Safwan Ahmad
http://www.ruangbaca.com/
Kehadiran buku Indonesia membuat iri orang Malaysia. Harganya murah, tapi kurang tersebar luas.
Suatu hari Mohammad Zaki kebetulan sedang cuti kerja dan bertamasya ke Jalan Masjid India di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia bermaksud mengunjungi Pustaka Indonesia, toko buku milik pasangan suami isteri asal Sumatera yang terkenal memiliki koleksi buku Indonesia terlengkap di kota itu.
Walaupun tidak segencar musik dan film, beberapa buku Indonesia tidak susah dijumpai di Malaysia. Di sejumlah toko buku terpajang beberapa judul populer, mulai dari novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman el-Shirazy hingga Tenggelamya Kapal Van Der Wijk karya Hamka.
Namun, bila ingin mencari buku Indonesia lainnya, orang akan mendatangi Pustaka Indonesia. Toko itu terletak di gedung Wisma Yakin, tepat di seberang Masjid India. Ternyata toko itu sudah tak ada lagi. Papan nama di kaca toko itu kini bertulisan “Fajar Ilmu Baru Enterprise”. Toko itu masih menjual buku, tapi berubah nama menjadi Pustaka Rezeki Harapan.
Agus Salim, pemilik Fajar Ilmu Baru Enterprise di lantai dua itu, menuturkan bahwa tokonya dulu memang bernama Pustaka Indonesia, tapi dipecah dua pada 2005. “Saya bikin Fajar Ilmu Baru Enterprise di lantai dua, manakala abang ipar saya mendirikan Pustaka Rezeki Harapan di lantai bawah saya ini. Tetapi, kami masih dikenal oleh pelanggan kami sebagai Pustaka Indonesia,” kata Agus pada Selasa lalu.
Koleksi buku di toko itu lumayan lengkap dengan buku-buku Indonesia lama dan baru, seperti Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer karya August Hans den Boef dan Kees Snoek, dan Syair Nasib Melayu karya Tenas Effendy serta beberapa buku karya Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Semua buku itu juga diberi potongan harga yang beragam.
“Kami membawa masuk tiga atau empat kali setahun buku-buku dari Indonesia. Setiap kali ke sana kami bawa sekitar 40 ribu buah buku,” kata Agus. “Bukubuku di toko kami 80 persen adalah buku- buku Indonesia. Tapi, kami menjualnya dengan ringgit Malaysia.”
Koleksi yang bejibun itu membuat Zaki asyik berburu buku. “Saya benar-benar kagum dengan buku-buku yang saya jumpa hari ini. Saya tak sedar telah habiskan masa lebih dua jam untuk melihat semua buku yang dipamirkan di kedai ini,” kata dia.
“Kalau ikutkan kehendak hati, memang banyak buku yang saya ingin beli. Akhirnya saya telah membeli sembilan buah buku berharga lebih RM 200 (sekitar Rp 600 ribu). Yang pasti, saya akan datang lagi untuk mencari buku-buku lain!” ujar Zaki.
Tangan Zaki kini sudah memegang kantong berisi buku, antara lain, Islam Agama Kemanusian karya Nurcholish Majid, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaruan Pendidikan Islam karya Prof Dr. H Muhaimin, dan beberapa edisi terjemahan, seperti Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M Naquib Al-Attas karya Wan Mohd Nor Wan Daud, The Structure of Scientific Revolutions karya Thomas S Kuhn, Islam: Agama, Sejarah dan Peradaban karya Seyyed Hossein Nasr, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat & Ma?rifat karya Seyyed Hossein Nasr & William C Chittick.
“Saya benar-benar kagum dan hormat pada minat membaca masyarakat Indonesia. Bayangkan, saya jumpa beberapa judul buku karya Bernard Lewis, Edward Said, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman dan banyak lagi yang telah diterjemah ke Bahasa Melayu Indonesia,” kata Zaki.
Buku-buku ini, kata dia, hampir mustahil dicari di MPH, jaringan toko buku paling luas di Malaysia, apalagi di kedaikedai buku di luar Kuala Lumpur. “Saya rasa rendah diri bila memikirkan koleksi buku yang dijual di kedai-kedai buku di negara kita. Di manakah tahap pembacaan masyarakat kita?” kata Zaki mengeluh.
Wan Ibrahim, pengunjung lain, juga memborong sembilan buku seharga RM 300 (sekitar Rp 900 ribu), baik buku asli maupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu, antara lain, adalah Nurcholish Majid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya karya Adian Husaini, Cita-cita Islam karya Fazlur Rahman, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam karya Hassan Hanafi. “Saya beli juga beberapa majalah Indonesia, seperti Tempo, Islamia dan Hidayatullah,” kata pemuda berusia 28 tahun itu.
Ibrahim rutin berkunjung ke toko ini dua atau tiga kali setahun. “Setiap kali ke sini, saya akan rasa tersentak, malu dan mungkin rendah diri. Begitu banyaknya buku yang dibaca oleh rakyat Indonesia. Kalau tidak ada permintaan, mana mungkin buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia? Begitu banyak juga buku yang belum pernah saya lihat dan saya baca,” kata dia.
Suzana, perempuan Melayu berusia di awal 30-an, juga mengaku sedih terhadap minat baca warga Malaysia yang lebih senang membaca majalah hiburan. “Saya resah apabila menziarahi rumah sahabat atau saudara yang tidak memiliki bahan bacaan buku satu pun,” katanya, meski menambahkan bahwa tabiat membaca orang Malaysia saat ini sudah lebih baik daripada dua dekade lalu. “Tetapi, jenis bacaan apakah yang diminati? Adakah sekadar membaca majalah hiburan dikira sudah mencukupi?”
