Wahyudin *
Jawapos.com
YOGYAKARTA Biennale X-2009 bertajuk Jogja Jamming: Art Archives Movement akan dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 11 Desember di gedung Pameran Taman Budaya Jogjakarta.
Di luar dan dalam gedung yang dibangun pada 1996 itu, khalayak bisa menyaksikan puspa ragam karya seni rupa mutakhir milik 32 perupa kiwari Jogjakarta. Di antaranya, Budi Kustarto, Dadang Christanto, Eddie Hara, Eko Nugroho, Heri Dono, Ivan Sagita, Nyoman Masriadi, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Wedhar Riyadi, dan Yunizar.
Dari situlah Yogyakarta Biennale X bakal memulai pertemuan kreatif dan komunikasi intrapersonal lintas generasi perupa Jogjakarta sebagai ikhtiar untuk menyurat yang silam, menyingkap yang tersembunyi, dan menggurat yang menjelang dalam sejarah, tradisi, dan kehidupan berseni rupa di Jogjakarta.
Seperti kita tahu, seni rupa modern di Jogjakarta lahir bersamaan dengan hijrahnya pemerintah Republik Indonesia dari Jakarta ke Jogjakarta pada permulaan 1946. Dalam situasi yang penuh gelora revolusi itu, ikut serta sejumlah besar perupa, seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudjojono, juga generasi pemula seni rupa modern Indonesia di Jogjakarta lainnya, antara lain Basuki Resobowo, Doellah, Oesman Effendi, Rusli, Zaini, Nashar, Daoed Joesoef, dan Nasjah Djamin. Mereka lantas berhimpun dalam Seniman Indonesia Muda -bermarkas di Madiun pada 1946, kemudian pindah ke Solo, dan seterusnya di Jogjakarta hingga menemui ajalnya dalam kisruh politik pada pertengahan 1960-an.
Seniman Indonesia Muda adalah gerakan seni rupa yang berkehendak menjemput kemodernan -yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah “baru” atau “kebaruan” karena istilah “modern” masih berkonotasi negatif, seperti terdapat dalam banyak tulisan Soekarno- dan meninggalkan kemasalaluan, terutama yang berkenaan dengan estetika antik dalam seni Hindu-Jawa, batik, dan wayang.
Sebutlah lukisan Affandi Laskar Rakjat Sedang Mengatur Siasat, lukisan Pengantin Revolusi Hendra Gunawan, dan lukisan Sudjojono Seko Pemuda Gerilya -yang mengandung muatan sejarah-kebangsaan dan kini telah menjadi masterpiece dalam khazanah seni lukis Indonesia.
Dengan begitu, menjadi bisa dimengerti Seniman Indonesia Muda dianggap sebagai “satu generasi yang unik” -memakai istilah Umar Kayam (2005). Pada lukisan-lukisan mereka itulah terpantul juga perjalanan kita membangsa, memenangi revolusi, dan membangun suatu negara merdeka.
Berdasar pertimbangan historis itu, Yogyakarta Biennale X memandang perlu mempresentasikan arsip dan dokumentasi visual yang berkenaan dengan Seniman Indonesia Muda di gedung pameran Bank Indonesia yang berjarak 500 meter ke arah selatan dari Taman Budaya Jogjakarta. Selain Seniman Indonesia Muda, di gedung bekas De Javasche Bank -bank swasta zaman Hindia-Belanda yang beroperasi pada 1879- itu bakal digelar arsip dan dokumentasi visual Pelukis Rakjat dan Pelukis Indonesia Muda.
Pelukis Rakjat adalah gerakan seni rupa yang didirikan oleh Affandi dan Hendra pada 1947 setelah mereka bercerai dari Seniman Indonesia Muda karena tak sepemahaman lagi dengan Sudjojono soal ideologi gerakan yang berkecenderungan ke golongan kiri.
