Michelangelo (1475-1564)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=372

KEPADA TOMMASO DEI CAVALIERI
Michelangelo

Karena matamu aku melihat cahaya nikmat,
Yang tidak nampak lagi oleh mata sendiri,
Dan walau aku lumpuh, kuberanikan hati
Memikul beban, karena yakin kakimu kuat.

Aku yang tak bersayap, oleh sayapmu terangkat,
Rohmu yang membukakan daku gerbang Firdausi,
Kau sanggup bikin pipiku merah dan pasi,
Panas dimusim dingin, kelu ditengah hangat.

Dalam kemauanmu, bersemi kemauanku,
Pikirku, dadamulah tempat asal-usulnya,
Dan nafasmu berhembus dalam tiap kataku.

Nampaknya, imbangan bulan gelitalah aku,
Yang nun diluhur, hanya tertangkap oleh mata,
Semasih Surya merestunya dengan kemilau.

Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (6 Mar 1475 ? 18 Feb 1564), lahir di Caprese (Casentino), keturunan bangsawan Florence yang meninggal di Roma. Penyair Itali, arsitek, pemahat patung serta pelukis yang terbesar di antara pengikut-pengikut Petrace. Seperti juga Dante, Petrace, Michelangelo pun pemuja kaum hawa; Vittoria Colonna, seorang wanita penyair di jamannya. Sebagai arsitek menciptakan lengkungan gereja San Pietro di Florence, sebagai pematung dikenal atas patung Musa dan Malamnya. Buah penanya terpenting; Surat-surat peninggalan juga sajak-sajaknya kian terkenal atas terjemahan Rainer Maria Rilke {dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}.
***

Sebagai pelukis tentu peka bau-bau angin menghantar kabar, warna ditangkap bola mata memojokkan pribadi lebih terbuka.

Gelap terang jadi ukuran sebab bayang getarkan jiwa, kebahagiaan diresapi atas penampakan visual pun non indrawi puitik.

Entah apa dibayang, kala melihat langit biru dipenuhi lukisan awan senantiasa hidup sedari jaman ke jaman.

Kalbunya menerima bagaimana hingga hentakkan arsiteknya lebih sedari penalaran perubahan masa.

Konsepnya melampaui bentuk keseimbangan wujud ombak atas gravitasi, masa mendadak berhenti kala dilemparkan yang tak terkira.

Tiap detik-detak pahatan menggiring hentakan khusyuk berpacu, nafas diatur taksiran matang padatan pengalaman ditempuh.

Burung-burung menjelma angin, lelukisan manusia meruh peristiwa sejarah dikekalkan keindahan kisah.

Musik pengetahuan kah terpantul di sana?
Atau tengah menggubah impian malam bertaburan gemintang, ketika sulit berucap saksikan ketinggian derajat Keilahian.

Kesabaran keuletan, ketekunan tak henti diterjemah santun paling lembut, telaten juga cekatan.

Seakan bola matanya terbuat kristal ajab berdaya menyirap segala menjadi.

Di simpannya dalam tubuh lama hingga meledak suatu masa lebih sekadar mewarna.

Jika baca puisi di atas, ada persetubuhan perasaan kokoh, persenyawaan derita rindu guyuran nikmat.

Michelangelo menyatukan daya seninya pada harapan memberat, tatkala kasih tumbuh sehijau daun musim semi mekarlah bunga-bunga hati.

Cahaya ide menghujam kalbu oleh akar-akaran petir sedari kegelapan malam-malam diguyur hujan kelam.

Ada dinaya getarkan jemari melukis kata-kata, serupa berhasrat digambar lebih purna.

Pandangan lembut kejauhan sejantung jiwa, bahan-bahan kekaguman dikelolahnya melampaui realita.

Kelumpuhan di antara mendekati atau dirinya tengah diserap obyek sendiri, dalam keintiman menggejolak.

Sayap-sayap tumbuh tiba-tiba tatkala hasrat kuasa membeletat sarang warangka iman, dan ruh saling berpadu membuka rerahasia.

Pada puncaknya rasa malu, rindu abadi dikupas senyuman lugu, kuluman demi hanyut ke binaran cahaya, menerjemahkan musim kekekalan karya.

Memaknai leliku percumbuan bentukan tertelan adalah kesungguhan tak habis ditandas bagai kicauan burung di belantara.

Ketika ruh saling mengikat, takdir serupa stupa jauh menunggu, ruang waktu tak terangkum maksud tapi melewati kebesaran nafas.

Panas dingin kekalkan bathin digayuh hangat, meretaskan harapan terlupa menjadi terangkat.

Ketika kemauan sama berpeluk, seumpama pisau pada dinding terpahat, kanvas bersama kuas juga cat, hadir keindahan bentukan nafas-nafas menyatu.

Naluri perasaan diterbangkan akal memaknai yang tengah bergejolak, nafasan kata melebihi sapaan.

Desah angin panjang mengangkat kabut ketinggian, bentuk ciptaan berharap terlukis dimasa-masa ranum.

Guna bertahan pemaknaan melebur perubahan jaman, gurat keaslian terjaga, demikian seni menahan hasrat melampaui jaman.

Dan mempercayai matahari keabadian di ufuk senja, meski malam tak mau beranjak dari tidur rembulan.

Ada kepasrahan pahit kegetiran tertangkap, hanya diri berusaha mengimbangi cahaya tetap memberi dinaya.

Di sini hidup bergantung pada akhirnya pendekatan rupa diterjemah.

Hakikat bermunculan faham-faham aliran ke muara luhur, berkilau demi keelokan jaman sesudahnya.

Dan ketika ada tanya, di situ kehadiran bersinggah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *