Zadie Smith (25 Oktober 1975 – )

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=318

Zadie Smith nama lahirnya Sadie Smith, pengarang Inggris lahir di barat laut London 25 Oktober 1975. Ibunya Yvonne McLean asal Jamaika berimigrasi ke Inggris tahun 1969, ayahnya Harvey Smith dari perkawinan kedua. Masa kanak suka berdansa, kala remaja aktris teater musikal, uang kuliahnya dari menyanyi jazz. Ketika berusia 14 tahun mengubah namanya “Zadie.” Sekolah di Malorees SMP, Hampstead Comprehensive School dan King’s College, Cambridge University demi belajar sastra Inggris. Novel pertamanya White Teeth memenangkan Whitbread First Novel Prize 2000, novel bercorak realisme magis tersebut menggegerkan Inggris sepanjang tahun 2000. Seperti Zadie sendiri, tokoh utama White Teeth seorang London berdarah campuran yang lahir di pertengahan 1970-an. Adapun tokoh utama novel keduanya The Autograph Man (2002), seorang warga London berdarah campuran Yahudi-Cina. Zadie bertemu Nick Laird di Cambridge University, menikah tahun 2004 di Kapel King’s College. Novel ketiganya, On Beauty (2005) masuk nominasi pemenang Booker Prize 2005. {dari Ensiklopedia Sastra Dunia, Anton Kurnia, i:boekoe 2006 & //www.facebook.com/pages/Zadie-Smith/36287826148?v=info}
***

Terus terang aku belum pernah membaca sekelumit pun kalimah novelnya, namun kan kucoba menelisiki dirinya atas pantulan tujuh foto di facebook-nya: Zadie perempuan periang berdarah Jamaika, ada sekuntum bunga menyembul dari fikirannya, hari esok cahaya matahari meresap ke dalam diri.

Langkah luwes dendangkan irama hayati, sorot matanya tajam menembus segala benda memasuki ruang puitik. Dan sentuhan jemarinya tergarit kemeriahan, lintangan alis menandas ketegasan, serupa ada makhluk gaib ikuti gerak-geriknya berpantulan keyakinan.

Cahaya ketegaran menapaki tangga kemungkinan dilalui bersama masa purnama segera tiba. Ada pesona tak luntur dari darah campuran sedarah seniman setiap hari meradang demam pencarian, digodok jiwa terpanggang takjub perikehidupan.

Jarak pengamatannya selentik angin menggoyang taburkan makna, tapi ketiba-tibaan datang hantu kenang membuyarkan renungan. Itu takkan lama sebab tatapan jitu membelah bayang menambah pengetahuan terbit dari keraguan.

Kukira tiap karakter dalam novelnya kentara resapan pribadi tampak terang pada ruangan, selukisan beruapan magis antara abstrak dan surealis. Umpama beban panggung berwarna hitam, ditimpanya cahaya beraroma harum memasuki penciuman terlambat dirasakan.

Langkah sederhana menegaskan sikap alami, saat tanyakan sesuatu dengan ringan disertai naiknya alis sebulan sabit dijanjikan malam-malam dinanti. Yang suka bergaul pandai bicara menelisiki ceruk jiwa-jiwa kehabisan tanpa kata-kata kecuali menyetiai keterpencilan misterinya.

Zadie yakin masa depan telah digariskan nenek moyang, dirinya tinggal melakoni yang tertitah serupa kuntuman kembang menunggu musim diedarkan mega, biru langit gemintang malam, suara-suara jauh di balik pandang. Bunga takkan mekar kecuali dibantu kaki-kaki kumbang cekatan, senyuman matang kuluman bibir berkecup kesuntukan menentukan terjadi kemudian.

Zadie pengagum diri sendiri, betapa percaya mengukur sudut pandang pewarnaan pantulan cahaya, hampir semua diperhitungkan seksama. Namun canda tawanya buyarkan segala, atau ini keseimbangan debur ombak teratur menghantam karang membelai bulir pasir, sewarna hitam-putih tonjolkan citra melunturkan pesona mengada-ada.

Paras tercipta tempaan malam-malam terjaga, kegelisahan tidak kunjung menepi, meski jiwa tegas menuwai arti mengejar makna dalam diri. Entah kehati-hatian atau telah faham saat tercenung menghampiri persoalan serta keteguhan mengagumkan.

Aku petik pendapat novelis bercorak realisme magis Gabriel Garcia Marquez; “…sebuah kenyataan bukanlah yang tertulis di kertas, namun yang hidup dalam diri kita dan menentukan saat-saat kematian sehari-hari yang tak terbilang banyaknya, menjelma sumber kreativitas yang tiada pernah habis, penuh penderitaan serta keindahan…”

Mungkin demikian ada kilatan tak terkendali saat berkarya, lesatnya nyawa-nyawa perasaan dari eraman bathin memuntahkan darah kental sulit dipercaya. Serta berlangsung menyusuri lorong bahasa menjelma hadirnya temuan peperangan tiada habis menghampiri waktu-waktu percobaan abadi.

Sisi lain bermakna kesurupan pun ketegangan seolah tenang menawan keganjilan yang rumit digambarkan, meski dalam kurun masa paling akrab. Atau itulah cerminan jenaka bersenyum ceria dilepaskan jemari kata-kata, memperindah menutupi cela-cela tak terjamah cahaya.

Dan ketenangan menentukan perimbangan kalimah, apakah tertunduk menghadap bumi dengan angan melayang atau menatap langit bersimpan keganjilan. Kurasa dunia kanaknya menuntun nurani ke laut perasaan derita sunyi ingatan pantai, namun seolah hidup tanpa batas berlarian dendangan hati.

Berhenti sejenak sebelum kedewasaan pandang pemahaman meningkat tetapi waktu kian lesat, hanya kesungguhan terpatri. Membaca buku dalam damai menyingkap kelambu di balik tulisan mengarungi sejauh lemparan, kedipan sukacita pula kebencian.

Catatan ini mengingatkanku pada penyair Wislawa Szymborska dan sutradara Samira Makhmalbaf, memang tiada hubungan namun mungkin bersambung erat. Setidaknya sama-sama menjalani realitas hayat beraura keluguan bathin memikat di tengah jiwa kadang sontak digelandang badai pencarian menghadap matahari benar-benar tenang.

Sebagai penutup kupetik perkataan Imre Kertesz; “Kelak ia harus bersandar pada gambarannya sendiri tentang calon pembacanya, harapan-harapan yang ia rasa berasal dari pembacanya, dan membayangkan pengaruh yang ingin dicapainya.”

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *