Alex Suban
http://www.suarapembaruan.com/
Tahun ini genap 25 tahun Garin Nugroho (48) menapaki karier profesionalnya. Garin “tukang” membuat film, begitu ia telanjur dikenal. Lewat tangannya, lahir film-film yang meraih penghargaan di berbagai festival film di luar negeri, termasuk untuk kategori sutradara terbaik, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya.
Opera Jawa (2006), contohnya, meraih penghargaan kategori Best Actress dan Best Sound Track di Nantes Film Festival (2006). Film yang diproduksi SET Film dan New Crowned Hope itu, juga meraih penghargaan kategori Best Composer di Hong Kong International Film Festival (2007). Karya film dokumenternya, Tepuk Tangan (1986), meraih penghargaan Best Education Film dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 1986. Karya dokumenter yang lain, Air dan Romi dinobatkan sebagai karya dokumenter terbaik di Okomedia International Ecological Film Festival, Freiburg, Jerman, 1992.
Sepanjang kariernya, Garin menelurkan 11 karya film cerita, 11 karya film dokumenter, empat klip musik video, lima iklan komersial, 13 iklan layanan masyarakat, dan 11 buku.
Masih panjang daftar aktivitasnya. Di antaranya, menulis di media massa dan menjadi penceramah. Beberapa waktu lalu, Garin juga naik panggung. Ia, bersama pemusik Franky Sahilatua, berkeliling ke berbagai tempat, naik panggung untuk mendongeng di depan beragam publik, bercerita tentang tanah Papua, tentang tanah NTT, tentang kekayaan negeri yang terkikis tanpa menyisakan kemakmuran bagi rakyatnya, dan tentang keberagaman yang tidak juga dipandang sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa.
Tak cukup mendongeng, Garin juga membuat karya lain. Menandai 25 tahun karier profesionalnya tahun ini, ia mempersiapkan karya yang lain dari yang lain. Garin akan mementaskan Opera Jawa di Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, dan di beberapa kota di Eropa, September mendatang. Berbeda dengan film garapannya yang berjudul sama, Opera Jawa ia pergelarkan dengan menggabungkan langendriyan, teater, ketoprak, petikan upacara tradisi, dan seni karawitan.
Era “Post-Cinema”
Garin tidak sedang dalam proses meninggalkan dunia film. Aktivitas barunya itu justru bagian dari proses berkeseniannya. Setiap periode, menurut Garin, rata-rata setiap lima tahun, seorang pencipta dihadapkan pada tuntutan perubahan, baik dalam konsep, teknologi, penciptaan, maupun relasi dengan beragam seni, sosial, politik, serta cara mengonsumsi, menghadirkan, dan berdialog dengan masyarakat.
“Sekarang era post-cinema, era transisi, misalnya dalam teknologi dari digital ke 3D (tiga dimensi, Red). Dalam seni, film sebagai seni ketujuh yang memuat seni sastra, seni teater, seni musik, visual, dan lain-lain, menuntut peran baru sutradara film. Ia juga membuat teater, karya instalasi, dan lain-lain,” tutur Garin.
Garin, sebelum ini, telah mementaskan Opera Jawa sebagai karya teater di Zurich, Swiss, dan sebagai karya instalasi di Munich, Jerman. Kini, ia menghadirkannya sebagai karya opera. “Ini masa post-cinema yang harus dibaca gejalanya,” ia mengingatkan.
Melalui karyanya itu, Garin sekaligus membuktikan tidak terjebak dalam pusaran orientasi pasar, yang acap membuat seorang seniman mandek berkreasi karena sekadar menjadi “mesin”.
Pengalaman bertatap muka langsung dengan Paus Benediktus XVI di Kapel Sistina, Vatikan, November lalu, meneguhkan langkah Garin untuk terus berkarya dengan nurani. “Paus berbicara tentang relasi seni dan kehidupan, serta harapan di tengah dunia yang terpecah-belah. Vatikan berharap setiap artis dengan bahasanya sendiri memberi peran dan kerja pada tugas kemanusiaan, karena seni juga menjadi sarana, bukan sekadar media ekspresi,” katanya.
Ia sungguh tersentuh pesan itu. Sama tersentuhnya ketika ia mendengar lagu Domine, Quando Veneris (Tuhan, Kapan Engkau Datang) karya komposer abad ke-16 Giovanni Pierluigi da Palestrina, yang dilantunkan Paduan Suara Kapel Sistina. “Sangat menyentuh, karena lukisan Michelangelo di atas langit-langit terasa hidup,” ujar Garin , yang mengaku sempat menangis, sekaligus merasa malu ketika mengingat realitas yang terjadi di negeri ini.