pikiran-rakyat.com
Lukisan Huruf A
Takkan kautemukan Marx, Rumi, dan Kabayan di sini
Dengan wajah yang gatal selain lukisan Dede
Jerami telah menyembunyikan mereka dalam sebuah peti
Lewat kabel-kabel listrik menari-nari dan memaki
Aku makan pisang goreng; seekor semut menuangkan laut di cangkir kopiku
Kau menjelma unta. Doumo arigatou
Kita baca saja kolom-kolom berita menghantarkan kabar
Tangan-tangan buntung, lubang di kepala, seseorang menyedot tinja
Sebuah headline tak biasa: Tentara Pegang Bunga Melati
Disembunyikan di balik punggungnya. Apakah kau masih ingat, De?
Tiba-tiba kau mengaku bahwa dirimu sepi yang datang kemari
Setelah malam ditinggalkan dengan bekas luka di dahi
Untuk apa juga anak kecil itu memeluk gulungan tikar
Sedang di sebelahnya narapidana takut dengan sebuah panci
Gomen. Mungkin harus kuucapkan maaf padamu
Melalui nomor telefon yang hanya tergagap gagu
Andai saja aku bisa mengerti jika kau tak percaya kata
Namun sungguh, kau tak harus belajar lagi memegang pensil
Hanya gara-gara sebuah lelang memakanmu dalam mimpi
Kusorong pisang goreng terakhir. Melarutkan bau anyir
Dan kau tahu, De, semut tadi seperti malaikat yang
menertawakan percakapan kita. Seperti pembantu
yang punya profesi sebagai mata-mata
Lantaidua, 2008
Bermain Boneka -Mut
Dik, mari duduk di pangkuan kakak
Kita main boneka
Biar saja ibu menangkap awan untuk makan nanti malam
dan ayah yang juga sibuk memasang bubu
Dik, mari taburkan kata-kata dalam kubur
Karena ia memang rumah puisi kita
Tulis namamu dengan ilalang dan rasa sayang
Agar batu rip itu tak harus mengaduh akibat peluh
Lalu hafalkan, karena kita akan berjalan ke barat yang lengkap
Di mana dahan demi dahan telah lama mengenalnya
Jangan lupakan bonekamu. Itu warisan ibu
Yang satu waktu juga akan berbicara tentang
bagaimana engkau membaca nama bisu di dadamu
Padangbatu, 2008
Episode Baru
Maka kota bukanlah cita-cita
Setelah jendela merapat di langit utara
dan menara gading -tempat setiap tangan
terbuka-tak lagi kukunjungi selain sekadar
meluruhkan bait-bait peluh bunga kemboja
Telaga. Tangan matahari. Dan muara
Meruapkan sendiri basah mata bocahnya
Kering ranting. Ranggas hening. Juga risau
Akar-akar sabar terhunjam di batu-batu
Aku diam semati karang. Namun tetap
ada nazar yang mesti dibayar
untuk setiap halaman tanah terhampar
Bahu disusun. Tulang dipasang. Jejak digurat
bersama resah keheningan alam. Kuberlari
mengejar matahari: kota semu episode baru
menanti dalam gelagap gagu. Waktu runcing
Waktu yang dulu memapahku menuliskan
nama ibu, seakan kembali membuka pintu
Menawar kuncup mawar dan menyeduhku
ke dalam barat yang telah lengkap. Aku ingin ke sana
ke dahan-dahan yang telah lama mengenalnya
di mana senandung kampung masih bisa kutengok
di beranda ini. Dan betapa pun kota telah menguning
angin itu tak pernah bisa tergantikan warnanya
Lantaidua, 2008
Open House
Aku berkenalan dengan pagi kemarin sore
dan baru sekarang bertemu lagi. Aku berjalan
Tak penting kaki mana yang pertama kali mesti
dilangkahkan. Yang pasti, peta sudah dipegang
Mau ke barat, timur, utara, atau bahkan selatan
Silahkan. Selain itu, tak ada! Kecuali jika kau ingin
kusindir sebagai kafir. Tapi aku tak menghendaki
Sebaiknya kaupegang saja tanganku sambil
melesapkan nafasmu satu-satu ke arah kabut
yang sudah mulai pupur wajahnya. Aku berjalan
Siapa yang menyalakan api unggun di pagi hari
Asap-asap menepati janji bumi, nyala bara adalah
jiwa lelah tak berumah hingga tak ada yang benar
benar nyata selain kaki beku dalam balutan sepatu
Malam sudah pudar. Tapi, siapa yang menyalakan
api unggun? Kutinggalkan pagi terbakar bersama
tonggak-tonggak berdiri mengelilingi kuburan arang
Selamat pagi, siang! Kau bukanlah kunang-kunang
yang mesti diam. Jendela sudah dipecahkan. Di luar
pintu masih terbuka. Berjalanlah tangan telentang
karena tanah pun rumah yang tak perlu tuk diasingkan
Lantaidua, 2008
Panorama Subuh
Seikat subuh. Telah kutinggalkan timur yang jauh
Mimpi berserak memecah benak kabuti malam pengap
Seberkas sinar muncul di seberang jendela kamar
Seperti pertanda bahwa saf mesti dirapikan
Keringat mesti kembali ditabur di antara kubur
Aku tahu aku bukan nabi merogoh kocek barang sepangkal
Kemudian menguncupkan salam demi salam seraya
menyergah matahari walau telah hitam cahayanya
Pun aku tahu bahwa barat adalah tempat segala bijak
Tempat aku meluruskan lidah dan menerjemahkan rahasia
Dengan sungai mengalir menjumpai gigir takdir
Lantas kubangun sila di perempatan jalan
Memandang ke luar lipatan tangan hikmati sudut kebekuan
Sedang di sini orang-orang meneguk laut gelinang kata
Lepaslah malam bagi segala kubangan
Menuangkan anggur para perawi menakwilkan mimpi
Mimpi menjelma ibu mengajariku menulis puisi
Aku menunggu sepucuk tunas tumbuh di kepalaku
Menjulurkan akar-akar sabar hingga kubisa terduduk
di samping keteduhan mutholib mengelus-ngelus punggungku
Lantaidua, 2008