Wartawan dan kolumnis Utusan Malaysia, Zin Mahmud, pernah menuliskan keberadaan Pustaka Indonesia dalam salah satu tajuk rencana koran terbesar di Malaysia tersebut. “Buku-buku Indonesia meliputi tajuk-tajuk pemikiran yang lebih luas dan mendalam daripada bahasa Malaysia. Terjemahan buku-buku intelektual yang berat-berat dilakukan di Indonesia, walaupun negara itu tidak mempunyai kedudukan ekonomi yang baik,” tulisannya
Zin juga menekankan bahwa harga buku- buku Indonesia jauh lebih murah daripada buku aslinya dalam bahasa Inggris. Malangnya, kata dia, buku itu tidak luas dipasarkan di negerei itu. Di Kuala Lumpur hanya Pustaka Indonesia yang menawarkannya. “Dengan mengikuti kehendak pasaran, kecenderungan adalah kepada buku-buku agama. Tetapi, buku-buku agama mereka jauh lebih berkualiti dan pelbagai dari segi pemikiran,” ujarnya.
Zafri, staf di perpustakaan Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor, Malaysia, mengakui pula kualitas buku Indonesia. Boleh dikatakan, semua perpustakaan dan toko buku di Malaysia mempunyai buku dari Indonesia. Selain bangsa serumpun, kualitas buku-buku tersebut mengalahkan sebagian buku penulis Malaysia,” kata dia.
Selain di Pustaka Indonesia, beberapa pembaca Malaysia, yang didominasi oleh mahasiswa, kadang sampai berburu buku ke Yogyakarta. Bagi mereka, jika Bandung adalah sorga belanja pakaian, maka Yogyakarta adalah tempat mereka berburu buku.
Namun, membaca buku asli dari Indonesia tak sepenuhnya mudah bagi orang Malaysia. Fatimah, mahasiswa program Master Usuluddin di Akademi Islam, Universiti Malaya, Malaysia, sempat tercengang ketika menemukan suatu ungkapan pada buku Membumikan Al-Quran karangan Quraish Shihab, yang menjadi bahan tesisnya. “Apa maksud ‘tandas Rasulullah’ dalam kalimat ini?” tanya perempuan berusia 30 tahun itu.
Bagi Fatimah, dan sebagian orang Malaysia, ungkapan yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia ini berbeda dari pengertian dalam bahasa mereka. Di negeri itu, “tandas” lebih merujuk pada kakus, padahal, bagi orang Indonesia, kata itu berarti “pasti dan tegas sekali”. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa sebenarnya juga mencantumkan makna lain yang serupa dengan bahasa Malaysia, yakni jamban dan pemandian, tapi makna belakangan ini jarang dipakai orang Indonesia.
Perbedaan ungkapan ini kadang membuat pembaca Malaysia tersandung-sandung saat membaca buku impor dari negara tetangganya. Hal ini mendorong beberapa penerbit Malaysia untuk menerbitkan edisi terjemahannya. Peluang pasar ini tentu tak dibiarkan begitu saja oleh para penerbit.
PTS Publications & Distributors Sdn. Bhd., penerbit dan distributor buku terbesar di Malaysia, mengambil peluang ini dengan bekerja sama dengan penerbit dan penulis Indonesia dalam tiga tahun belakangan ini. “Hampir 100 ribu eksemplar setahun hanya untuk buku-buku dari Indonesia saja,” kata direktur pemasaran penerbit itu, Zaharin Mohd Zain.
Grup perusahaan itu didirikan pada 2000 oleh Pn. Ainon Mohd dan Prof. Abdullah Hassan sebagai penasihat. Grup itu kini menerbitkan 300 judul setiap tahun untuk buku dari kategori kanak-kanak hingga novel dewasa, juga bisnis, pendidikan, agama, hingga komik. Bukubuku itu karya pengarang Malaysia maupun terjemahan dari karya pengarang asing dan diedarkan di jaringan toko bukunya yang sebanyak 300 buah di seluruh Malaysia, Brunei dan Singapura.
Menurut Zaharin, dalam bisnis buku, perusahaannya tidak melalui Singapura, tetapi langsung ke Indonesia karena ada kerja sama dengan Gramedia, Mizan dan penerbit lain. “Kami langsung saja ke Jakarta. Di antara proyek kami ialah menerjemah buku penulis Indonesia ke bahasa Malaysia,” katanya. “Kami menerbitkan 50 hingga 100 buku dari Indonesia setiap tahun, tergantung pada permintaan pembaca.”
Zaharin mengaku, salah satu alasan mereka mencetak buku Indonesia adalah karena tingginya permintaan pelanggan dan pembaca di Malaysia dan isi bukunya yang bagus. Dia juga membenarkan sinyalemen bahwa pembaca Malaysia menyukai buku-buku agama karya pengarang Indonesia. “Boleh dikatakan 80 persen adalah buku berunsurkan agama Islam, seperti terjemahan dari kitab-kitab Arab dan novel-novel Islami,” katanya.
Beberapa novel populer Indonesia meledak di negeri itu, termasuk Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. PTS bahkan mendatangkan Andrea pada Pesta Buku Internasional Kuala Lumpur pada April 2008 dan tahun 2009 di Penang untuk mempromosikan novelnya. “Hingga saat ini novel Laskar Pelangi sudah dicetak ulang hingga 10 ribu eksemplar,” kata Zaharin.
Zaharin mengakui bahwa tak semua penerbit Malaysia jujur dalam bekerja sama dengan penerbit dan pengarang Indonesia. “PTS tetap membayar royalti penulis Indonesia sebab kami profesional dan jujur. Tapi tidak dinafikan, ada juga penerbit yang tidak membayar royalti kepada penulis Indonesia. Maaf, saya tidak boleh menyebut siapa mereka itu. Itu etika kami,” katanya.