Pada perkembangannya, Pelukis Rakjat justru dekat dengan gerakan seni dan politik kiri pada dasawarsa 1950-an dan periode 1960-an. Meskipun, mereka tak pernah secara resmi memproklamasikan diri sebagai gerakan seni rupa kiri. Bagaimanapun, Pelukis Rakjat telanjur dikenal sebagai gerakan seni rupa yang memiliki obsesi besar pada tema-tema kerakyatan di masa pergolakan ideologi tersebut.
Sementara itu, Pelukis Indonesia Muda yang didirikan oleh Widayat dan Sajogo pada 1952 memang tak seterkenal Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakjat. Meski demikian, Pelukis Indonesia Muda perlu diketengahkan dalam perhelatan yang berlangsung sampai 10 Januari 2010 itu. Pertimbangannya adalah peran mereka sebagai pengusung ideologi humanisme universal di dunia seni rupa Jogjakarta.
Dalam mempresentasikan arsip dan dokumen visual Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, dan Pelukis Indonesia Muda, panitia bekerja sama dengan Indonesian Visual Art Archives, lembaga nirlaba yang mengemban misi sebagai pusat data, riset, dan dokumentasi seni rupa Indonesia.
Berdasar riset ekstensif, lembaga itu pula yang akan memamerkan arsip dan dokumentasi Yogyakarta Biennale I-IX -dengan pusat perhatian pada Biennale Eksperimental yang muncul pada 1992 sebagai reaksi perupa-perupa muda terhadap pengelola Yogyakarta Biennale yang mengabaikan eksistensi mereka waktu itu.
Beranjak dari situ, 1,5 kilometer ke arah barat, para pemirsa dapat menjumpai Jogja National Museum, bekas kampus STSRI ASRI-ISI Jogjakarta yang berdiri pada 1950. Di situ akan dipamerkan dokumentasi visual dan karya-karya gerakan seni rupa seperti Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian Apa, Rumah Seni Cemeti, Taring Padi, dan Indieguerillas.
Rasanya tidaklah berlebihan untuk membayangkan sebuah perjumpaan eksistensial yang membahagiakan di antara Bumi Tarung dan Taring Padi, gerakan seni rupa periode 1960-an dan dasawarsa 1990-an, yang memeluk teguh politik praktik seni rupa radikal di Indonesia.
Sementara itu, kehadiran Kepribadian Apa dapat ditandai sebagai upaya yang membangkitkan batang terendam di antara eksponen-eksponen gerakan seni rupa yang -dimotori Gendut Riyanto, Haris Purnama, dan Ronald Manulang- pernah menghebohkan jagat seni rupa Jogjakarta karena keberanian mereka memamerkan puspa ragam karya seni rupa bermuatan kritik sosial politik sehingga diberangus militer pada September 1977.
Selain gerakan-gerakan tersebut, di museum itu akan digelar karya-karya kontemporer, antara lain, ciptaan Entang Wiharso, Bambang “Toko” Witjaksono, Dipo Andi, Farhan Siki, Ismail “Sukribo”, Jompet, Terra Bajraghosa, Venzha, Yudi Sulistya, dan Yusra Martunus.
Tak berhenti sampai sana, sekitar 2 kilometer ke arah selatan terdapat Sangkring Art Space, tempat khalayak dapat menikmati karya-karya perupa kiwari -antara lain, Abdi Setiawan, Arie Dyanto, Bunga Jeruk, Muhamad Irfan, Agustina Theresia Sitompul, Ade Darmawan, Agapetus Kristiandana, Bayu Yuliansyah, Edo Pop, F. Sigit Santosa, Handiwirman, Hendra “Hehe” Harsono, I Ngurah Udiantara, Jumaldi Alfi, Putu Adi Gunawan, Rudi Mantofani, Samsul Arifin, Suraji, dan Tommy Wondra.
Pertemuan dan perlintasan daya cipta di empat venue yang berbeda itu telah meyakinkan saya bahwa kata terakhir harus diberikan kepada para perupa yang ikut serta meyangga tradisi dua tahunan tersebut dalam kesunyian yang tak tepermanai untuk menyurat yang silam, menyingkap yang tersembunyi, dan menggurat yang menjelang melalui rupa, bentuk, dan warna.
*) Salah seorang kurator Yogyakarta Biennale X-2009.