Fauzan Santa*
http://blog.harian-aceh.com/
Seharusnya kita tak membuang semangat masa silam/bermain dalam dada/setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini ? Ebiet G. Ade
Tersebab bermula sastra jika ditanya orang kita adalah fiksi maka kerap orang kita menempatkan karya tekstual tersebut sebagai hiburan lokal yang penting cuma sewaktu soal-soal kehidupan lain sedang butuh jeda dari rutin seharian daripada menjadi sebuah ruang pergulatan juga pertaruhan ruhani untuk menaklukan sejumlah fakta dimana sebenarnya kejernihan sesungguhnya bisa dibicarakan dan diberi makna kembali demi menemukan kesalahan-kesalahan masa silam untuk tak diulang serta menemukan kebenaran-kebenaran untuk terus diperjuangkan sampai kelak sebagai suara dari sebabak kurun yang hiruk gemuruh walau para pesastra tinggal nama diatas nisan.
Jurnalisma sampai titik tertentu mesti berhenti menyusun fakta -seperti sastrawan-wartawan Seno Gumira Ajidarma yang pernah menulis himpunan cerpen Saksi Mata (1995) karena kebebasan pers dibekap kekuasaan pada dekade akhir abad 20 kemarin? maka sastra akan mengambil alih estafeta perjuangan tekstual yang tak sanggup dipikul media massa dengan kekuatan fiksional dimana semua fakta segera menjadi bayang-bayang yang menyarukan kebenaran kemana suka serupa anak-anak jiwa dalam kembara menjadi catatan-catatan kaki sejarah resmi yang tak putus harus dijenguk supaya tafsir atas masa lampau jadi sempurna memperkaya khazanah masa mendatang karena sejarah dalam hal ini serupa dua cermin spion kiri-kanan untuk menjalankan sebuah mobil ke depan maka ia tak boleh buram agar mobil tak dikutuk celaka dua belas kali di kubangan itu-itu saja.
Pun Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka kita yang bertubi selalu masuk jajaran para nominator peraih Nobel Sastra jauh sudah merekam serbaneka getir perjuangan bertahan hidup para korban melawan kekerasan negara di kurun Kolonial Belanda masuk Fasis Jepang hingga Orba dengan menciptakan harapan cemerlang ?Nak, meski kalah tapi kita sudah berjuang sebaik-baiknya? dalam sekian ribu narasi para tokoh novelnya terutama hasil karangan semasa di Pulau Buru yang selalu menenun fakta-fakta kecil dalam anyaman fiksi yang gagah sebab ia juga tukang kliping koran dan majalah paling berwibawa selama bertahun-tahun yang dari kliping itu sempat kemudian terbit menjadi beberapa jilid buku tebal bertajuk Kronik Revolusi Indonesia (1999) yang mengupas detil fakta secara horisontal dalam ruang sejarah Nusantara dimana peristiwa-peristiwa sederhana di daerah-daerah dari kesenian sampai olahraga yang terjadi setanggal-sehari yang sama dengan kejadian politik di Pusat terburai lengkap guna menegaskan bahwa revolusi atau kesadaran nasional tak pernah terjadi sendiri begitu saja mengalir dari pusat kekuasaan melainkan tumbuh utuh dalam deru ?semesta yang bergerak? melawan penindasan dan penjajahan.
Terlalu kaya detil fakta jika kajian heuristik melebar hingga ke wilayah sinkronik yang membikin sejarah tak pernah ada tokoh tunggal atau ?orang besar? seperti yang dipraktikkan pendekatan sejarah diakronik dimana urutan waktu cuma sesuai peristiwa besar semata dan dalam diakronika sejarah model begitu sesungguhnya banyak terjadi penggelapan saat mana banyak orang dalam masyarakat -tokoh tak tercatat- luput diberi tempat apatah dicatat dari riwayat-riwayat sederhana tapi strategis misalkan siapa komandan armada tank yang dikirim dari Bireuen untuk menghalau Belanda dalam pertempuran Medan Area pada 1948 atau sosok yang berhasil menyeludupkan perangkat radio dari Penang hingga selamat sampai ke Pebukitan Rimba Raya di negeri Antara yang kemudian berjasa memberitakan ?Serangan Oemoem 1 Maret? di Jogjakarta ke seluruh dunia dalam enam bahasa serta telak sudah kemudian mematahkan provokasi radio-radio Belanda hingga Indonesia pun selamat dalam Perundingan Meja Bundar pada Desember 1949 di Den Haag Nederland.
Efek berantai dari pendekatan diakronik kemudian sejarah sering tak jujur dan kerap menjadi kesimpulan dari narasi besar kekuasaan penuh misteri yang sekadar melahirkan oposisi-biner antara pahlawan-pecundang tanpa perlu ditelisik lebih dalam kenapa semua itu bisa terjadi dan karena itulah detil fakta para korban setelah sebuah orde tumbang senantiasa akan menuai pertanyaan kepada orde kekuasaan berikutnya demi keadilan dan kehormatan kemanusiaan yang dulu banyak tersaru dalam kemelut revolusi dan pembangunan sebagaimana terbukti dengan bertumpuk luar biasa penerbitan buku memoar dari para pelaku sejarah yang selama ini dibungkam untuk tampil ke hadapan sidang pembaca generasi terkini dalam orde reformasi demi memberi kesaksian sehingga buku-buku mata pelajaran sejarah resmi pun penting disesuaikan kembali untuk meletakkan ?orang-orang yang dikalahkan? pada posisi yang seimbang dan semua sama penting sebagai aktor sejarah sebagai bentuk rekonsiliasi atau rujuk kemanusiaan yang utuh.
