Friedrich Schiller (1759-1805)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=365

PUISI
Friedrich Schiller

Tiada belenggu mengikat daku,
tiada penghalang melintang,
Leluasa melancar daku, ke segala
penjuru ruang lepas.
Pikiran ialah duniaku, luas
tiada terbatas
Dan kata jadi sayapku, bebas
melayang terbang.

Segala yang bergerak di cakrawala
dan di atas dunia,
Apa yang diciptakan alam
jauh dalam terpendam,
Meski terorak bagiku dari
selubung tirai kelam.

Memang tiada yang menghalang
daya pujangga merdeka;
Tapi tiada lebih indah kujumpai
betapapun lama memilih
Selain jiwa yang permai
dalam bentuk puisi.

Johann Christoph Friedrich von Schiller (10 Nov 1759 – 9 Mei 1805) lebih dikenal Friedrich Schiller, sastrawan Jerman lahir disebuah kota kecil di Swaben. Mula-mula hendak jadi ahli ketuhanan, namun terpaksa masuk akademi militer. Akhirnya mempelajari hukum dan kedokteran, tapi tak betah meneruskan, sesudahnya menulis sandiwara yang pertama, lalu menjelma pengarang merdeka, menjelajahi seluruh dataran Jerman. Berkenalan Goethe bertukar fikiran, keduanya bersahabat karib. Atas pertolongan Goethe, Schiller ditunjuk menjabat Profesor ilmu sejarah di Universitet Jena, kawin sekaligus menetap beberapa lama. Karena kesehatannya terganggu, mengundurkan diri dari kalangan universitet, kemudian kembali bergerak di lapangan kesusastraan. Selama tahun-tahun hidup yang penghabisan, menetap di Weimar bersama Goethe. Di luar batas Jerman, Schiller tidak setenar Goethe, namun dalam negerinya lebih populer. Suksesnya dibidang drama, sajak-sajak pendeknya hanya mengharu jiwa remaja oleh mengandung anasir idealisme, bagi jiwa lebih matang dingin berasa, sebab terlampau berdasar nalar. Yang terbaik di antaranya, Die Glocke, renungan hidup insan sebagai puncak kesanggupan liriknya beranasir didaktif. Buahpenanya di wilayah drama Die R?uber (1781), Intrigue und Liebe (1799), Don Carlos (1787), Wallenstein (1799), Maria Stuart (1800), Die Jungfrau von Orleans (1801) dan Wilhelm Tell (anti penindasan dan penjajahan). Karangannya di ladang prosa menarik perhatian, antaranya Puisi naif dan Sentimentil yang berpengaruh sampai jaman dewasa. {dari Puisi Dunia, jilid II, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953}
***

Kali ini yang ditafsir puisi bertitel puisi, maka kan kucoba memandangi apa itu puisi, dari sudut yang disesuaikan, atau tentu tidak jauh sedari pantulan karya Schiller di atas.

Penyair bersama guratannya tak dapat dilepaskan, keduanya menyatu hingga mencapai bentuk unik berbeda corak, atas para penyair atau pun karya orang lain.

Serupa bayang pribadi, tapi tak hanya bayangan semata, namun menjelma sosok saudara kembar.

Hal itu sampai jikalau mampu bebaskan ekspresi jiwa tanpa disekat belenggu hari-hari, selain bersetia pada jalan yang diyakini, inilah makna kebebasan pengarang.

Sebab Schiller mendalami dunia drama, maka kuhendak memasuki puisinya lewat tubuh pencarian di atas panggung, berusaha malakonkan dirinya tengah mengejawantah kalbu fikiran dikelanakan di rimba kata.

Segerak-geliat gelisahnya menelisiki sejarah yang dihidupi, menghadapi masa-masa diandaikan. Untuknya kukupas satu bait satu bait dengan keliaran menyusuri gubahannya, semoga bisa dipetik dan peroleh bebunga hikmah.

I
Puisi merupakan aktor lihai juga cerdas di panggung kehidupan, filsafat menyerupai tokoh tua yang suntuk membolak-balikkan buku di perpustakaan, agama jadi seorang pertapa yang kadang keluyuran ke pasar.

