Judul : Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia
Penulis : Ribut Wijoto
Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur
Tebal : 278 halaman
Cetakan : Cetakan I, November 2009
Peresensi: Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/
?Supaya menjadi suatu ilmu, sejarah sastra haruslah tahan uji.? ?Ju Tynjanov (1927).
Meminjam apologi Ribut Wijoto dalam Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (Pengantar Penulis: Sebab-Sebab yang Tidak Mutlak), jika seorang esais yang bersandar pada teks bisa menempatkan tulisannya seperti seorang pengkotbah, maka seorang peresensi yang juga bersandar pada teks yang dibuat oleh si esais seharusnya bisa menempatkan tulisan resensi esai sastra bak seorang pengkotbah pula.
Pada lidah sang pengkotbah tergores garis keniscayaan. Mereka bisa begitu mudah mentahbiskan banyak sekali klaim, pernyataan, tuduhan, dan pujian. Bersandar pada kitab Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia, maka penulis menyatakan ayat pertama, ?Jangan mengaku mengenal kesusastraan Indonesia tanpa berjabat tangan terlebih dahulu dengan Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia?. Poin pertama.
Buku Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia terbitan November 2009 ini berisi 26 tulisan ilmiah populer Ribut Wijoto. Sebagian besar esai telah dimuat media massa dan beberapa lainnya pernah menjuarai beberapa sayembara esai tingkat nasional. Artinya, mengacu pada data itu, buku setebal 278 ini sanggup mengungkapkan tentang siapa dirinya secara mandiri, tanpa pembelaan siapa-siapa, sekali pun penulisnya sendiri: Ribut Wijoto. Meminjam kembali strategi retorika Ribut, Semoga anggapan saya benar, fakta ini layak menjadi poin kedua.
Kejelian Ribut Wijoto memetakan kondisi kesusastraan Indonesia dikarenakan kebersahajaan bersetia pada kesederhanaan. Secara konseptual, kegemilangan ragam pemikiran besar nan rumit dalam historis perkembangan sastra dunia mampu dikerucutkan dalam bahasa yang lebih akrab, lebih intim, dan lebih karib kepada pembaca. Riuh analogi keseharian ini mudah didapatkan dalam bacaan sebagai alat bantu pemahaman pembaca. Mencoba menolong pembaca yang mungkin terbata-bata ketika dihadapkan pada serbuan makna teks sastra maupun persilangan intektualitas sastrawan kita yang gemar bermain akrobatik. Sastrawan yang tidak pernah belajar memilih menekuni tradisi bentuk kesusastraan yang pernah ditancapkan atau diawali oleh tokoh pendahulu. Dialog provokatif seperti ini tergambar apik dalam esai ?Krisis Kepenyairan Kita?.
Bahan mentah keseharian yang dijadikan proyek tingkatan-tingkatan argumentasi, salah satunya bisa disaksikan pada ?Rahasia dan Godaan Puisi?. Keabstrakan, misteri puisi yang semula merupakan ranah penting bagi penyair dan penikmat seni, kini menjadi sangat penting pula bagi khalayak luas. Awal kata Ajaib! hingga membawa persoalan keabadian menjadi langkah persuasif menarik minat pembaca pada sastra; khususnya sajak. Menyingkap rahasia untuk tahu kebenaran dunia. Siapa yang tak tergoda? Ini memang dipercaya benar bagi para penggemar pemikiran-pemikiran besar kehidupan. Tapi tidak akan menjadi kebenaran untuk orang yang bergelut secara sederhana; yang sekadar menjalani hidup menurut pijakan siklus bertahan hidup dan menanti mati. Bagi mereka, mengurai kebenaran hidup melalui puisi sangatlah mengada-ada. Tetapi ketika sambil bersepakat dengan Baudrillard dan Kierkegaard, kemudian puisi diperikan dengan analogi daya pancar universal seorang gadis, maka rahasia dan godaan puisi menjadi sepenting mencari uang. Banyak esais gagal dalam hal ini, semoga anggapan saya salah, tetapi tidak dalam Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia.
Kecerdikan merumuskan sesuatu dengan konteks kesederhanaan ini bisa dikatakan merupakan keberhasilan. Bila Ribut seorang penyair, Ribut tak ubahnya seorang penyair yang selalu mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Sebisa mungkin pembaca tidak memerlukan deretan referensi. Ini berbeda dengan Nirwan Dewanto yang dikritik sebagai mahasiswa sastra semester pertama oleh Ribut dalam ?Bila Nirwan Seorang Penyair?. Lain juga dengan esai yang lebih sulit dicerna yang bertema sama tetapi dimuat di media massa seperti ?Tanah Tak Berjejak Para Penyair? karya Donny Gahral Adian dan ?Pembelaan Puisi? tulisan Bambang Agung. Meskipun esai-esai tersebut bertema sama, hendak mengatakan pentingnya puisi, tetapi jelas sekali esai-esai Ribut Wijoto lebih bersahaja. Ini poin ke berapa? Entah sudah kewalahan.
