M. Sholahuddin*
http://www.jawapos.co.id/
KITA tentu masih ingat bagaimana Pak Harto berpidato? Saat penguasa Orde Baru itu menyampaikan pidato di televisi, sebagian di antara kita lebih memilih meninggalkan atau mematikan televisi. Mengapa? Sebab, ibarat makanan, pidatonya kurang menggugah selera. Baik isi maupun cara penyampaiannya. Mungkin satu-satunya pidato Pak Harto yang banyak ditunggu dan disaksikan jutaan pemirsa ialah pidato pengunduran dirinya atau lengser keprabon dari kursi presiden yang sudah dijabatnya selama 32 tahun.
Bandingkan dengan pidato Bung Tomo. Banyak di antara kita sepakat bahwa pidato tokoh yang belum lama dinobatkan sebagai pahlawan nasional itu sangat istimewa. Dengan membaca teks-teks pidato Bung Tomo saja, kita sudah bisa hanyut dalam nuansa heroisme yang menyala-nyala. Apalagi mendengar pidatonya langsung.
Selain Bung Tomo, orator andal negeri ini tidak lain adalah sang proklamator Bung Karno. Hampir seluruh materi pidatonya menarik dan menjadi perburuan banyak kalangan. Bahkan hingga kini.
Tidaklah mudah menjadikan pidato tidak sekadar pidato biasa-biasa saja. Nah, di buku berjudul In Our Time (Pidato-Pidato yang Membentuk Dunia Modern) karya Hywell Williams inilah agaknya kita bisa menemukan pidato-pidato yang tidak biasa alias luar biaya. Buku ini menyajikan 40 pidato sejak 1945 yang paling dikenang, lantang, dan berpengaruh. Ruang lingkup pilihan Hywell Williams yang berprofesi sebagai sejarawan, jurnalis, dan penyiar ini boleh dikatakan sangat kaya dengan nuansa.
In Our Time merupakan sebuah ontologi berisi banyak suara. Ada diktator, tokoh demokrat, liberal hingga konservatif, tokoh nasionalis, prajurit, pejuang perdamaian, negarawan, hingga pengusaha. Mereka adalah tokoh-tokoh menonjol di abad ke-20 dan awal abad ke-21. Di antaranya, Winston Churchill dan Charles de Gaulle, John F. Kennedy dan Martin Luther King Jr, Jawaharlal Nehru dan Gamal Abdul Nasser, serta Nelson Mandela dan Mao Zedong. Isi dan tema pidato yang terangkum dalam buku ini sarat dan bervariasi. Mulai situasi di era rekonstruksi pascaperang hingga bangkitnya kekuatan politik Islam di dunia sejak awal abad ke-21.
Buku ini dimulai dengan pidato berisi peringatan keras akan ancaman totalitarianisme hingga pidato yang menyambut kemerdekaan yang telah lama diperjuangkan. Ada juga pidato yang mendesak perubahan politik hingga seruan mempertahankan prinsip-prinsip moral. Dalam buku ini ada juga biografi singkat sang orator, uraian ringkas tentang situasi yang melatari, serta tinjauan dampak, dan konsekuensi dari setiap pidato. Dengan demikian, mereka yang masih awam sekalipun diharapkan bisa lebih mencerna pidato sang orator.
Di banyak negara, pidato masih merupakan hal yang penting untuk menyampaikan sesuatu atau memberikan penjelasan kepada publik. Di Amerika Serikat, kepiawaian berpidato kerap dihubung-hubungkan dengan kompetensi kepemimpinan seseorang. Kabarnya, seorang presiden AS bahkan sampai memiliki agenda tetap untuk berpidato. Di negara kita, meski belum dianggap sebagai hal yang sangat vital, sebetulnya pidato juga terbilang memiliki pengaruh yang tidak kecil. Lepas dari sisi negatif dan positifnya, Presiden SBY termasuk sedikit tokoh di negeri ini yang cukup piawai bermain seni pidato.
Pidato adalah salah satu di antara sekian banyak media komunikasi politik yang paling sering digunakan. Efektif atau tidaknya sebuah pidato tentu bersifat relatif. Banyak hal yang melatari. Tidak sekadar isi, kapan, dan di mana, suasana seperti apa juga ikut menentukan. Contohnya, pidato Barack Obama tentang masalah rasial ketika hendak dikukuhkan sebagai calon resmi Partai Demokrat menyongsong pemilu kepresidenan. Presiden yang masa kecilnya pernah tinggal di Menteng, Jakarta, itu memilih Philadelpia sebagai tempat untuk berpidato tentang isu rasial (hlm. 214). Philadelpia dipilih Obama karena menjadi tempat Konvensi Federal berlangsung pada 1787 untuk menyusun konstitusi AS. Pemilihan tempat itu mencuatkan secara intelektual maupun emosional bahwa persatuan nasional merupakan sebuah proses dinamis. Bukannya suatu tujuan akhir yang statis.
”Kita adalah bangsa yang ingin membentuk sebuah himpunan yang lebih sempurna,” kata Obama dalam salah satu bait pidatonya itu.
Membaca buku ini, setidaknya kita bisa menarik sebuah benang merah bahwa kemampuan membangkitkan minat intelektual dan emosional orang banyak melalui penyampaian buah pikiran dan isi hati secara tertata rapi, salah satunya merupakan dasar dari pidato hebat. Seperti kata mantan Ketua MPR Amien Rais saat membedah buku ini di Jakarta pada 28 Januari, bahwa ada style, substansi, dan impact yang menentukan sebuah pidato. Sedangkan menurut Makarim Wibisono, rata-rata pidato yang banyak dikenang dan berpengaruh itu bersumber dari orang-orang yang punya konduite idealisme teruji dari masa ke masa serta pernah mengalami pahitnya hidup.
Kalaupun ada yang mungkin kurang dalam buku ini, bisa jadi salah satunya adalah pemilihan tokoh dan pemilihan tema pidatonya. