KARENA TUAN SUKA BUKU KAMI

Oktamandjaya Wiguna
http://www.ruangbaca.com/

Penerbit Malaysia mulai rajin mengimpor buku Indonesia. Indonesia diuntungkan, karena dapat masuk ke pasar internasional. Tapi, pelanggaran hak cipta masih terjadi.

Perempuan berkerudung kuning gading itu mengarahkan seorang pekerja memasang bendera Malaysia di sudut Balai Sidang Senayan Jakarta, pada Rabu, 4 November lalu. Pagi itu adalah hari pertama Indonesia Book Fair ke-29, namun persiapan yang mepet membuat Norhayati Razali belum juga kelar membenahi stand Majlis Buku Kebangsaan Malaysia.

Ini memang kali pertama Norhayati berpameran di Indonesia. Ia tak sendirian, ada rombongan dari empat penerbit negeri jiran itu yang menemaninya. Meski sering bertandang ke Jakarta, bagi editor senior penerbit PTS Millenia, Mohd Ikram Mohammad Nor Wazir, pameran di Indonesia merupakan pengalaman baru. Sebelumnya ia lebih sering berburu buku di pameran buku atau langsung bertamu ke kantor penerbit.

Ikram memang ujung tombak Millenia mencari buku-buku Indonesia untuk diterbitkan di Malaysia. “Budaya kita tak jauh berbeda, jadi best seller di Indonesia bisa best seller di Malaysia,” ujarnya.

Ikram mencontohkan du novel Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, yang meledak di Indonesia ternyata juga digemari pembaca Malaysia. Ikram bercerita, ia juga sempat mengejar hak penerjemahannya. Sayang, ia kalah cepat oleh pesaingnya.

Namun, kekecewaan itu terobati ketika berhasil meyakinkan pemimpin Pesantren Daarut Tauhid, Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym, agar memberikan hak cipta bukunya pada Millenia. Buku karya Aa Gym yang dialihbahasakan dan diberi judul baru, Saya Tidak Mahu Kaya Tetapi Harus Kaya, habis terjual, bahkan Millenia harus mencetak ulang sampai lima kali.

Dalam tiga tahun terakhir ini paling tidak Millenia, yang juga menerbitkan seri novel Laskar Pelangi, sudah bekerja sama dengan penerbit Republika, Mizan, dan Gema Insani Press. Dari penerbitpenerbit ini Ikram paling banyak mengambil buku-buku agama Islam. “Di Malaysia sedang tren buku agama percampuran ajaran tradisional Islam dengan penelitian ilmiah,” kata Ikram.

Minat membeli hak penerbitan buku Indonesia oleh penerbit Malaysia ini mulai meningkat paling tidak dalam lima tahun terakhir. Rata-rata penerbit yang dihubungi Tempo paling tidak pernah dikontak atau sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan penerbitan Malaysia.

Menurut CEO Mizan, Haidar Bagir, yang pertama menjajaki kerja sama dengan Millenia, mendapat cerita bahwa penerbit Malaysia tertarik lantaran alih bahasa dari bahasa Indonesia ke Malaysia lebih mudah dan murah.

Haidar melihat sendiri bahwa Malaysia sebetulnya tak kekurangan buku. Namun, pasar lebih banyak dibanjiri buku berbahasa Inggris yang diimpor dari Singapura, sehingga masyarakat yang berbahasa Melayu kurang memperoleh bacaan yang beragam. “Apalagi membayar penerjemah bahasa Inggris cukup mahal di sana,” kata Haidar.

Salah satu lini penerbit besutan Haidar, Mizan Pustaka, sudah melepas hak cipta sekitar 40 judul buku ke Malaysia sejak 2004. CEO Mizan Pustaka, Pangestuningsih, mengatakan, penerbit Malaysia biasanya mencari buku anak dan buku agama Islam. Mereka membeli hak penerbitan awal sebanyak 3.000 eksemplar.

Namun, tak semua tema Islam bisa diboyong ke Malaysia. “Tema pluralis tak bisa di sana, jadi memang masih terbatas pada buku yang bahasannya konservatif,” kata Pangestuningsih.

Lama-kelamaan Mizan pun bisa membaca selera pembaca Malaysia. Salah satunya tema tentang mualaf, seperti kisah penyanyi Cat Stevens yang memeluk Islam lalu mengganti nama menjadi Yusuf Islam. Mizan pun mulai memesan naskah semacam ini demi menyasar pembaca di negara itu.

Namun, memang mesti ada penyesuaian, misalnya pada ilustrasi. Malaysia tak membolehkan ada gambar wajah sahabat Nabi Muhammad. “Kalau di Indonesia kan masih boleh,” kata Pangestuningsih.

Kelompok penerbit Gramedia juga menikmati tingginya minat penerbit Malaysia terhadap buku Indonesia tersebut. International Marketing General Manager Gramedia Group of Book Publishing, Thomas Nung Atasana, mengatakan bahwa dua tahun terakhir ini sudah lebih dari 300 judul buku yang dibeli hak penerbitannya. “Mereka mengambil dari Indonesia karena secara budaya dan bahasa lebih dekat,” kata Nung.

Dari penerbit Gramedia Pustaka Utama, penerbit Malaysia paling banyak mengambil buku resep masakan, seperti yang ditulis Sisca Soewitomo. Novel teenlit juga menjadi incaran mereka. Sebut saja Fairish karya Esti Kinasih atau Dua Pasang Mata milik Alexandra Leirissa Yunadi.

