Yaya*
http://www.pikiran-rakyat.com/
Pintar berkomunikasi saja tidak cukup untuk membekali peserta didik. Sebab, kepintaran tanpa keindahan, bagaikan robot yang tak berperasaan. Robot memang pintar, tetapi tidak berjiwa.
KARYA sastra adalah implementasi dari keindahan berbahasa. Berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahasa dalam sastra mempunyai ragam sendiri. Namun sayangnya, kemampuan siswa untuk mengapresiasi sastra–khususnya ragam bahasa yang digunakan–masih rendah.
Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang tidak pernah lepas dari kumandang karya sastra, baik melalui bacaan maupun lagu-lagu. Orang berdoa dengan membaca wacana yang bernilai sastra, termasuk kaum Muslim membaca selawat dan pujian yang tersusun sebagai karya sastra. Bahkan dalam keseharian, banyak acara televisi yang memiliki bentuk dan bercorak sastra. Pendek kata, berbagai karya sastra amat dekat dan tidak asing dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Lantas, mengapa kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra masih rendah? Mengutip pendapat Achmad Bashori (2008), terdapat dua hal yang menyebabkan hal ini terjadi, pertama, yakni pelajaran sastra tidak secara eksplisit disebutkan dalam KTSP 2006. Kedua, dalam penulisan buku rapor, tidak memunculkan nilai sastra untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Memang dalam KTSP, materi ajar sastra mendapat porsi yang sama dengan aspek kebahasaan yang meliputi membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Namun, dalam implementasinya tergantung dari guru bahasa itu sendiri. Bila guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapat perhatian lebih. Namun sebaliknya, jika minat guru terhadap apresiasi sastranya rendah, maka pelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan sesuai dengan “tuntutan” kurikulum saja.
Maka yang terjadi sekarang ini, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dipandang berbagai kalangan masih belum berhasil dengan memuaskan. Para siswa lulusan pendidikan menengah masih “kering bahasa dan rendah bersastra” (Suherli, 2005). Para siswa hafal berbagai jenis gaya bahasa, puisi dan pantun, namun ia tidak dapat menggunakannya dalam berbahasa. Mereka menguasai jenis karya sastra, nama pengarang dan angkatannya, namun sulit untuk memahami karya sastra karena belum pernah membaca karya sastra tersebut.
Bagaimanakah cara membuat siswa mencintai seni sastra atau karya sastra? Mengajak siswa mencintai seni sastra adalah sesuatu yang bisa dilakukan seorang guru bahasa. Dari beberapa hasil penelitian, terdapat korelasi positif antara minat guru terhadap sastra dengan hasil pengajaran sastra. Makin tinggi minat guru terhadap sastra, maka makin lebih baik pula hasil pengajarannya.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan siswa pada karya sastra di antaranya: (a) melakukan kegiatan pengalaman bersastra bersama-sama siswa, seperti menyimak, berbicara, membaca maupun menulis sastra. Selain itu, yang terpenting adalah keteladanan guru. Sangat beralasan bila guru memberikan contoh dalam kegiatan pengalaman bersastra; (b) memberikan kebebasan kepada para siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop/populer) dengan pandangan mereka sendiri; (c) melengkapi perpustakaan sekolah dengan referensi yang up to date seperti novel, cerpen, puisi, naskah drama, penunjang apresiasi sastra lainnya dan buku-buku lama; (d) menyediakan tempat untuk berekspresi seperti sanggar sastra atau aula teater; (e) mengubah orientasi pengajaran sastra dari pengembangan teori-teori sastra kepada kegiatan pengalaman bersastra.
Memang pengajaran sastra di sekolah tidak dimaksudkan untuk mencetak siswa menjadi sastrawan. Namun, banyak manfaat yang diperoleh dengan dimasukkannya sastra ke dalam struktur kurikulum, di antaranya adalah membentuk sikap siswa agar menghargai karya sastra, bertambahnya pengetahuan dan pengalaman bersastra, dan terpenting adalah mengasah kepekaan siswa terhadap berbagai masalah kehidupan beserta solusinya. Tanpa adanya upaya oleh guru bahasa, maka upaya untuk menumbuhkan kecintaan pada karya sastra akan sulit berkembang. Mengapa tidak ditumbuhkan mulai sekarang?***
*) Penulis, guru bahasa Indonesia MTs. Tanjungsari, Kabupaten Ciamis.