Gus Dur dan Buku

Saiful Amin Ghofur *
jawapos.com

SUATU sore, ketika senja merambah cakrawala di Jalan Matraman Kecil No 8 Jakarta, Nyai Sholehah kelimpungan mencari Abdurrahman ad-Dakhil. Putra sulung yang tempo itu berusia belasan tahun tersebut tak kunjung muncul. Ternyata, tak berapa lama Gus Dur (kecil) itu menyembul. Kepada ibunya, dia berkilah tak ke mana-mana, melainkan sejak semula membaca buku di balik daun pintu.

Cucu KH Hasyim Asy’ari -pendiri ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama- tersebut sejak kecil memang fenomenal. Zainal Arifin Thoha dalam Jagadnya Gus Dur (2003) menyebut Gus Dur adalah enigma. Gus Dur merupakan satu-satunya sosok yang sepanjang sepak terjang hidupnya selalu dikawal teka-teki dan diselubungi misteri. Sering perkataan dan perilakunya membuahkan kontroversi. Tetapi, diam-diam tak sedikit yang mengamini bahwa Gus Dur dianugerahi kecerdasan futuristis. Sehingga, apa pun kontroversi yang mengemuka diyakini perlahan-lahan dan kelak terkuak kebenarannya.

Bila dirunut ke belakang, enigma Gus Dur bermuara pada keluasan pengetahuan dan wawasan keilmuan dari hasil pergulatan dengan buku. Gus Dur dan buku bertumpu menjadi satu, ibarat dua gambar dalam sekeping mata uang logam yang nyaris tak bisa dipisahkan. Saat ditegur ibunya agar sering-sering bermain bersama teman dan tidak melulu berkarib dengan buku, sontak Gus Dur berseloroh, “Dengan membaca buku, kelak temanku seantero dunia.” Maka, tepatlah Gola Gong (2006) menilai, hanya dengan bukulah dunia bisa ditaklukkan dengan mudah.

Keakraban Gus Dur dengan buku membudaya sejak usia belia. Di usia SD, kebanyakan teman seumurannya masih takjub dengan permainan masa kanak-kanak yang riang di waktu senggang, tapi tidak demikian Gus Dur. Kalau punya waktu luang, dia pasti membaca buku. Bu Aliman, salah seorang guru Gus Dur saat SD, sangat jeli melihat potensi yang laik dikembangkan tersebut. Oleh Bu Aliman, Gus Dur disarankan mulai belajar menulis. Menulis apa saja yang berseliweran di pikiran. Tak percuma, ketika ada lomba mengarang se-Jakarta di beranda 1950-an, esai Gus Dur bertajuk Pengalamanku tampil sebagai pemenang dengan hadiah Rp 75 dan dua pasang pakaian. Hadiah tersebut waktu itu sudah terbilang mewah.

Setamat SD, Gus Dur dikirim Nyai Sholehah ke sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Gowongan, Jogjakarta, seraya menimba ilmu kepada KH Ali Maksum di Pesantren Krapyak. Di Kota Budaya itu, pergelutan Gus Dur dengan buku menggila. Di mana ada Gus Dur, di situ mesti ada buku. Seolah Gus Dur melakukan perlawanan. Mendobrak kultur bisu pesantren yang melulu mendaraskan kitab kuning sebagai bacaan utama. Bisa jadi, itu tuah dari namanya, Abdurrahman ad-Dakhil, yang berarti Abdurrahman sang pendobrak. Gayung bersambut. Suatu ketika, setelah ngaji sorogan, Kiai Ali berpesan, “Kamu boleh belajar seluas-luasnya. Jangan takut. Buku apa saja boleh kamu pelajari biar pandanganmu tidak sempit.”

Serasa mendapatkan suntikan semangat, hasrat Gus Dur terhadap buku berlipat. Apalagi, di SMEP Gus Dur mampu memagut simpati guru bahasa Inggris, Bu Rubiah, tidak semata-mata disebabkan kecakapannya, melainkan kepiawaian berbahasa Inggris yang rutin diasah dengan mendengarkan siaran pelajaran bahasa Inggris dari Radio Suara Amerika dan BBC London. Melalui Bu Rubiah yang juga anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu, Gus Dur berkenalan dengan buku-buku kiri berbahasa asing. Mulai buku berukuran tambun hingga berhalaman ramping.

