Fahrudin Nasrulloh *
jawapos.co.id
”Puisi tiba-tiba jadi
kayak penyakit
harus ditulis terus-menerus”
— Afrizal Malna —
SIAPA kini yang membutuhkan puisi dan kenapa penyair terus menuliskannya? Tentu pertanyaan itu tampak klise, tapi sejarah kesusastraan Indonesia adalah kenyataan. Ia tidak lahir dari omong kosong. Bagi Afrizal Malna, puisi mungkin sudah mati. Ia mati atau dapat lebih menguar ketika terus dibenturkan dalam konteks filsafat. Misalnya, ketika pertarungan estetis dan eksistentialis tak menemukan ujungnya. Ada perkara subversif lain menggerogoti, katakanlah teknologi dan dampak dehumanisasi, yang lebih ajaib dan menggila menerobos kehidupan sehari-hari. Tak ada lagi keindahan, yang ada hanyalah kekacauan.
Alasan itulah yang kiranya membuat Afrizal kerap diburu cemas pada apa yang selama ini dikenalinya: rumah, keluarga, tradisi, benda-benda, hegemoni politik, kemanusiaan yang labil, bahkan pada problem bahasa itu sendiri. Kecemasan-kecemasan tersebut, tanpa tahu alasan pasti kenapa dia masih saja menulis puisi, justru melahirkan puisi-puisi. Ada semacam upaya pencarian. Atau, tepatnya ”mengalirkan diri” dalam misteri peristiwa kesehariannya yang lebih meyakinkan jalan puisinya atau barangkali menghancurkannya ketika dia sepakat bahwa menyatakan sesuatu tak cukup lagi dengan puisi.
Dari situlah, bersama penerbit Omah Sore, di sepanjang Januari 2010, Afrizal menggotong lima antologi puisinya dan video art untuk didiskusikan dalam suatu road show mulai Jogja, Surabaya, Mojokerto, Malang, Sumenep, hingga Solo. Lima kumpulan itu adalah Abad yang Berlari, Yang Berdiam dalam Mikropon, Arsitektur Hujan, Kalung dari Teman, dan Pidato-Pidato dari Bantal Berasap.
Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) dan Dewan Kesenian Mojokerto (DKM), diskusi buku-buku Afrizal tersebut diadakan di SMA PGRI I, Mojokerto, pada 24 Januari 2010. Dalam diskusi tersebut, setidaknya ada lima hal yang disodorkan Afrizal. Itu cukup menarik sebagai semacam ”retrospeksi kepenyairan Afrizal” oleh dirinya sendiri dalam mendialektikkan kembara puisi-puisinya. Saya hadirkan lima hal itu dalam bentuk transkrip rekaman:
The Other
”Saya selalu merasa takut kehilangan kebebasan saya, termasuk kebebasan untuk tidak menulis puisi. Dan, saya merasa tidak cocok dengan apa itu keluarga, jadi saya tinggalin keluarga. Saya tidak tahu kuburan ayah ibu saya di mana. Jadi, saya sendirian. Saya pernah berkeluarga sekali, setelah itu pisah. Pisah itu membuat saya trauma. Sampai sekarang saya tidak punya rumah karena di kepala saya masih aneh, kenapa orang harus punya rumah. Karena saya berpikir orang harus berjalan dan dia tidak bisa berjalan kalau punya rumah. Kecuali dia seperti keong, yang rumahnya adalah kendaraan untuk dia berjalan.
Saya pernah sangat absurd kalau masuk rumah. Maka, muncul banyak imaji ruang tamu dalam karir kepenyairan saya. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi. Saya justru cemas kalau saya tetap menulis puisi, padahal saya nggak punya alasan untuk menulis. Sehingga, puisi tiba-tiba menjadi kayak penyakit, harus ditulis terus-menerus. Saya melihat, hidup itu sangat luas jika dibandingkan dengan puisi. Setelah itu saya meninggalkan Jakarta menjadi the other. Saya senang jadi the other, hanya jadi seseorang. Dekat dengan kegiatan sehari-hari, menyapu dan menyiram tanaman.”
Demokratisasi Sastra
”Sekarang ini ada gejala demokratisasi sastra. Gejalanya berbeda-beda. Misalnya, muncul generasi penyair yang antirezim sastra. Mereka menulis puisi tidak untuk diterbitkan. Mereka menulis untuk teman-teman dekat mereka. Tidak seperti generasi sastra kita sekarang ini.
Gejala lain adalah sastra koran. Gejala lain demokratisasi sastra. Di Eropa tidak ada sastra koran. Adanya sastra buku. Sebab, Eropa memiliki infrastruktur wacana yang sangat kuat. Yakni, dari lembaga akademik sampai pemberian hadiah Nobel. Itulah rezim wacana yang paling terang. Dan, di Indonesia infrastruktur itu ditiru. Seakan-akan dalam sastra ada rezim. Rezim yang menghasilkan generasi estetika ini itu atau rezim itu dikuasai para kritikus yang menilai puisi-puisi kita. Padahal, puisi-puisi tersebut masuk koran. Dan, koran itu media publik, bukan media sastra.
