Herta Muller, Ancaman Maut sampai Nobel Sastra

Yulia Permata Sari
mediaindonesia.com

PARA juri Nobel memuji karya-karya Herta Muller yang dianggap mampu menggambarkan pemandangan hidup kaum miskin dalam penindasan, kediktatoran, dan pengasingan, melalui keterusterangan puisi dan prosa. Sebagian besar kisah novel, esai, dan puisi tersebut berasal dari pengalaman pribadi kehidupannya sendiri.

Ia pernah diancam pembunuhan yang dilancarkan padanya di negara asalnya Rumania berpuluh tahun silam. Namun hal itu rupanya tidak mampu menghentikan sepak terjang penulis satu ini dalam berkarya. Herta Muller, novelis Jerman yang menolak menjadi informan bagi polisi rahasia Securitate di bawah rezim totalitarian Ceausescu tersebut, mampu membuktikan diri sebagai salah satu dari 12 perempuan dalam masa 108 tahun yang berhasil memenangkan hadiah Nobel Sastra 2009.

Dilahirkan pada 17 Agustus 1953 di sebuah kota berbahasa Jerman, Nitzkydorf, di Banat, Rumania, Muller merupakan anak dari pasangan suami istri anggota minoritas berbahasa Jerman di Rumania. Ayahnya pernah bertugas di Waffen SS selama Perang Dunia II. Sementara ibunya sempat menghabiskan masa lima tahun di sebuah kamp pekerja di Ukraina, ketika terjadi pendeportasian besar-besaran etnis Rumania Jerman di Uni soviet pada 1945. Bertahun-tahun kemudian, Muller menggambarkan peristiwa pembuangan etnis Rumania Jerman ini di dalam buku berjudul Atemschaukel (2009).

Pada 1973-1976, Muller sempat mendalami berbagai literatur Jerman dan Rumania di sebuah universitas di Timisoara (Temeswar). Selama periode ini, ia dikaitkan dengan Aktionsgruppe Banat, yakni sebuah lingkaran penulis muda berbahasa Jerman yang mencari kebebasan mengemukakan pendapat di bawah kediktaroran rezim Ceausescu.

Setelah menyelesaikan studinya, Muller bekerja sebagai penerjemah di sebuah pabrik mesin sejak 1977-1979. Ia lantas dipecat dari pekerjaan tersebut ketika menolak untuk menjadi informan bagi polisi rahasia Securitate. Setelah itu, kehidupan Muller selalu terusik dan ia bahkan pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari Securitate.

Karier menulis

Novelis yang kini bermukim di Berlin itu memulai debutnya pada 1982, lewat sebuah buku berisi kumpulan cerita pendek berjudul Niederungen atau Nadirs, yang menggambarkan kerasnya kehidupan di sebuah desa kecil dengan penduduk berbahasa Jerman di Rumania. Begitu diterbitkan, buku tersebut langsung disensor oleh rezim komunis di negara itu.

Pada 1984, sebuah versi buku yang tidak disensor berhasil diselundupkan ke Jerman, dan langsung diterbitkan serta mendapatkan respon positif dari pembaca. Sementara itu, di negaranya sendiri buku tersebut justru dilarang terbit karena Muller secara terang-terangan mengkritik kediktatoran di Rumania.

Pada 1987, Muller memutuskan beremigrasi ke Jerman bersama sang suami yang juga berprofesi sebagai penulis, Richard Wagner. Meskipun telah meninggalkan Rumania selama lebih dari 20 tahun yang lalu, Muller tetap kembali mencuatkan tema seputar penindasan, pengasingan, dan kediktatoram dalam setiap novel dan puisi yang diciptakan, termasuk di dalam The Appointment, The Passport, dan Atemschaukel.

“Pengalaman yang paling luar biasa bagi saya adalah hidup di bawah rezim diktator di Rumania. Menetap di Jerman yang ratusan kilometer jauhnya, tidak mampu menghapuskan pengalaman masa lalu saya. Aku mengemasi masa laluku ketika pergi, dan ingat bahwa kediktatoran masih menjadi topik terkini di Jerman,” cetusnya.

Saat ini, Muller kerap memberikan kuliah sebagai dosen tamu di berbagai universitas, perguruan tinggi, dan tempat-tempat lain di Paderborn, Warwick, Hamburg, Swansea, Gainsville (Florida), Kassel, Gottingen, Tubingen dan Zurich. Sejak 1995, ia menjadi anggota Deutsche Sprache fur und Dichtung, di Darmstadt. Sejumlah penghargaan yang pernah diraihnya antara lain Critical Prize for Literature (1993), Literature Prize of Graz (1997), Cicero Speaker Prize (2001), Berlin Literature Prize (2005), dan Nobel Prize in Literature (2009).

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *