Pergulatan Wartawan dalam Berita dan Cinta Segi Tiga

Hendri F Isnaeni*
http://oase.kompas.com/

Tahun Vivere Pericoloso (TAVIV) adalah judul pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1964. Ungkapan bahasa Italia, Vivere Pericoloso berarti ?hidup dalam situasi berbahaya?.

Keadaan genting itu dijadikan latar cerita novel oleh seorang produser penyiaran di Australian Broadcasthing Services (ABS), Christoper Koch. Novelis kelahiran Hobart tahun 1932 ini menulis novel berjudul The Year of Living Dangerously pada tahun 1978. Setahun kemudian, novel ini dianugerahi National Book Council Award for Australian Literature. Novel ini terinspirasi oleh pengalaman kakaknya, Philip Koch, sebagai wartawan Australia di Indonesia.

Novel ini kemudian diangkat ke layer lebar dengan judul yang sama, The Year of Living Dangerously. Film drama romantik ini menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta pada tahun 1965, sebelum hingga saat meletusnya Gerakan 30 September. Karya layar lebar ini disutradarai oleh Peter Weir, dan dirilis pada tahun 1982.

Film ini dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson (Guy Hamilton), Sigourney Weaver (Jill Bryant), dan Linda Hunt (Billy Kwan). Melalui perannya di film inilah, Mel Gibson melambungkan namanya di panggung sinema dunia. Aktris Linda Hunt, yang berperan sebagai kontak Guy Hamilton, dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun 1983. Ini adalah Piala Oscar pertama yang diberikan kepada pemain yang berperan alih kelamin karena Linda Hunt memerankan tokoh pria. Peran Soekarno dilakonkan oleh Mike Emperio.

Pembuatan film ini dilakukan di Filipina, setelah sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia tidak dikabulkan. Di dalam film ini terdapat adegan penembakan massal yang dilakukan oleh pasukan tentara Baret Merah.

Oleh rezim Orde Baru, film ini dilarang beredar di Indonesia karena dianggap menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah. Waktu itu, tidak ada sejarah yang benar kecuali sejarah versi Orde Baru. Larangan ini dicabut pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru berakhir. Kini, setelah sepuluh tahun, cerita tersebut hadir di tengah-tengah kita dalam wujud novel, bukan film. Ini lebih baik baik daripada tidak.

Sejarah mencatat, tahun 1965 merupakan masa di mana Indonesia berada dalam situasi bahaya, sehingga diistilahkan oleh Soekarno dengan vivere pericoloso (hidup penuh bahaya), yang membelokkan arah hidup bangsa Indonesia. Pemerintahan Soekarno membawa Indonesia ke arah ketidakpastian. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang lemah, Soekarno malah menghamburkan uang untuk membangun proyek mercusuar berupa monumen-monumen megah, seraya menyulut api kebencian terhadap Barat dan mengobarkan semangat konfrontasi dengan negara tetangga yang baru-baru ini mengemuka lagi: Ganyang Malaysia!

Sementara itu, di Jakarta yang penuh gejolak, intrik politik saling berkelit dan bahaya senantiasa terendus seperti bau rokok kretek, terkisahlah Guy Hamilton seorang wartawan Australia yang baru dipindah ke Indonesia untuk menggantikan pendahulunya, Potter.

Guy bertemu dengan seorang juru kamera lepas, Billy Kwan. Sebagai bekal Guy dalam mencari berita, Potter mewariskan beberapa daftar ?contact person? yang menurut Kwan tidak akan benyak membantu. Manurut Kwan, yang dicatat Potter bisa dibaca di majalah Time, padahal Time tidak menempatkan seorang pun di Jakarta.

Jika Guy ingin menorehkan namanya dengan membuat laporan berita yang menggegerkan, maka menurut Kwan, contact person yang baik adalah pemerintah dan militer. Sejatinya, contact person yang baik itu adalah Kwan. Kwan adalah mata bagi Guy.

Saat itu, pintu akan ditutup untuk pencari berita dari Barat. Hanya beberapa, seperti Willy O?Sullivan dan Pete Curtis, yang telah mendapat reputasi yang tidak dapat diabaikan, dapat menembusnya kadang-kadang?mereka pun tidak mendapatkannya terlalu sering. Sementara itu, para jurnalis blok Timur mendapatkan lebih banyak kesempatan, dan itu pun semakin jarang. Setelah Soekarno berbicara tentang poros Jakarta-Peking, maka Pekinglah yang menjadi favorit.

Kwan, memberikan kejutan dengan membawa Guy untuk mewawancarai Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua Partai Komunias Indonesia (PKI). Rekaman wawancara dengan Aidit disindikasikan luas di jaringan televisi Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara-negara Eropa Barat.

Di Barat, D.N Aidit tidak pernah terlihat dalam sebuah wawancara yang mendalam. Wawancara itu menjadi subjek komentar banyak koran, serta tebak-tebakan ilmiah para akademisi penyiaran yang mengkhususkan diri di wilayah Asia Tenggara. Aidit sekarang tidak hanya ketua Partai Komunis terbesar ketiga di dunia, tetapi anggota Kabinet inti Soekarno; dan kedekatan dengan Peking adalah kemenangan Aidit. Ini saja sudah akan menjamin daya tarik berita tersebut, tetapi selain itu, Aidit telah memutuskan akan menggunakan hasil wawancara dengan Guy Hamilton untuk memberikan tekanan pada Soekarno dalam pembentukan Angkatan Kelima di Indonesia, yaitu usulan untuk mempersenjatai petani. Ini disebut oleh Aidit sebagai ?Tentara Rakyat?, di samping tiga kekuatan angkatan bersenjata dan polisi yang sudah ada.

Pertemuan pertamanya dengan Jill Bryant, seorang sekretaris di Kedutaan Besar Inggris juga berkat campur tangan Kwan. Belakangan hubungan tersebut memicu tumbuhnya cinta segitiga di antara mereka.

Inilah sebuah drama berliku tentang revolusi, cinta segi tiga, kesetiaan, dan pengkhianatan. Selain itu, novel yang terdiri dari tiga bagian ini bercerita tentang peristiwa politik sepanjang tahun yang penuh pergolakan sampai hari-hari terakhir Presiden Soekarno yang digulingkan oleh coup d?etat militer Jenderal Soeharto menyusul Gerakan 30 September.

Judul: The Year Of Living Dangerously
Pengarang: Christopher Koch
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Tebal: 493 Halaman
Cetakan: I, September 2009
Peresensi: Seorang Peneliti Sejarah PSIK Universitas Paramadina, Peraih Paramadina?The Jakarta Post Fellowship.

Leave a Reply

Bahasa ยป