Orang Besar

Indra Tranggono *
jawapos.com

ADA pertanyaan yang mengusik jiwa ketika duka itu tiba. Kenapa manusia besar dan baik dipanggil Tuhan lebih cepat? Rendra, Gus Dur, Frans Seda, Munir, dan lainnya ”begitu cepat” meninggalkan bangsa yang selalu didera derita ini.

Tentu, pertanyaan itu bernuansa egois. Tuhan selalu punya perhitungan sendiri. Dan, maksud Tuhan selalu baik. Maka, kita pun harus ikhlas melepas manusia-manusia besar itu meski dada terasa sesak.

Siapa pun berhak memberikan tafsir atas teks manusia besar. Manusia besar dapat dimaknai sebagai manusia yang mampu melampau dirinya: dari individu menjadi ”institusi” nilai yang menjadi rujukan bagi kehidupan kolektif manusia. Proses melampau diri itu terjadi melalui peminggiran kepentingan individual untuk mengutamakan kepentingan sosial, bangsa, kemanusiaan, dan peradaban. Dia mendudukkan kepentingan dirinya hanyalah bagian sangat kecil dari kepentingan besar masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, dia terhindar dari nafsu untuk meminta dan memiliki atau memperkaya diri. Dia bahkan selalu berusaha memberi. Dia jauh lebih mementingkan kewajiban daripada hak. Untuk itu, dia rela mengubur pamrih-pamrih pribadinya demi kepentingan yang lebih besar dan bermakna bagi kehidupan sosial.

Gua Pertapaan

Manusia besar selalu menempuh jalan asketis atau sikap menahan diri dari semua godaan duniawi. Asketisme merupakan ”gua pertapaan” untuk menempa kepribadian serta mengasah ketajaman batin dan intelektual. Di ”gua pertapaan” itu, dia tidak sedang melarikan diri, melainkan justru melakukan dialog, bahkan pertarungan nilai-nilai. Sejarawan Sartono Kartodirdjo memaknai asketisme sebagai jalan untuk mesu budi atau menggembleng jiwa, spiritualitas, dan intekektual.

Dalam konteks pemahaman Sartono, asketisme juga dapat dimaknai sebagai ”tempayan” besar tempat manusia menggodok cita-cita sosialnya menjadi idealisme; menggodok sikapnya menjadi integritas; menggodok seluruh keprihatinan sosialnya menjadi komitmen; serta menggodok potensi dan talentanya menjadi kemampuan. Dengan integritas, komitmen, dan kemampuan itu, dia menawarkan nilai pembebasan kepada publik yang sedang ditawan ketidakberdayaan akibat tekanan struktur dan kultur.

Manusia besar tidak punya ambisi menjadi besar atau menjadi hero. Dia menjalani kehidupan secara wajar, namun mampu memilah dan memilih berbagai tawaran nilai yang disodorkan kepadanya. Dia selalu teguh memilih nilai yang substansial di antara guyuran hal-hal artifisial. Karena itu, manusia besar sering juga disebut manusia substansial. Hidupnya ”menginti” atau ”inti” (nilai) adalah hidupnya itu sendiri.

Manusia yang mendasarkan diri kepada substansi adalah manusia yang telah menjatuhkan pilihan kepada kekuatan roh, bukan kepada kekuatan badaniah. Roh itu abadi, sedang badan itu fana, rapuh, dan mudah hancur diurai bakteri. Roh berposisi subjek aktif: ia menggerakkan dan memberi orientasi badan untuk selalu transenden; sebuah jalan yang menyelamatkan badan dari kehancuran yang tidak semestinya (sesuai fitrah) akibat kerakusan dan penyimpangan lainnya.

Manusia yang memuliakan kehidupan roh akan menemukan kemuliaan kehidupan. Sedangkan manusia yang memanjakan badan akan menemukan kejayaan lendir dan daging, namun rohnya kurus dan menggigil kesepian.

