Wilson Nadeak *
cetak.kompas.com
Ketika Shahnon Ahmad (sastrawan Malaysia) memberi ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sekitar tahun 1970-an dalam pertemuan sastrawan Indonesia, Rustandi Kartakusumah yang duduk di sebelah kanan saya tiba-tiba berdiri dan berkata dengan lantang, “Jika Anda ingin mengetahui sastra dunia, pelajarilah sastra Sunda!” Shahnon yang agak terkejut lantas bertanya, “Anda siapa?” “Saya Rustandi Kartakusumah.” “Oh, sama dengan nama anak saya!”.
Peserta yang lain senyum-senyum. Bicara soal anak, Rustandi pastilah tidak berkutik karena sampai tua pun ia masih “kawula muda”. Lalu Rustandi merujuk kepada buah pikirannya yang pernah dicetuskan dalam diskusi di Universitas Indonesia tahun 1950-an.
Rustandi adalah sastrawan Sunda yang terkenal dengan dramanya Merah semua, Putih semua dan sangat bertolak belakang dengan kritikus HB Jassin dalam visi dan penilaian. Rustandi yang banyak berkelana seantero dunia kembali ke tanah leluhurnya dan giat menerjemahkan karya sastra dunia sambil menulis untuk majalah Mangle. Karyanya yang berupa cerita bersambung Mercedes Benz sangat diminati publik pembaca Sunda.
Dia sangat produktif dan giat memajukan pengarang muda Sunda sebagai editor budaya di harian Mandala. Dua tokoh sastrawan Sunda yang berkiprah di dua bahasa (Indonesia dan Sunda) dari tahun 1950-an sampai era 1980-an ialah Ayip Rosidi dan Rustandi Kartakusumah. Keduanya konsisten dalam kesundaannya. Artinya, kedua-duanya giat memotivasi penulis-penulis muda, baik dalam karya Sunda maupun Indonesia. Tradisi Sunda
Secara sosiologis, selepas Perang Dunia II, yang mengusung karya-karya sastra Sunda adalah majalah dan rubrik budaya di surat kabar, khususnya yang memuat puisi. Sebagian besar pengarang Sunda pernah bersentuhan dengan dapur media itu sendiri. Mereka yang terjun di dunia jurnalistik sekaligus menjadi pengasuh ruang budaya dan juga penulis kreatif.
Majalah yang menjadi sarana bagi karya puisi umumnya, pada tahun 1950-an, adalah majalah Warga. Adapun pada tahun 1960-an puisi Sunda banyak bermunculan di majalah Sari, harian Sipatahunan, Wangsit, Sunda, Cempaka, Mangle (yang sampai sekarang masih hidup dan nyaris memasuki usia setengah abad!). Kemudian pada tahun 1970-an muncul Hanjuang, Gondewa, dan sejumlah majalah yang silih berganti: Langensari, Galura, Kalawarta, Kujang, Ciwangkara, Panghegar, dan Kiwari.
Belakangan beberapa penerbit buku Sunda muncul. Sekadar contoh, penyair Rahmat Sas Karana mendirikan penerbit Rahmat Cijulang yang khusus menerbitkan karya-karya sastra Sunda. Beberapa penerbit lain juga bermunculan, yang mencari pasar di antara 30 juta orang Sunda yang kebanyakan berdomisili di Jawa Barat. Majalah dan surat kabar memang lahan yang lebih menjanjikan karena dari segi komersial, honornya lebih cepat ketimbang dari buku, dan pemuatannya lebih cepat.
Yang menjadi masalah ialah kurangnya minat pembaca sastra. Tentang hal ini, bukan saja media Sunda yang mengalaminya. Umumnya, majalah yang bernuansa sastra selalu tidak bertiras banyak. Buku-buku sastra pun pada hakikatnya tidak banyak dicetak seperti buku-buku populer. Akan tetapi, kenyataannya selalu ada pemilik modal idealis yang memberi kesempatan untuk menampung karya sastra.
