Tajam, Pedih, dan Menggerakkan
Hasan Aspahani
Pewawancara: Ananda Sukarlan
batampos.co.id
Bagaimana dan apa jadinya jika sebuah sajak digubah menjadi sebuah komposisi musik klasik, dan dipadukan pula dengan sebuah tarian? Inilah yang akan terjadi pada tanggal 3 Januari 2010 nanti di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM).
Ananda Sukarlan akan tampil dalam konser bertajuk Jakarta New Year Concert. Ia akan membawakan komposisi yang ia gubah dari sajak Hasan Aspahani “Bibirku Bersujud di Bibirmu”. Chendra Panatan, koreografer bereputasi internasional, akan menghiasi konser itu dengan tafsir lain atas sajak itu lewat gerak tari.
“Bukan hanya judul sajak itu yang begitu menyentuh. Seluruh isi sajak itu tajam, pedih dan menggerakkan!” kata Ananda Sukarlan.
Komposisi “Bibirku” terdiri dari dua sesi: pertama, trio untuk piano, alto flute dan biola. Dan bagian kedua, untuk soprano dan piano. Masing-masing bisa dimainkan terpisah. Chenra tampil di bagian pertama.
Kami tak menyebut tariannya sebagai balet. Karena memang bukan balet. Pokoknya, para penari tampil menyuguhkan gerakan yang kompleks dengan ratusan meter kain properti, yang dengan spektakuler mengesankan gerakan ombak. Ananda Sukarlan bermain dengan dukungan Inez Raharjo pada biola, Elizabeth Ashford pada alto flute, dan Aning Katamsi – penyanyi soprano.
Berikut ini petikan wawancara Hasan Aspahani (HAH), yang juga pemimpin redaksi Batam Pos, dengan Ananda Sukarlan (AS) yang menetap di Spanyol, ihwal kerjasama kreatif mereka tersebut.
HAH: Kenapa ya Anda tertarik dengan sajak itu? Saya ingat saya kirimi Anda buku “Orgasmaya..” Ada sajak “Bibirku… ” di buku itu. Itukah pertama kali Anda membaca sajak tersebut?
AS: Wah, saya lupa dimana pertama kali baca-nya. Mungkin di buku itu, mungkin dari blog sejuta puisi. Yang saya ingat adalah “kortsleting” yang terjadi di badan saya saat saya membacanya. Kadang-kadang kortsleting itu hanya sebentar terus hilang, tapi dalam kasus “BBDB” itu “setruman”-nya cukup lama, bahkan saat saya sedang utak-atik untuk bikin musik, masih saja terasa.
HAH: Kelihatannya susah ya menafsirkan isi sajak itu ke komposisi musik. Apa saja tantangannya?
AS: Yang susah bukan menafsirkannya. Menafsirkannya itu gampang, bahkan saya bisa bilang bahwa proses ini otomatis, karena ada beberapa puisi yang “bunyi” begitu saya baca (puisi-puisi lain adalah seperti “Dalam Sakit”-nya SDD, “The Young Dead Soldiers”-nya Archibald MacLeish dll). Ini tidak ada hubungannya dgn panjangnya puisi ataupun struktur dll… ada puisi yang “bunyi” di dalam diri saya, ada yang tidak.
Yang sulit adalah saat menerjemahkan detail-detail bunyi yang saya dengar. Itu berhubungan dengan teknik komposisinya, bukan penafsiran atau inspirasinya.
Ada bunyi-bunyi yang kompleks, dan tugas seorang komponis adalah menuliskannya untuk “mentransfer”-nya ke para musikus yang nanti memainkan not-not balok itu. Nah, bagaimana supaya bunyi itu bisa direproduksi secara akurat, itu yang sulit. Ini berhubungan dengan progresi harmoni-harmoni yang masih jarang (bahkan belum pernah) saya dengar sebelumnya, dan juga warna dari bunyi itu kan harus ditentukan (oleh karena itu saya menggunakan instrumen alto flute, yang belum pernah dipakai di Indonesia. Mungkin ini adalah karya komponis Indonesia pertama yang menggunakan instrumen ini). Juga hal-hal teknis lain misalnya proses repetitif tapi transformatif dari kata “gelombang”.
Itu sama seperti kalau sedang dibaca: diulang-ulang tapi tidak sama intonasinya, kan? Nah, intonasi itu diterjemahkan ke dalam progresi harmoni kalau di dalam musik.
HAH: Berapa lama menggarapnya sampai merasa selesai, beres, pokoknya sampai Anda merasa ada sesuatu dari komposisi itu.
AS: Ada dua proses: sketching, dan kemudian proses menuliskan detailnya. Sketching-nya cepet banget: 1-2 jam setelah (dan sambil) baca puisi itu sudah kelar.
Sebetulnya setelah saya sketch, baru saya bikin beneran beberapa bulan setelahnya, karena banyak hal yang tidak bisa saya tinggalkan. Dengan sketching inspirasi itu tertulis dan jadinya tidak akan terlupakan. Sejak permulaan saya merasa bahwa ini bukan karya yang kecil (bukan hanya dari segi durasi, tapi juga dari kedalaman dan kompleksitas ekspresinya).
Saya selalu bawa kertas kemana-mana, karena inspirasi kadang-kadang terjadi pada saat yang tidak tepat, dan kalau tidak saya tulis (walaupun hanya secara garis besar) biasanya akan lupa. Nah, penulisan detailnya itu saya kerjakan on and off, di tengah kesibukan lain, dan juga karena faktor bahwa karya ini cukup panjang dan arah-arahnya cukup “unpredictable”. Makanya saya menganggap karya ini penting dalam daftar karya-karya saya (yang sekarang Alhamdulillah jumlahnya ratusan, dan tidak semua sama “pentingnya” buat saya he he…) karena ada konsep harmoni baru yang buat saya sendiri merupakan suatu “discovery”. Ini penting buat saya sendiri dan perkembangan musik saya.
HAH: Bisa sebutkan beberapa contoh karya Anda yang “penting” dan juga yang “tidak penting” bagi perkembangan artistik Anda?
AS: Yang penting adalah “Dalam Sakit” (dari puisi Sapardi Djoko Damono), The Young Dead Soldiers (dari puisi Archibald MacLeish) dan Requiescat (karya instrumental untuk english horn dan string quartet). Karya-karya tersebut buat saya adalah references, atau tonggak-tonggak yang menentukan jalannya nilai-nilai artistik saya selanjutnya. Yang tidak penting misalnya musik saya untuk film “Romeo & Juliet” : itu musik yang “walaupun sekarang menjadi cukup populer di antara banyak sekali pianis yang memainkannya karena melodinya enak didengar- saya ciptakan semata-mata untuk menggambarkan emosi dan latar belakang suatu adegan saja. Juga beberapa lagu-lagu pendek yang saya ciptakan misalnya untuk kado ulang tahun teman-teman, dan sebagainya. Anehnya, seperti kasus film R & J itu, banyak musik saya yang tidak penting buat saya tapi justru yang paling populer…
HAH: Ada juga tarian nanti ditampilkan bersamaan dengan komposisi itu. Kenapa ada kolaborasi begitu? Bagaimana bisa muncul ide memadukan tari dan musik itu?
AS: Saya bercerita tentang musiknya dan kemudian saya mainkan ke Chendra Panatan, koreografer yang saya paling kagumi di Indonesia dan sering bekerjasama dengan saya.
Sebetulnya proses dia sama saja dengan proses saya dgn sebuah puisi. Kalau saya “mendengar” musik dari puisi itu, dia “melihat goyangan” dari musik saya. Ada musik saya yang “menggoyangnya”, ada yang tidak, dan kebetulan “Bibirku” secara visual juga sangat “menonjok”. Koreografi itu memakai gesture-gesture dan gerakan yang sangat besar, sehingga tubuh penari butuh semacam “extensions”, makanya dia akan memakai kain-kain, efek lampu dan lain-lain. Sampai saat ini sih saya belum melihat koreografinya dia (yang masih juga dalam proses, belum selesai), tapi saya yakin efeknya akan sangat luar biasa, bukan hanya sekedar mencengangkan, tapi juga secara emosional sangat dalam.
***