Sebut saja, misalnya, novel Captain’s Daughter karangan I. Turgenev, For Whom The Bell Voice tulisan Ernest Hemingway, atau La Porte Etroite karya Andre Gide. Selain novel, Gus Dur melahap habis buku politik-sosialis, seperti Romantisme Revolusioner buah pena Lenin Vladimir Ilych, Das Kapital karya Karl Marx, senarai pemikiran Lenin bertudung What is to be Done?, serta beberapa jilid buku The Story of Civilization karya Will Durant. Membaca buku-buku tersebut tak berarti tiada kesulitan menghadang. Tapi, bukan Gus Dur bila bergegas patah arang. Beberapa kamus bahasa asing tebal selalu setia mengawalnya.

Pengembaraan Gus Dur di belantara kata kian menemukan habibatnya ketika menyusuri rerimbun buku di pasar loak Jogjakarta. Di sana, dia bersua dengan pemikiran banyak penulis besar dunia. Misalnya, Gramsci, William Faulkner, Ortega Y. Gasset, John Steinbeck, Johan Huizinga, Andre Malraux, William Bochner, Mao Ze Dong, Aristoteles, Plato, Socrates, A.S. Pushkin, Dostoevsky, Trotsky, Leo Tolstoy, dan Mikhail Sholokhov.

Berbekal pengetahuan yang makin membuhul, terampil mengolah kata dan menggerakkan pena, Gus Dur kian lincah. Membaca dan menulis selalu disetimbangkan. Membaca ibarat makan dan menulis adalah sambalnya. Maka, tak heran tradisi baca-tulis Gus Dur yang penyuka makanan pedas itu oleh Wimar Witoelar dikomentari singkat: you can not eat sambal without the food. Selain itu, ulasan Gus Dur terhadap novel-novel karya Faulkner menjadi tonggak tulisan pertama yang dimuat di media massa.

Di altar 1963, Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir. Selama perjalanan, Gus Dur menamatkan buku The Age of Jackson karya Arthur Sclensinger Jr. Tapi sayang, asa kuliah di Universitas Al-Azhar bertepuk sebelah tangan karena ijazah pesantrennya tak diakui. Gus Dur tak kehilangan akal. Dia memulaskan hasrat pengetahuan dengan berselancar di atas samudera buku perpustakaan Universitas Kairo, perpustakaan USIS Kedubes Amerika Serikat, dan perpustakaan musik.

Penjelajahan dunia buku yang begitu lempeng membuat Gus Dur laiknya perpustakaan berjalan. Dia tak menyesal cita-cita menjadi tentara yang diimpikan sejak kecil pupus karena berkacamata minus. Dia menggubah haluan: ingin menjadi guru. Guru bangsa seperti Ki Hajar Dewantara dan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari. Gus Dur dan buku memang menyatu. Bahkan, dalam kondisi kritis sebelum meninggal Rabu (30/12/2009), dia masih merajut buku. Tapi, karena fungsi indra penglihatan jauh berkurang, Gus Dur minta diperdengarkan audio book.

Buku-buku itu pula yang membentuk kepribadian Gus Dur. Sekadar tamsil, penghayatan terhadap sosok biarawati Alissa, lakon utama novel La Porte Etroite karya Andre Gide yang menyerahkan diri kepada Tuhan dan menghambakan hidup untuk menolong orang banyak, menginspirasi Gus Dur untuk bersikap serupa. Gus Dur tidak hidup untuk diri dan keluarga, melainkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan membela hak-hak kaum minoritas yang tertindas.

Itulah jawaban kenapa saat pemakaman Gus Dur di Pesantren Tebuireng pada pengujung 2009, ratusan ribu orang lintas agama dan keyakinan tak mengenal sekat, pejabat dan rakyat bercampur baur dan tertumpah ruah. Mereka larut dalam duka. Meski Greg Barton telah meretas Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, sosok Gus Dur sepenuhnya belum tereja. Sebab, Gus Dur adalah buku itu sendiri yang tak pernah tuntas dibaca.

Gus Dur secara fisik memang telah pergi. Diiringi doa dan air mata, dia meninggalkan segala yang dicintai dan semua yang mencintai. Dia mewariskan jejak-jejak keteladanan yang perlu ditapaktilasi. Namun, pada hakikatnya, Gus Dur masih hidup. Hidup di dalam hati. Setidaknya, itulah yang saya rasakan kala terseok-seok meruyak desakan kerumunan pentakziah dan bersimpuh di hadapan tanah merah makam yang masih basah.

Selamat jalan, Tuan Guru Bangsa!

*) Gusdurian dan Redaktur Jurnal Millah MSI UII, Jogjakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป