangat sederhana” untuk almamater tercintanya dan terutama kepada Kyai yang telah mengasuh mereka dalam proses mencari kawruh agama di pondok pesantren.
Fenomena tersebut di atas menarik tidak saja disebabkan karena para santri telah berhasil mewujudkan sebuah karya. Tetapi yang terpenting adalah adanya proses kreatif yang mereka miliki untuk bisa melahirkan ide-ide yang sebenarnya telah lama mengendap dalam benak pikiran mereka. Mereka memendam sebuah “kegelisahan” yang tentu saja menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang mau berpikir.
Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka menggelisahkannya? Apa yang mereka bayangkan dalam angan-angan? Tentu saja bagi orang yang sedang belajar mengeja tanda-tanda alam adalah alam itu sendiri. Alam tidak hanya terbatas pada matahari, rembulan, bintang-bintang, langit biru, ruang hampa udara, awan-awan berarak, semilir angin, burung-burung yang sedang terbang berbaris memanjang, pohon-pohon hijau, sungai-sungai, lautan, tanah-tanah subur dan tandus, hujan, gempa dan sebagainya. Tetapi juga mereka sendiri sebagai manusia yang menjadi subyek dan sekaligus obyek peradaban. Mereka membentuk peradaban dan sekaligus dibentuk oleh peradaban yang mereka ciptakan sendiri. Pendeknya alam adalah segala hal selain Sang Pencipta Allah azza wa jalla.
Orang yang belajar qira’ah (membaca) adalah dia yang mau memahami ayat-ayat, mau memahami fenomena-fenomena ilahiyah. Setetes embun bagi seorang qari’ (pembaca) akan lebih berarti dari pada sepiring nasi yang dicarinya dengan susah payah. Setetes embun barangkali akan lebih menyegarkan ditengah-tengah kegelisahan hati yang dirasakannya. Dari mengamati setetes embun muncullah kedamaian dalam hatinya sehingga bisa merasakan kehadiran Tuhan yang telah memberi kenikmatan yang tiada tara. Lalu bagi seorang penyair menjelma sebuah kata-kata indah yang tidak saja enak dibaca bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Menciptakan Tradisi (Ber)Sastra
Pesantren sebagai bagian budaya tersendiri dalam masyarakat hidup di tengah-tengah situasi global yang mengelilinginya. Pesantren telah mengalami situasi-situasi yang sedemikian sulit dalam perjalanannya. Pesantren juga telah menunjukkan prestasi-prestasi yang cukup memberikan kemanfaatan pada masyarakat luas. Tetapi bagaimana dengan tradisi yang dimilikinya? Selama ini metode pengajian dengan bertumpu pada kitab-kitab kuning yang dirintis oleh para pendahulunya (al-salaf al-shalih) terkadang tidak cukup mampu memberi jawaban-jawaban atas persoalan yang mencuat dalam panggung kehidupan. Tidak cukup bisa bermain dalam arena pertandingan yang sering membuat urat saraf menegang. Pesantren dianggap masih jauh ketinggalan di belakang para sprinter yang hampir menyentuh garis finish.
Pendek kata, selain harus berpegang pada teradisi spesifiknya, pesantren sudah harus menemukan dan membuat model lain dalam kerangka menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Para santri menjadi sastrawan! Menyampaikan segala persoalan melalui karya sastra (puisi, cerpen, novel, naskah teater, naskah drama, naskah film dan lain sebagainya) Mungkinkah? Sangat mungkin, karena sebenarnya mereka mempunyai banyak tokoh yang bisa dijadikan sebagai panutan. Kitab kuning yang mereka baca pun ada sebagaian yang berisi sastra yang bernilai tinggi. Para santri sebenarnya sudah terbiasa dengan kitab Ushfuriah yang berisi cerita-cerita imajinatif, dengan kitab Alfiah ibn Malik yang berisi seribu lebih sedikit bait syair tentang tata bahasa Arab, kitab al-barzanji dan al-dziba’i yang berisi sejarah perjalanan Nabi saw. dan masih banyak lagi kitab yang mereka baca berkenaan dengan sastra atau bernada sastra. Tetapi anehnya para santri hanya sekedar mengajinya dan menyampikannya secara lisan saja. Mereka kekurangan kreatifitas untuk membuat hal yang baru dengan bahasa mereka sendiri, dengan olahan kata mereka sendiri yang mengandung nilai sastra. Padahal bahan untuk itu sangat banyak.
Barangkali perlu diciptakan sebuah tradisi (ber)sastra untuk para santri. Beberapa pesantren di Indonesia sudah memulainya. Misalnya di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura dan lain-lain. Di pesantren-pesantren itu terdapat komunitas yang mempunyai minat dalam bidang sastra. Tetapi sayangnya masih sangat terbatas baik fasilitas yang dimilikinya maupun keahlian yang dipunyainya. Oleh karena itu dalam kondisi serba terbatas ini perlu adanya latihan-latihan yang berkesinambungan baik secara individual (munfaridan) maupun kelompok (jama’atan). Para santri harus mau menyadari segala kekurangan dan ketertinggalannya dengan mau belajar pada yang lain. Membaca karya orang lain adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Meringankan beban
Sebenarnya menjadi sastrawan adalah sebuah beban yang teramat berat. Di awal tadi dikutip sebuah terjemahan ayat al-Qur’an “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. al-Syu’ara: 224).
Ayat ini adalah sebuah peringatan dini bagi para sastrawan (baca: penyair) agar tetap berjalan sesuai dengan pakemnya. Banyak sastrawan yang kerjaannya hanya mencari ilham, ide, dan wangsit saja untuk menemukan kata-kata yang bisa menyihir banyak orang. Mereka berjalan-jalan di lembah-lembah, bukit-bukit, jalanan, pasar-pasar, dan bahkan mereka ada yang merelakan diri menyiksa diri dengan bertapa di gua-gua, di tempat keramat, di tempat tersembunyi lainnya tanpa menghiraukan diri mereka sendiri apakah telah cukup beramal atau tidak. Bahkan mereka setelah itu mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan sendiri. “Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah (yang sunyi). Dan bahwsannya mereka suka mengatakan apa saja yang mereka tidak mengerjakannya.” (Q.S. al-Syu’ara: 225-226). Apa yang dikatakan oleh para penyair kebanyakan adalah kata-kata yang tidak bermakna, mengandung nilai kebohongan, bahkan terkadang mengandung hujatan yang tak berdasar.
Beberapa ayat tersebut barangkali mengandung larangan bagi seseorang untuk menjadi penyair/sastrawan. Tetapi sesungguhnya masih ada ayat lanjutan yang memberikan angin segar bahwa tidak semua penyair/sastrawan mendapat celaan kategori kabura maktan ‘inda Allah antaqulu ma la taf’alun (dosa besar menurut Allah kamu mengatakan apa yang kamu tidak mengerjakannya) yaitu ayat yang berbunyi “kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (ayat 227).
Di sinilah posisi sastra pesantren ditengah-tengah “sastra gelap” lainnya. Ia menjadi begitu penting. Sastra pesantren adalah “sastra terang” yang memberikan pencerahan bagi banyak orang yang membutuhkan secercah cahaya harapan masa depan. Ia diharapkan mampu memberikan penyadaran tidak saja bagi sang penyairnya sendiri, tetapi orang-orang dapat menikmatinya. Ia berusaha menelisik batin-batin para penyapanya sehingga mereka menjadi sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia yang sedang mencari oase di tengah-tengah padang pasir tandus dan teramat panas. Sastra pesantren berusaha mengisi ruangan kosong dalam batin manusia-manusia yang sudah mulai kehilangan jati dirinya.
Jadi sebenarnya beban yang dimiliki oleh kalangan pesantren adalah beban yang masih bisa dipikul walaupun terasa amat berat karena sastrawan pesantren adalah seorang yang kesehariannya sibuk dengan pekerjaan hariannya. Ia tidak semata-mata seorang sastrawan belaka tetapi adalah para kyai, nyai, ustadz(ah), dan santri yang sehari-harinya akrab dengan ilmu agama. Bagi mereka hidup sesungguhnya adalah karya sastra, dan karya sastra memberikan hidup menjadi lebih bermakna. Kata seorang penyair “kehidupan adalah puisi yang panjang” yang menjuntai sejak manusia masih sebentuk tanah sampai nanti setelah terbaring di dalam tanah, bahkan sampai di keabadian kelak. Wallahu a’lam.
***
*) Alumni Pondok Pesantren Pembangunan “Miftahul Anwar” Cigaru II Majenang Cilacap Jawa Tengah.