B. Atmi Sani Pertiwi
http://www.mediaindonesia.com/
JAPAN Edu-Cultural Week (JECW) menjadi jembatan mahasiswa Indonesia dengan negeri Sakura, sekaligus cerminan bahwa persahabatan antarnegara memang dibina melalui pemahaman budaya dan pertukaran pelajar.
Halaman Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) meriah dengan keberadaan panggung terbuka yang menampilkan tarian Hiroshima Waku-Waku oleh mahasiswa Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang (Himaje) UGM. Hari itu memang hari pertama digelarnya JECW yang digelar sejak 11 hingga 15 November 2009 dalam rangka memperingati 20 tahun Jurusan Sastra Jepang.
Bekerjasama dengan Kedutaan Besar Jepang, beragam kegiatan yang menambah informasi tentang pendidikan dan budaya Jepang disuguhkan, dengan harapan lebih banyak mahasiswa Indonesia belajar ke Negeri Sakura. Meski awalnya hanya akan mengangkat budaya Jepang, tawaran kerjasama dari Kedubes Jepang untuk membahas pendidikan disambut baik Himaje. “Kami ingin masyarakat luas mengetahui sistem pendidikan di Jepang,” jelas Bayu Septian Wipriyanto, koordinator sie acara JECW.
Pengenalan pendidikan dikupas mendalam melalui gelaran “Seminar dan Konsultasi Pendidikan” pada 12 November menghadirkan narasumber Verawati dari Japan Student Service Organization (JASSO) Jakarta, sebuah lembaga non-profit dibawah pemerintah Jepang. Lebih menarik lagi, Ir. Tumiran, M. Eng, Ph.D, Dekan Fakultas Teknik UGM yang juga alumni pendidikan di Jepang turut berbagi pengalaman.
Sebelumnya, ditampilkan pula video “Bridges to Japan” untuk menggambarkan sistem pendidikan, syarat belajar, serta pengalaman mahasiswa internasional di Jepang. Sebab, meski hubungan Indonesia-Jepang telah berjalan lebih dari 100 tahun, tetap saja tidak semua mahasiswa mendapat informasi tentang besarnya peluang belajar di Negeri Matahari terbit.
Menurut Tumiran, kemampuan Jepang mempertahankan warisan budayanya adalah nilai tambah tersendiri bila yang bisa diambil bila dibanding dengan belajar di negara lain. “Ilmu dimanapun sama, tapi yang kita lihat dari Jepang adalah kenapa negara ini leading?,” tutur alumni Saitama University tersebut.
Selain kedisiplinan, Indonesia juga perlu belajar tentang kerja keras pada Jepang. Dikatakan Tumiran, awalnya banyak orang yang mengalami stres hidup di Jepang sebab segala sesuatu serba teratur.
“Kalau mau rileks, gak usah ke Jepang,” ungkap beliau tergelak. Hasil kerja keras itu dipetik di tanah air. Pak Tumiran melihat sejumlah kawannya yang juga alumni pendidikan Jepang turut berkontribusi bagi Indonesia. Beliau sendiri, kini menjadi salah satu anggota Dewan Energi Nasional.
Jepang memang sangat gencar mengundang mahasiswa dari berbagai negara untuk belajar di sana melalui pemberian beasiswa. Sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, negeri matahari terbit ini menargetkan kedatangan 300.000 mahasiswa internasional hingga tahun 2020.
Dikatakan Verawati, program pemberian beasiswa merupakan strategi global Jepang untuk penyebaran budaya dan peningkatan ekonomi. “Jepang ingin expand money, people, and information,” jelas wanita berkacamata ini. Bangsa Jepang menyadari bahwa mereka tidak bisa berdiri sendiri. “Ini adalah strategi membangun global network,” tambah Tumiran.
Dana Beasiswa
Menanggapi pertanyaan tentang penyusutan besar uang beasiswa, Verawati menjelaskan bahwa penyesuaian besar uang beasiswa tidak akan mengganggu aktivitas belajar penerimanya. Sebab, uang beasiswa yang bervariasi antara 23.000 yen hingga 152.000 yen sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk standar hidup di Jepang.