Betapa tidak adil umpama babakan sejarah itu dianggap semacam jajaran bilik-bilik dengan pintu tertutup dari sebuah apartemen dimana sesama tetangga tak pernah saling kenal sehingga dari amsal itu jelas membuat para korban dalam satu bilik orde tetap sebagai korban dan tak bisa membela diri lagi saat kekuasaan berganti ruang-waktu sebab mereka telah dianggap masa lalu saja padahal pasti mereka menanggung kepiluan panjang akibat luka serta ingatan silam sementara para ?pemenang? akan menjadi pahlawan tanpa bisa ditolak sebab pintu masa lalu sudah digembok rapat-rapat yang membikin segala peristiwa-tokoh-alur terjebak di dalamnya tanpa kemungkinan rehabilitasi buat menemukan keadilan serta kejernihan faktual melalui misalkan kesaksian yang diberikan oleh para pihak petikai dan kehampaan macam ini berisiko tak ada lagi kata sesal atau maaf bahkan cenderung selalu mengulang model peristiwa kelam yang sama secara siklitis dengan pelaku yang beda di hari kemudian.
Model pemahaman positivistik macam itu yang kemudian populer disebut historisisme darimana kemudian melahirkan istilah hukum besi (iron law) sejarah dalam teori seorang ilmuwan sosial Jerman Karl Popper tetapi untuk melawan hukum yang sistematis mengajarkan cara berlupa itu maka orang masih sampai hari ini terus menuntut pengungkapan kasus-kasus lampau secara adil juga proporsional semisal aspirasi kuat pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh sebagai pernah sukses dalam damai meski dengan capaian beda di Afrika Selatan semasa Presiden Nelson Mandela yang berbudi disamping tak terbilang penerbitan buku-buku biografi dan sastra berbasis sejarah sebagai pengimbang fakta diakronik yang membesi itu.
Tujuan indah dari pengungkapan tak bukan seperti pesan mantap sebuah film dokumenter-drama Puisi Tak Terkuburkan (2000) dimana seorang penyair Didong dari dataran tinggi Takengon yang dituduh terlibat peristiwa 1965 tapi akhirnya terbukti tak bersalah namun karena insiden itu justru Ibrahim Kadir menyimpan trauma serta kesedihan panjang maka ketika ia harus menceritakan itu kepada anak cucu bukan sama sekali bermaksud untuk ?mewariskan dendam silam tapi demi masa depan penghormatan atas cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab? meskipun awalnya memang sangat berat dan berurat proses-proses pengungkapan itu bak sepotong sajak Joko Pinurbo (2005) yang bertajuk Seperti Apa Terbebas Dari Dendam Derita dimana selarik singkat berbunyi ?Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka?.
Itulah sebab Martin Aleida seorang sastrawan asal Tanjung Balai Sumatra Utara memakai prosa untuk mengungkap fakta-fakta sinkronik dalam buku baik yang disebut oleh para penyuntingnya ini sebagai ?sastra kesaksian? atas peristiwa 1965 walau lebih dari seorang saksi tapi juga korban yang selalu merasa diawasi gerak-geriknya seperti terkisah dalam cerpen memoar Ratusan Mata Dimana-mana (hal. 111) atau cerita Abdullah Peureulak yang karena peristiwa getir itu harus bertahan dengan identitas palsu yang tak pernah diungkap bahkan kepada istri tercinta yang tengah sekarat dalam cerpen Liontin Dewangga (hal. 49) dan melalui cerpen-cerpen dalam buku berlapik lukisan ekspresionisma karya Ipong Purnamasidhi ini -selain sebagai pernah diutarakan Melani Budianta pada sampul belakang novel Jamangilak Tak Pernah Menangis yang juga karya Martin Aleida pada 2004 dimana ?terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita? -kita selalu diajak kritis pada sejarah negeri terkasih ini demi mencari dan mengupas lapis-lapis kebenaran historis agar terutama hukum besi sejarah tak sampai melempar jauh para korban ke dalam sunyi panjang sebuah kebisuan yang lamat-lamat menjadi bongkahan mitos dan karena pengungkapan itu pula kita akan bisa hidup bersama secara lebih tulus serta selamat dalam damai menjadi mulia sebelum pada akhirnya semoga kita semua dengan sepenuh cinta berharap akan ?mati baik-baik?. Demikian maka jawab sastra sebagai fiksi jika ditanya orang kita.
Judul : Mati Baik-Baik, Kawan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Akar Indonesia
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 144 halaman
Peresensi: Sekretaris dewan redaksi Jurnal Kebudayaan Gelombang Baru.