Ilmu perbintangan mewakili peramal yang manjur menyingkap hijab, kimia bersandiwara pesulap tak kalah hebat, matematika bagai guru kolot, sedang fisika mewakili aktor pemahat.

Sejarah adalah naskah sedang dimainkan, bisa berubah sesuai keinginan sutradara, dan puisi hampir mendekati penari yang menghiasi setiap pertunjukan.

Membuka dunia Schiller; penari atau puisi tiada belenggu baginya, memainkan tarian lincah tak ada penghalang kaki-kaki, andai tempat duduk penonton dibagi dua, tetap mampu menguasai letak pementasan.

Aktor yang menghaluskan persoalan panggung kehidupan, tiada kehendak memberi ceramah tapi warna lintasannya menebarkan pengertian, kembang ditaburkan dalam gerak beredar di ubun-ubun pengunjung.

Barang siapa terima senyumannya diperoleh keharuman pesona bukan menghantar terlena, ke pemahaman tiada terasa hati hadirin berbunga, tepuk tangan tak disengaja serempak berpaduan suara mengalung kharisma.

Nalarnya digerakkan kalbu ditarik kekuatan semesta, gemulai kata-kata membebaskan jiwa jahiliah, tubuh terus berpusar bagai tarian balet beraliran mistik memikat, tak ada kedipan mata meski lelap sedetik.

Menerbangkan selendang naluriah melampaui angan orang di gedung pertunjukan meleburkan diri, seakan dibetot kesilapan menjauhkan tubuh sedari bayangan.

II
Kelebatan selendang berwarna-warni menggayuh cakrawala panggung kesaksian, cahaya dan gelap bersimpan daya suatu saat rasuki jiwa meresapi sukma sepi, orang-orang melihatnya pun merasai.

Begitu pula menarikan tarian pedang, disayatnya hati penyaksi atas kilatan berlesatan, suara petir berbenturan lempengan faham yang hendak sempurna.

Pembaca mendedah betul permainan kata meski menusuk rongga dada diberi kerelaan, artinya diwedarkan alunan kalimah dicecapnya bibir haus kuluman hangat indrawi.

Yang tiada tampak dipunggah ke lautan firasat, dijejaknya kesadaran gemerincing binggel kaki penari mengalun lagu diam, gemulai memabukkan.

Ketika memuncak hening, dinaya meruah menyirap mata, bibir-bibir terkatup takjub tak tersangka dari bathiniah terbebani hayat menggila, perih perasaan pedihnya mendera, diperasnya demi temukan intisari karya.

Panggung lenyap wujud lembaran kertas musnah, tinggal tetembangan kata melukis makna lekukan tubuh melupakan segala kecuali peleburan, asyik menjelajahi bulir hujan setiap tekukan, selenggok perayu menyirap turut serta pribadi rahasia.

Kematangan hari silam menuai ajaib berulang, kala puisi menarikan awang-uwung kemungkinan, lebur pemahaman ke pusaran hidup berkesungguhan.

III
Penari maupun puisi sama-sama miliki linuwih, tangguh seimbangkan diri mengolah tubuh berkata, mendedah perikehidupan lewati latihan berulang, memilih tepat guna ke alunan nada gerakan luwes.

Di sini jiwa permai Schiller mencecap manisnya, watak ampuh pujangga menembangkan kalimah, melatih otot tekukan kata membolak-balik jasad anggun seirama jiwa dendangkan bathin tak mau berpisah.

Sedari peristiwa sejuk hangat tengah bergulir, luapan keharuan tubuh kesegaran, nafas-nafas keluar masuk kefitrian niscaya.

Tiada mampu halangi ketika tarian menderas kata membelukar padat, bunga nilai hentakan pinggul penari atas goyangan mengharu sebait menyentak menyentuh birahi.

Membujur dalam keintiman, alam panggung dirinya, puisi bersama maknanya, penyair berjiwa kelana, bayu kehidupan gerakkan dinaya memulangkan terperih menuju muara.

Schiller menikmati surgawi berpuisi, penari meneguk kelezatan badani melantak panggung seolah malam-malam baginya semata.

One Reply to “Friedrich Schiller (1759-1805)”

Leave a Reply

Bahasa ยป