Sekarang demokratisasi sastra didesakkan munculnya internet. Segala kemungkinan terjadi di sana. Karena itu, pembaca harus punya strategi membaca sendiri untuk membaca. Tidak hanya strategi penulis untuk menulis.”
Estetika Bahasa
”Sampai pada Abad yang Berlari, saya masih menganggap puisi itu sebagai estetika bahasa. Penyair menggunakan bahasa untuk estetikanya. Tapi, setelah Abad yang Berlari, saya harus mencuci pikiran saya. Karena saya pikir, saya hidup di ”zaman sampah”. Semua sudah jadi sampah. Tidak ada lagi yang luhur. Apa yang lahir di zaman penyair-penyair romantik karena kita masih menemukan keindahan, sekarang tidak ada keindahan. Detail telah dibunuh oleh kecepatan dan penggandaan. Di kesenian prinsip-prinsip percepatan dan penggandaan itu menghasilkan strategi yang berbeda.
Saya kira setiap seniman memainkan banyak strategi untuk membuat waktu, untuk membuat ruang, dan itu yang membuat saya menulis puisi dengan cara berpikir benda-benda. Kalau saya berpikir dengan bahasa, tidak mungkin lapangan basket masuk ke dalam puisi. Pasti akan ada sensor. Tapi, di mata saya ada. Jadi, saya lebih membela mata saya daripada bahasa. Mata saya yang membawa semuanya, tinggal bagaimana kemudian seorang penyair bergelut dengan struktur. Yang membuat puisi saya sedikit berbeda, saya bekerja di tingkat karakter dan struktur. Empat tahun hanya lahir 23 puisi. Sebenarnya lebih dari 23 puisi, tapi saya buang. Karena memang untuk apa dipertahankan. Mereka sudah gagal.”
Video Art dan Puisi Gelap
”Saya termasuk orang yang tidak bisa mengambil keputusan saya harus berada di mana. Karena ketika saya menjadi penyair, itu satu pilihan yang telanjur salah. Saya menyadari setelah menjelang reformasi bahwa saya ada di tutup botol. Ketika saya menilis puisi, disebut penyair, saya terjebak di leher botol. Saya merasa tercekik di situ. Dan, yang saya lakukan adalah bergaul dengan banyak media. Setiap media punya karakter. Jadi, video saya tidak untuk mengatakan puisi saya. Dari sini persoalan bahasa terjadi. Saya baru membaca sebuah cerpen ilmiah karya Primolevi, keturunan Yahudi, berjudul Bintang Hening. ”Saya tidak bisa ke dunia bintang-bintang itu dengan kamus,” katanya dalam cerpennya.
Kamus tidak lahir dari dunia perbintangan. Ada kesulitan bagaimana bahasa bisa merumuskan besarnya bintang dengan besarnya matahari. Dengan video, bahasa bisa mendeskripsikan kecepatan tanpa menggunakan kata ”cepat”. Nah, itu yang membuat kegelapan-kegelapan di dalam puisi. Puisi menjadi terang ketika basis reproduksinya jelas. Misalnya, kalau basis reproduksinya agama, politik, hal-hal yang primordial, itu jelas bisa dibaca. Apakah kita begitu panik menghadapi sebuah dunia yang gelap? Atau apa artinya kepanikan kita kalau ternyata yang kita temukan adalah kehampaan atau kegelapan?”
Saatnya Revolusi Kesenian?
”Sebenarnya ada suatu gejala yang saya sebut sebagai guncangan media terhadap estetika Hegel. Hegel membuat anatomi estikanya itu dari arsitektur ke patung, dari patung ke seni rupa, dari seni rupa ke musik. Dan, paling akhir ke puisi. Jadi, Hegel menganggap puisi adalah pencapaian estetika yang paling tinggi. Tapi, waktu itu Hegel tidak tahu akan munculnya media digital. Media digital tersebut muncul dan memorak-porandakan anatomi itu.
Sebenarnya media digital mendaur ulang semua itu menjadi semacam instalasi. Beberapa seniman mengambil eksekusi sendiri atas guncangan media tersebut. Seperti penyair Hungaria yang melakukan performance art. Dia merasa puisi sudah mati. Di situ saya merasa ada struktur, ada sensitivitas, ada detail, yang langsung ke otak. Saya cenderung menyebut itu sebagai solusi dari guncangan tersebut. Jadi, 5 sampai 10 tahun ke depan kita tidak tahu nasib kesenian. Yang menjaganya mungkin semacam dewan kesenian, institut seni, para redaktur, atau yang lain, padahal mungkin realitasnya itu semua sudah mati. Nah, kita tidak tahu siapa yang harus meletuskan revolusi di dalam kesenian itu.”
Cinta, puisi, kecemasan, dan teka-teki hidup adalah seluruh keheranan juga kekacauan Afrizal dalam memasuki dunia manusia. Adakah yang tak selesai dari Afrizal? Dia hanya ingin jadi seseorang, tapi telanjur jadi manusia.
*) Penggiat Komunitas Lembah Pring, Jombang