Ditambahkan Verawati, ini terjadi karena beasiswa yang diberikan pemerintah Jepang untuk mahasiswa internasional terlalu besar sehingga mengundang sikap kritis masyarakat lokal. “Mahasiswa internasional adalah anak emas di Jepang, ” tuturnya. Ditimpali Tumiran, “Gaji pegawai di Jepang saja 30.000 yen sampai 40.000 yen.”
Untuk lebih memudahkan peserta, dibuka buka sesi konsultasi secara personal dengan JASSO. Andri Wahyu, peserta konsultasi beasiswa dari Jurusan Antropologi mengaku terbantu dengan fasilitas ini. Persepsinya tentang jenis beasiswa Jepang yang kebanyakan mengutamakan jurusan ilmu eksakta pun berubah. “Ternyata ada juga beasiswa untuk bidang ilmu sosio-humaniora,” ucapnya lega.
Hari berikutnya, 13 November, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kojiro Shiojiri hadir memberikan kuliah berbahasa Jepang seputar hubungan kedua negara dalam bidang pendidikan dan budaya. Beliau menggambarkan persamaan Jepang dengan Indonesia bedasar hasil pengamatan selama tinggal di sini. “Indonesia seperti Jepang, banyak wilayah pegunungan,” ujarnya. Menjawab peserta yang kembali bertanya tentang pengurangan uang beasiswa dari pemerintah Jepang yang berkurang, Shiojiri menjanjikan akan berusaha menaikkan.
Menyambung kuliah duta besar, sisi pengenalan budaya menghadirkan “Demo Seniman Jepang” oleh Hiromi Kano. Unik, Hiromi beserta dua orang seniman Jepang wanita lainnya yang berpakaian kebaya, justru menampilkan kebudayaan Indonesia yaitu seni karawitan. Aula University Center UGM hening untuk sesaat kemudian menggemakan tepuk tangan apresiasi hadirin menyimak kepiawaian sinden Hiromi mulai melantunkan tembang Jawa.
Sejak 1996, Hiromi memang telah menekuni kesenian ini dan ingin mengenalkannya pada orang Jepang. “Saya ingin menjadi jembatan bagi orang Jepang di Indonesia dengan kebudayaan Jawa,” ucap Hiromi. Meski pada awalnya mengalami kesulitan belajar menjadi sinden, kehidupan di Yogyakarta yang dikelilingi orang Jawa membuat Hiromi akrab dengan bahasa dan budaya lokal.
Salah satu peserta, Husnita, mengaku termotivasi melihat Hiromi serius mempelajari budaya Indonesia. Sebagai orang Indonesia, kita juga harus bisa memperkenalkan budaya kita pada orang Jepang,” kata mahasiswi Jurusan Sastra Jepang UGM itu.
Sebaliknya, usai penampilan Hiromi, sekira 30 mahasiswa Himaje tampil kompak menarikan Yosakoi Sohran-bushi, tarian Jepang. Yoko Kawai, mahasiswi Wisma Bahasa FIB asal Jepang mengaku senang melihat orang Indonesia mau mempelajari budaya Jepang. “Saya bahkan baru pertama kali lihat tarian itu di Indonesia,” kata Yoko antusias.
Sedangkan pada 14 dan 15 November, peserta pun berkesempatan mencicipi aneka makanan Jepang seperti takoyaki, onigiri, dan nasi kare. Tidak hanya itu, pemutaran film Jepang, bekerjasama dengan Japan Foundation, turut menambah keragaman kegiatan.
“Film sengaja dipilih yang bertema klasik dan menonjolkan sastra Jepang,” dikatakan Sekar Nurani Siregar, ketua panitia JECW. Di antaranya, film “Bayangan Kalbu” dan “Miyamoto Musashi” yang diangkat dari novel Kawabata Yasunari, orang Jepang pertama peraih penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Film-film keluaran tahun 50 hingga 70-an yang membuka wawasan untuk memahami budaya Jepang menjadi penutup rangkaian kegiatan JECW.***