Surat Sastra: Sunaryono Basuki Menggugat Rida K Liamsi

Husnu Abadi
riaupos.com

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis Surat Sastra ini. Paling tidak karena telah dua kali, sahabat saya dari Singaraja, Bali, Sunaryono Basuki (SB), menulis esei yang menyinggung dan menggugat ketiadaan nama Rida K Liamsi, yang menurut hemat saya kurang akurat atau kurang cermat. Esei pertama, dimuat dalam Rubrik Budaya Riau Pos, 25 Januari 2009.

Judul esei: “Perjalanan Spiritual dalam Perjalanan Kelekatu”. Kutipannya begini: Sungguh mengejutkan, ternyata nama Rida K Liamsi (17 Juli 1943) tidak tercantum pada buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) himpunan Korrie Layun Rampan. Korrie yang sastrawan dan pernah menjadi redaktur majalah Sarinah di Jakarta tentunya pernah mengenal Rida yang bekerja juga sebagai wartawan Tempo dan Suara Karya. Tentang Hasan Yunus (12 Januari 1941) yang pernah berkolaborasi dalam kumpulan esei dan puisi dengannya dapat kita baca dalam buku tersebut, juga tentang Fakhrunnas MA Jabbar yang lebih muda. Namun hal itu tak penting dan kita paham bahwa penyair senior ini lebih banyak berkutat di bidang pers, walaupun sering memberikan ceramah tentang sastra dan karyanya juga dimuat di Horison dan beberapa lembar sastra yang lain.

Setelah saya membaca dua alinea pertama dari esei itu, sayapun membolak-balik buku yang disebut oleh SB itu. Dalam buku Korrie Layun Rampan (KLR) memang tidak saya jumpai entri nama Rida K Liamsi. Kalau begitu bisa jadi memang benar esei SB itu.

Namun saya tidak puas dengan satu buku yang dirujuk oleh SB itu. Sayapun merujuk pada buku leksikon sejenis yang ditulis oleh: Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern (Gramedia, 1981) dan edisi barunya (Jambatan, 1990) dan terakhir dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Gramedia, 2001). Ternyata dalam ketiga buku itu, entri nama Rida K Liamsi itu memang tidak ada.

Dalam buku Suhendra Yusuf, Leksikon Sastra (Mandar Maju, 1995) demikian juga. Buku leksikon terakhir yang saya telaah adalah Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Titian Ilmu, Bandung, 2004) editor Hasanuddin WS. Ternyata sayapun tidak menemukan entri nama Rida K Liamsi.

Sementara itu, di awal tahun 2009, saya menerbitkan buku Leksikon Sastra Riau (LSR). Saya telah menemukan jawabannya, apakah memang entri nama Rida K Liamsi memang ada atau tidak. Namun saya belum tergerak untuk menulis Surat Sastra ini.

Ketika SB membuat resensi buku LSR (rubrik budaya Jawa Pos, edisi Minggu, 30 Agustus 2009) kembali SB menggugat isi dari buku LSR, mengapa entri nama Rida K Liamsi juga tidak ada, maka tampaknya hal ini perlu dijernihkan.

Saya memerlukan mengutipnya seperti berikut ini: Uniknya, buku itu juga dilampiri sejumlah halaman depan sebagai bukti otentik mengenai kegiatan penerbitan buku sastra di Riau yang dilakukan oleh Universitas Islam Riau, BKKI Riau, Yayasan Sagang, Bengkel Teater Bersama dan Harian Riau Pos, serta penerbit-penerbit buku lain. Itu menandakan kehidupan penerbitan buku di Riau cukup marak. Namun tentu saja buku tersebut tanpa cacat. Di dalam dokumentasi halaman buku terlihat buku nobvel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi (Yayasan Sagang dan JP Books) namun ternyata nama Rida yang juga menulis kumpulan puisi Tempuling serta Perjalanan Kelekatu, tidak tercantum di dalam buku itu. Rida K Liamsi yang kebetulan CEO Riau Pos Group adalah sastrawan yang cukup aktif menulis dan memberikan ceramah sastra di berbagai tempat.

Kalau dibaca satu demi satu nama-nama sastrawan Riau yang ada, memang entri nama Rida K Liamsi tidak ada. Namun perlu juga ditelusuri, apakah ada nama pena yang sering digunakan oleh Rida K Liamsi. Pertanyaan yang sebetulnya mustahak untuk diajukan juga adalah apakah nama yang populer sekarang ini, yaitu Rida K Liamsi itu memang nama sebenarnya? Nama pena? Nama samaran?

Saya menduga, nama Rida K Liamsi adalah bukan nama sebenarnya. Pertama, saya punya pengalaman waktu SMP di Singaraja, tahun 1965-an. Orang tua kawan saya, membuka usaha fotografi, dengan nama Ridaka. Nama orang tua itu adalah A Kadir. Oo, jadi Ridaka adalah kebalikan darinama A Kadir. Ketika tahun 1980-an, saya mengetahui ada nama Rida K Limasi, sayapun menerka-nerka, bagaimana kalau nama itu dibaca dari belakang? Ah itu dia nama aslinya, Ismail Kadir. Kedua, paling tidak bila dilihat entri sebuah nama, dalam buku KLR itu (lihat halaman 215). Di sana ditulis …Lahir di Dabo Singkep, Riau, 17 Juli 1943 dengan nama asli Ismail Kadir. Ia juga mempergunakan nama samaran Rida K Liamsi.
Ismail Kadir bila dibaca dari belakang: Rida K Liamsi.

Lalu entri nama yang mana, yang ditulis pada buku KLR itu? Ternyata sebagai penyair dan sastrawan, nama inilah yang sering digunakan oleh yang empunya nama, yaitu Iskandar Leo. Jadi, entri nama pada buku KLR adalah Iskandar Leo, dan memang tidak ada entri nama Rida K Liamsi.

Namun satu hal yang pasti, entri nama Iskandar Leo hanya ada pada buku Korrie Layun Rampan dan buku yang saya tulis, Leksikon Sastra Riau. Namun, entri nama Rida K Liamsi memang sama-sama tidak ada dalam semua buku leksikon.

Bagi saya, nama Iskandar Leo memang mewakili masa ketika kepenyairan dan kesastrawanannya memang sedang mengalami ujian, sedangkan nama Rida K Liamsi mewakili masa kepenyairan ketika semuanya telah cukup tersedia. Akankah saya melupakan Iskandar Leo?

Ada saran dari kawan saya Slamet Trisila, seorang editor buku dari Penerbit Pustaka Larasan, di Denpasar, sebaiknya entri nama seseorang yang punya nama samaran, tetap dimunculkan dalam entri tersendiri, walaupun isinya cukup ditulis: Lihat nama ini…
Artinya, entri nama Rida K Liamsi harus tetap dimunculkan, tetapi isinya cukup dengan menulis: Lihat Iskandar Leo.

Sekarang, Sunaryono Basuki tentu sudah boleh gembira dan tak perlu merasa kehilangan, karena keberadaan Rida K Liamsi tetap ada, walaupun ia berada dalam nama Iskandar Leo!***

*) Penulis buku Leksikon Sastra Riau (UIR Press & BKKI Riau, 2009) bersama M Badri. E-mail: mhdhusnu@yahoo.com. Tinggal di Pekanbaru.

Leave a Reply

Bahasa ยป