Manusia-manusia besar -Gus Dur, Rendra, Frans Seda, Munir, dan lainnya- selalu memuliakan roh. Roh itu bisa kita baca sebagai nilai kemanusiaan, keadilan, demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan nilai fundamental lainnya. Roh itu menjaga badan (baca: masyarakat, bangsa, atau negara) agar selalu memiliki kematangan spiritual dan kecerdasan dalam menentukan setiap pilihan sehingga tidak terjebak pada kalkulasi kepentingan sesaat dan kubangan nilai yang mendangkalkan jiwa.

Kebangsaan dan Kemanusiaan

Dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan, mereka tidak pernah bosan membentangkan horizon harapan di tengah berbagai persoalan yang mengepung bangsa ini. Rendra menyebut horizon harapan itu sebagai ”daya hidup” yang menjadikan manusia tetap ”gagah dalam kemiskinan”. Rendra memandang betapa pentingnya karakter dan martabat bagi sebuah bangsa. Bangsa yang berkarakter dan bermartabat selalu mandiri, berdaya cipta, dan selalu terobsesi pada kualitas peradaban. Bukan bangsa konsumen yang hanya bisa menadahkan tangan dan mengangakan mulutnya.

Gus Dur menerjemahkan horizon harapan itu melalui empat prinsip nilai yang digenggamnya dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme/multikulturalisme, dan kemanusiaan. Empat prinsip itu adalah kedaulatan hukum, pemberantasan korupsi, pengutamaan asas keadilan, dan kesadaran melakukan perubahan (wawancara Metro TV).

Frans Seda menerjemahkan horizon harapan itu menjadi keadilan ekonomi. Dia membangun sistem ekonomi bercorak kerakyatan agar setiap warga negara dapat menemukan hak-hak untuk bernapas: hak mendapatkan penghidupan layak, hak mengembangkan usaha, dan seterusnya.

Munir menerjemahkan horizon harapan sebagai bentuk pembelaan atas hak asasi manusia. Baginya, setiap manusia bukan hanya memiliki hak hidup, namun juga hak untuk berserikat, hak berpendapat, hak mengembangkan diri, hak mengembangkan cita-cita sosialnya, hak mengembangkan kebudayaan, dan seterusnya. Negara harus menjadi fasilitator yang baik, bukan justru mengintervensi dan menekan warga negara agar melakukan hegemoni demi kepatuhan. Munir yang bersosok kecil ternyata memiliki keberanian yang luar biasa, termasuk melawan hegemoni militer. Perjuangan Munir sangat menggetarkan.

Satu per satu manusia besar Indonesia berpulang. Roh mereka terbang ke alam keabadian, ke pangkuan Tuhan. Sementara problem sosial, kebangsaan, dan kenegaraan terus mengepung kita. Mungkin, akan terus lahir manusia-manusia besar yang berani mempertaruhkan seluruh hidupnya demi cita-cita kemanusiaan, sosial, dan kebangsaan.

Namun, diam-diam kita merasa cemas. Di tengah penguatan pragmatisme dan materialisme sekarang, bangsa ini cenderung memilih jalan soliter daripada jalan solider. Masyarakat yang soliter cenderung berpikir untuk dirinya, keluarganya, atau kelompoknya (kroni-kroninya). Mereka kurang menganggap bahwa orang-orang lain (the others) juga punya hak hidup yang sama. Mereka cenderung terobsesi menjadi manusia sukses, bukan manusia besar. Ukuran sukses tak lebih dari benda-benda dan citra diri yang dimilikinya. Mereka lebih memilih ”memiliki” (kebendaan dan citra) daripada ”menjadi” sebuah eksistensi (istilah Erich Fromm). Inilah salah satu ”PR” kebudayaan bangsa ini.
***

*) Indra Tranggono, pemerhati budaya.

Leave a Reply

Bahasa ยป