Menjelang Malam Purnama
kutulis sajak ini untuk kesekian kali
menopang getiran tanda tanya
lalu asap rokok bergetir merasuk aortaku
perbincangan di luar hanya sekadar lampu merah
burung-burung bersua, duduk sahaja
andaikan melodi kalbu dapat kudengar
sudah ke seribu malam purnama itu tak akan habis
ruh takkan meninggalkan jasad
dan kata tak mewakili jawaban
kau sudah terlanjur menggenggam siang-malam
bila kesempurnaan tiada menjadi batasan
akan kukayuh perahu bersamamu
menemui pulau tanpa penghuni
mengakhiri laut
bersamamu menjadi dayang-dayang keabadian
(namun ketika purnama usai, segalanya kau ditinggalkan.)
Serang, 2008
Kiranya Angin Enggan Bersemilir Sendiri
kiranya angin enggan bersemilir sendiri
juga musim malas diperpanjang peralihannya
disinikah paraunya rasa
menghangus batasan kesejukan
kaki pun tak berniat melangkah
bumi tak membara
waktu bersengat
diranjang sulit kumaknai bayangan
sebagaimana rautmu kian serupawan cadas
atau air kali
setiap senja, langit bau tanah
dan kau katakan ada rindu mengapung
pada setiap linangan
pelupuk kuyu
sama halnya kita diterpa patahan dunia
memisahkan diri antara impian yang tersisa.
2009
Namamu di Puisi
andai aku bisa memberi
cinta ini lain lagi dengan kebermilikan jiwa
namun jawaban itu sudah kudapat dari
nafasmu yang menghambat sesak udara
sepertinya. Kamu hanya angin.
sekalipun potongan percakapan
kemarin hanya tanya jawab biasa
bahkan bola matamu itu bergelincir
entah kepada pencarian atau seorang wanita
seperti diam ini akan melahirkan
puisi lagi.
barangkali sampai nuraniku kantuk
dibelai terakhirmu
–memabukkan malam-malamku
detik bercabang ke penjuru barat
berhenti di jarak mili di kota gemilang
padahal, aku si gila yang tiba-tiba
ketus memukul ruang dengan kalimat edan
biarlah aku bercinta dengan puisiku
hanya cara ini, aku berteriak namamu.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.