Namun, pembahasan hak penerjemahan karya-karya fiksi cukup alot. Kadang penerbit Malaysia meminta latar cerita, nama tokoh, bahkan nama pengarang diganti agar “lebih Malaysia”. Gambar perempuan pada sampul pun acap kali diganti jadi berjilbab.

Nung seringkali tak bisa memenuhi permintaan itu lantaran pengarangnya tak setuju. “Semua tergantung pada pengarangnya mau atau tidak,” ujarnya. “Kalaupun harus pakai nama alias, kami berprinsip si pengarang yang harus mengajukan namanya, bukan penerbit.”

Sementara itu, dari anak perusahaan lainnya, Elex Media Komputindo, buku belajar pengoperasian komputer dan internet bagi pemula menjadi favorit penerbit Malaysia. Ada sekitar 50 judul dari seri 101 Tip dan Trik, seri Belajar Sendiri, serta seri Student Guide yang kini beredar di Malaysia. Rata-rata mereka membeli hak cetak sebanyak 1.000 eksemplar.

Penerbit Malaysia biasanya membeli hak penerbitan antara seribu sampai tiga ribu eksemplar. Mereka berani memasang target tinggi hanya untuk karya fiksi. Penjualannya pun sebenarnya masih kalah jauh dibanding Indonesia. Buku yang tergolong laris di Indonesia kini sudah berada di kisaran penjualan antara tiga ribu sampai tujuh ribu eksemplar.

Adapun di Malaysia, kata Nung, buku terbitan Gramedia yang paling laris seperti Change! Manajemen Perubahan dan Harapan yang ditulis pakar bisnis Rhenald Kasali menjadi salah satu buku yang laris di Malaysia hanya sekitar empat ribu eksemplar saja. “Itu lumayan tinggi untuk ukuran Malaysia,” katanya.

Tapi, bukan saja kabar baik yang sampai ke telinga penerbit di Indonesia. Sesekali ada kabar buruk akibat ulah penerbit nakal. Yang paling sering dikeluhkan adalah hilangnya nama penulis asli. Ini dialami Elex Media Komputindo.

Managing Editor Buku Komputer Elex, Vincent Sugeng Hardojo, menemukan pada sampul buku terjemahan di Malaysia yang muncul hanya nama penerjemah, adapun nama penulis aslinya tak bisa ditemukan. “Kami marah betul,” kata Sugeng. “Mencantumkan nama penulis sudah menjadi standar internasional dan kami langsung minta itu diperbaiki.”

Saat Sugeng menegur, penerbit Malaysia beralasan bahwa mencantumkan nama penerjemah membuat buku lebih mudah diterima pembaca lokal. Beberapa buku ternyata akan diikutkan dalam proyek pemerintah atau ditujukan bagi pengguna di instansi pemerintah. “Katanya, kalau memakai nama penulis Indonesia itu susah tembusnya,” kata Sugeng.

Toh, Sugeng bersikeras agar penerbit itu mengubahnya, karena penulis pasti protes jika namanya dihilangkan. Akhirnya, penerbit rekanan di Malaysia itu mengalah dan memasang nama penulis asli di sampul depan yang disandingkan dengan nama penerjemah.

Lain lagi cerita Pangestuningsih. Ia menemukan ada buku milik Mizan yang tahu-tahu terbit di Malaysia, padahal tak pernah ada kontrak kerja sama dengan penerbitnya. “Kami kejar penerbitnya untuk membayar royaltinya,” kata dia.

Mizan, kata dia, juga menjadi lebih berhati-hati saat mengirimkan reading copy atau sampel buku yang diminta penerbit Malaysia. Pangestuningsih akan memilih betul dan dengan rutin dicek apakah yang meminta tersebut jadi menerbitkan atau tidak.

Selain itu, rata-rata penerbit juga mengeluhkan sulitnya mengontrol jumlah pencetakan buku yang dibeli hak ciptanya. Rata-rata penerbit Malaysia memakai sistem beli putus atau membayar di muka untuk mencetak sejumlah cetakan dan jika akan mencetak ulang maka mereka baru membayar lagi royaltinya.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia, Setia Dharma Madjid, mengatakan, pelanggaran hak cipta dan royalti memang menjadi salah satu ganjalan dalam kerja sama penerbit Indonesia dengan rekan bisnisnya di Malaysia. Menurutnya, Ikapi sudah membahas masalah tersebut dengan Malaysia Book Publishers Association (Mabopa).

Rencananya tahun depan Ikapi dan Mabopa akan meneken nota kesepahaman tentang kerja sama penerbitan kedua negara. Isi nota kesepahaman itu terutama soal peningkatan jumlah pertukaran hak penerbitan. “Tapi, kami akan memasukkan klausul perlindungan hak cipta di sana,” kata Dharma. “Jadi, Mabopa wajib mengawasi dan melindungi bukubuku kita yang diterjemahkan di sana.”

Dharma berpendapat bahwa problem yang selama ini menjadi kendala mesti segera diatasi, karena masuknya buku Indonesia ke Malaysia sangat penting bagi masa depan literatur Indonesia. Selama ini, kata dia, agen literatur yang punya peran besar memasarkan buku di skala internasional hanya sampai di Singapura atau Malaysia dan tidak sampai ke Indonesia.

“Masuknya buku ke Malaysia akan menarik perhatian mereka agar menengok ke Indonesia,” ujarnya. “Malaysia itu penting buat batu loncatan literatur Indonesia ke dunia internasional.”

Leave a Reply

Bahasa ยป