Ismi Wahid
tempointeraktif.com
Wahai pelayar malam
Tiga kapal karam
Masa mendendam
Apa lagi yang kau pendam
Sebelum semuanya tenggelam…
Ananda Sukarlan bukan seorang penyair. Namun pianis muda itu memiliki sensibilitas tinggi terhadap puisi. “Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik,” katanya. Malam itu, di konser tunggalnya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang bertajuk “Libertas”, ia memusikalisasi puisi-puisi yang menyentuh hatinya.
Petilan puisi di atas berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu. Puisi karya Hasan Aspahani itu mengingatkan kita pada mahabencana tsunami lima tahun silam. Musik mulanya mengalun runtut dan datar di indra telinga. Cara Ananda menafsirkan puisi ini menarik. Tiba-tiba piano yang dibawakannya secara trio bersama biola oleh Inez Rahardjo dan alto flute oleh Elizabeth Ashford bergemuruh, mengaduk-aduk pada wilayah nada rendah. Lalu berlanjut dengan komposisi yang menyayat. Masing-masing instrumen seperti berucap sendiri, meneriakkan kepanikan.
Lima penari garapan koreografer Chendra Panatan, pada momen itu di panggung riuh berlari ke sana-kemari sambil menggenggam kain panjang. Sebuah ilustrasi akan laut yang bergolak dan orang-orang yang terjebak dalam pusaran itu.
“Karya ini baru pertama kali dimainkan,” ujar Andy–sapaan akrab Ananda. Repertoar yang dipersiapkan selama satu bulan ini dimainkan dalam dua versi tanpa jeda, yaitu instrumen saja, dan vokal yang dibawakan oleh penyanyi sopran dengan karakter suara bening, Aning Katamsi. Meski tonalitas vokal Aning banyak bergulat pada wilayah kromatis, tetap saja liriknya mampu bercerita.
Konser yang diselenggarakan oleh Jakarta New Years Concert 2010 ini dibuka dengan piano solo oleh Ananda dengan membawakan karya Rapsodia Nusantara No. 1. Ini komposisi unik yang mengawinkan dua lagu daerah, yaitu Kicir-kicir dan Si Jali-jali. Warna khas Indonesia yang kaya akan bunyi pentatonis digubah dan dielaborasi olehnya dengan memasukkan komposisi klasik sesuai dengan latar belakang musiknya. Tentu warna Indonesia itu tak lantas tertutup dan hilang.
“Saya ini sastrawan frustrasi. Saya sangat menyukai sastra, tapi tak bisa menulisnya. Yang saya kerjakan, ya, ngobrak-abrik tulisan orang,” ujarnya. Rapsodia Nusantara No. 5 juga dimainkan Ananda dalam konser tersebut. Karya kali ini menggiring kita pada lagu daerah Makassar. Rapsodia Nusantara tercipta atas inspirasi Yazeed Djamin (almarhum). Sebelum meninggal, Yazeed berjanji untuk membuat seri Rapsodia Nusantara yang ditulis khusus untuk Ananda. Yazeed terilhami oleh karya Franz Liszt, Hungarian Rhapsodies, yang berhasil mempopulerkan lagu-lagu rakyat Hungaria ke seluruh dunia. Sayang, ia meninggal sebelum sempat menuliskan repertoar itu. Maka Ananda kemudian menulisnya dengan versi, gaya, dan interpretasinya.
Selain itu, Ananda bermain duet dengan violis Inez Rahardjo pada karya Sweet Sorrow, puisi karya Shakespeare. Lagu ini dibuat oleh Ananda, khusus untuk pianis penyandang cacat, yang hanya memiliki dua jari di tangan kanannya. Sejak 2006, ia memang terlibat dalam proyek pendidikan musik khusus anak cacat di Spanyol.
Rupanya performance itu hanya hidangan pembuka. Diselingi istirahat selama 15 menit, pertunjukan dilanjutkan dengan komposisi Libertas. Sebuah kantata untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia. Komposisi besar ini terilhami oleh karya delapan pujangga besar Indonesia maupun dunia.
Karya ini pernah dimainkan sebelumnya pada Agustus 2009 di Hotel Dharmawangsa. Konser sederhana itu dihadiri oleh Presiden RI. “Konser saat ini memang lebih lengkap instrumennya,” ujar Andy. Bersama Jakarta String Ensemble dan vokal yang dimainkan oleh ITB Choir dan Paragita (UI Choir).
Joseph Kristanto, penyanyi bariton, malam itu mengisi beberapa nomor lagu, seperti The Young Dead Soldiers, Do Not Speak puisi karya Archibald Macleish. Karya ini disandingkan dengan musikalisasi puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi. Banyak pihak menuduh puisi Chairil menjiplak karya Macleish. Tapi tak semacam itu bagi Ananda. Ia berpendapat bahwa Chairil hanya semata-mata terinspirasi. “Ini sangat berbeda dengan menjiplak,” ujarnya. Ananda membuktikannya melalui bahasa musikal dengan pola melodi yang sama pada dua nomor itu. Bahkan ia berani bertaruh bahwa penonton tak akan bisa mengidentifikasinya.
Dan betul, begitulah yang terjadi. Meski polanya sama, tetapi tema lagu itu tak berkaitan dan sangat samar. Seolah-olah dua lagu tersebut berbeda satu sama lain. Itulah yang ingin disampaikan Ananda bahwa dua puisi bisa saja bertema sama, tetapi pilihan kata, struktur, maupun ritmenya bisa saja berbeda. Sama-sama eksis.
Puisi karya W.S. Rendra (almarhum) yang berjudul Ia Telah Pergi juga tak lolos dari incaran Ananda. Karya itu menjadi nomor terpendek karena berdurasi kurang-lebih 30 detik saja. Selain itu, nomor-nomor lain yang tak kalah memukau adalah Kita Ciptakan Kemerdekaan, puisi karya Sapardi Djoko Damono. Lalu ada Palestina karya Hasan Aspahani, Bentangkan Sayapmu, Indonesia! karya Ilham Malayu, I Understand the Large Hearts of Heroes karya Walt Whitman dan A Un Poeta Muerto karya Luis Cernuda.