Jasa para pemilik modal seperti ini tidak dapat dihitung dengan besarnya keuntungan berupa uang, tetapi dengan lahirnya para pengarang yang memberi makanan spiritual bagi setiap generasi. Mereka ini, dengan karyanya yang bermutu, memberi kekuatan moral dan kultural untuk generasi berikut.
Sumbangan dari media yang timbul, mati, dan muncul yang lain dapat kita saksikan dengan hadirnya sejumlah nama di dunia sastra Sunda dan sastra Indonesia.
Pengarang Sunda
Karya sastra Sunda tidak asing pada zaman Balai Pustaka. Tradisi ini kemudian bertumbuh di media-media yang tersebar di pelbagai tempat di Jabar dan umumnya didominasi Bandung. Para penulis generasi Balai Pustaka disambung oleh penulis yang lahir pada tahun 1940-an. Para pengarang yang berkarya dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia (bahasa Indonesia dengan publik pembaca yang lebih luas), untuk menyebut sejumlah nama saja, antara lain Sayudi yang menulis banyak sajak Sunda (bahkan dianugerahi dengan Rancage tahun 1994) juga dikenal sebagai pengarang cerita anak-anak berbahasa Indonesia.
Wahyu Wibisana (seorang pendiri dan merangkap redaktur Mangle) giat memajukan sastra Sunda, juga sebagai dosen di perguruan tinggi. Surachman RM menulis sajak-sajak Sunda pada tahun 1950-an, dan mengumumkan sajak-sajaknya yang berbahasa Indonesia di Siasat, Kisah, Horison, dan sebagainya. Yus Rusyana menulis sajak-sajak Sunda dan memperoleh hadiah Rancage tahun 2000. Apip Mustopa menulis puisi Sunda dan Indonesia.
Ayat Rohaedi menulis sajak dan cerpen, baik yang berbahasa Sunda maupun Indonesia. Rachmat Sas Karana menulis karya sastra dan menerbitkan karya sastra Sunda. Abdullah Mustappa yang pernah menjadi redaktur Mangle menulis sajak dan cerpen Sunda serta memilih cerpen yang pernah dimuat di Mangle dengan judul “Sawidak Carita Pondok” (1982).
Usep Romli dengan sajak, cerita anak, bahkan menerjemahkan puisi Palestina, Eddy D Iskandar dengan karya Sunda serius, dengan karya novel pop Indonesianya, Beni Setia dan Juniarso Ridwan yang bersajak dalam bahasa Indonesia dan Sunda, Godi Suwarna (Rancage tahun 1992), Etty RS (Rancage tahun 1995 dan 2009), Acep Zamzam Noor, Karno Kartadibrata (sampai kini redaktur Mangle), dan lainnya.
Bagaimanapun, upaya Ayip Rosidi dari waktu ke waktu pantas dihargai. Ia tidak henti-hentinya mengekalkan karya sastra Sunda dan sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar. Atas upayanya, telah terbit buku puisi Sunda modern dalam dua bahasa dan juga tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, dan Perancis, melalui penerbit Pustaka Jaya. Sekadar apresiasi, di bawah ini dimuat sajak Sunda Yus Rusyana (terjemahan Indonesia oleh Ayip Rosidi): Sarebu Bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan Katilu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan Sarebu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan nyorangan
Kadua bulan
Dina hiji peuting taya saurang nu jalan-jalan
Ngan kari bulan
Seribu Bulan
Pada suatu malam kita berdua berjalan-jalan
Bertiga dengan bulan
Pada suatu malam kita berdua berjalan-jalan
Seribu bulan
Pada suatu malam kita berjalan-jalan sendirian
Berdua dengan bulan
Pada suatu malam tak seorangpun yang berjalan-jalan
Hanya tinggal bulan
Ke dalam bahasa Batak
Saribu Bulan
Di sada borngin hita na dua rap mardalan-dalan
Tolu mai dohot bulan
Di sada borngin hita na dua rap mardalan-dalan
Saribu bulan
Di sada borngin sahalak-halak hita mardalan
Rap hita na dua dohot bulan
Di sada borngin sahalak pe ndang adong mardalan-dalan
Tinggal holan bulan
*) Wilson Nadeak, Budayawan.