Mengacu pada bahasa Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia, penulis menduga buku ini membawa misi pemetaan sejarah untuk kesusastraan Indonesia. Kesusastraan postmodern. Kecenderungan Ribut membahas puisi-puisi Afrizal Malna mengindikasikan bahwa bagi Ribut kesusastraan postmodern dimulai sejak era Afrizal Malna. Karya Afrizal merupakan ikon milenea puitik Indonesia. Afrizalian. Terlepas dari polemik yang bakal muncul selanjutnya atas wacana yang dilontarkan Ribut Wijoto, tetapi upaya pencatatan sejarah secara subjektif ini harus diakui lebih baik ketimbang memberikan kerangka-kerangka periodisasi sejarah sastra dalam garis besar saja.
Merumuskan sejarah bukan hanya berhenti pada teks. Sebab teks hanya salah satu unsur dalam suatu relasi. Instruksi-instruksi yang diberikan ini semakin kentara bahwa menulis sejarah tidak bisa dilakukan oleh peneliti sastra yang bertekun pada teks saja. Terdapat banyak hal yang membuat korpus yang telah ditentukan oleh teks tersebut tidak lagi tertutup, seperti mempertimbangkan relativitas historis, kultural dan perpaduan horison pembaca lainnya. Akan tetapi, setidaknya Ribut Wijoto telah menyelesaikan tugas bahwa setiap generasi memang wajib untuk menulis ulang kejadian-kejadian seni yang ada pada jamannya. Sehingga jika masing-masing perumus sejarah ini disatukan, maka totalitas sejarah sastra dapat dimaknai secara komprehensif.
Akan tetapi, penyusunan sejarah sastra dengan mengandalkan subjektivitas seperti ini memang sangat rentan bantahan. Pasalnya, sama halnya validasi sejarah sastra ini dibentuk dan dipengaruhi oleh selera dan latar belakang subjek. Zaman hidup peneliti, dalam hal ini Ribut Wijoto, juga wajib dipertimbangkan. Kondisi kesusastraan Indonesia postmodernitas maupun kondisi postmodern kesusastraan Indonesia tidak bisa langsung dipahami dalam terminologi pemikiran Ribut Wijoto. Masih banyak karya yang perlu dieksplor dan disoroti untuk menentukan kondisi posmodern kesusastraan Indonesia.
Namun sebelum mengikuti jejak Ribut Wijoto, lebih baik memetakan terlebih dahulu tentang kebenaran sastra Indonesia dan postmodern. Apakah benar pemikiran kritis postmodern telah terlahir dari kungkungan jerat modernitas. Atau apakah postmodern yang dimaksud ialah nama lain dari modern. Ataukah postmodern ialah babak kelanjutan dari modernisme yang menemui jalan buntu. Atau jangan-jangan postmodern sastra Indonesia hanya pengadopsian serampangan dari pengetahuan-pengetahuan di belahan dunia lain yang di sana memang telah mengalaminya dan dipaksakan masuk ke dalam kesusastraan Indonesia.
Ketekunan Ribut Wijoto melihat lubang jadi peluang dan menemukan celah untuk dijadikan berkah ini membuat Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia tampak berisi ide-ide segar, penuh ragam informasi baru dan membuka cakrawala kesusastraan Indonesia. Pada prinsipnya, bahkan kecemerlangan analisa ala Ribut ini bisa dikatakan sebagai salah satu esai terbaik kesusastraan Indonesia. Karena itu, penulis berani meyakinkan kepada pembaca bahwa buku Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia ini merupakan kitab suci sastra yang dapat dijadikan pedoman untuk menjalani jalan bersastra. Karena itu ?Jangan mengaku mengenal kesusastraan Indonesia tanpa berjabat tangan terlebih dahulu dengan Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia?.
Satu hal yang patut disayangkan yakni dominasi Ribut Wijoto dalam buku ini. Tidak adanya kata pengantar dari tokoh-tokoh selain Ribut ini membuat eksklusivitas buku ini seperti belum ada pengakuan, meskipun telah terbukti esai-esai Ribut telah mendapat apresiasi dari media maupun sayembara. Eksklusivitas ini memang membuktikan ciri-ciri kitab suci, asal jangan sampai dibuat-buat sendiri lantas dibaca-baca sendiri. Penulis yakin itu tidak bakal terjadi, karena hal yang indah pasti akan mengundang antusias lebih. Itu pasti.