http://www.facebook.com/dmisharudin
Dewi Anjarwati
Ketika langit pekat
cinta menemui jurang kesendirian
berlari sembunyi di balik batu
menguras air mata tiada henti
bertahun-tahun meninggalkan serpihan hati
dalam kesendirian purna
membangun prasasti diri
dalam dongeng esok hari
Kala perawan terjamah jadi kisah
pengantin mendulang rindu
melawat kekasih muasal berteduh
melawan kesakralan waktu selapan
Anjasmoro pintu tuju;
Gunung Kawi mengucap ragu
angin menderu waktu tertutup pilu
indah nian wajahmu nafsu memburumu
?kecantikanmu menelusup dalam dinding jiwaku,
kan ku petik harum melati di sanggulmu?
mengelagar teriakan Joko Lelono
menghadang jalan pulang
Dewi Anjarwati dan Raden Baron
?tak kan kau dapat menyentuh
buah kisahku, biarlah darahku tumpah.
aku menutup nafsumu?
bersikukuh Raden Baron pada rajutan kisah suci
Tat kala kelelakian berseteru
Batu-batu bersetubuh dengan tubuh
Hantam kepala balas dada
Maut tak dapat diseka
Merangkul keduanya dalam luka
Hutan menjadi saksi tumpah darah
Lelaki gelap mata
Di balik bukit terjal
Dewi Anjarwati jelita
Membangun istana duka menstupa
Kembang melati di sanggulnya
Paras cantik miliknya
Merayu segala dusta
Istana terbangun dalam keheningan
Kesepian mencipta pertapaan
Di guyur deras air di balik kesedihan
Prasasti kejandaan abadi dipahatnya
Malang, 2009
Dalam legenda Dewi Anjarwati adalah janda penunggu Coban Rondo.
Selapan = 36 hari sesudah pernikahan.
Membelah Waktu Beku
Memunguti detak detik berjatuhan. Gadis itu berlahan menghampiri ruang imajiku.
Mengajak membaca butir-butir air waktu di pipinya?sesal adalah makna yang berlalu. Meremasi jemariku, merinding mengingat garis nasibmu?takdir menuntun arah kemana. Pasak telah tertancap dalam?garis jalan menyala redup.
Ruang gelap pekat merambat. Pada detik berhenti kesadaran mengawang ketika pertemuan menunggu. Seklebat cahaya itu tertatap mataku. Tak ada daya tapi masih tersimpan upaya. Merambati dinding basah. Sisa sesal berakhir sudah bagimu.
Kisah-kisah suci mengalun merdu: Musa menghampiri, mengingatkan pada perjumpaan bukit tursina. Maryam mengelus rambutku, membisikkan kasih abadi. Muhammad mengiris rembulan, di antaranya jalan terang. Melempar seutas tali waktu, bergetaran tanganku menggenggam rindu. Seketika lenyap, aku tergugah dalam kehangatan merdu.
Gadis itu mengajakku membelah waktu beku dalam kesadaranku. Garis waktu memadatkan rindu, sebab redup tertutup terang cintamu padaku.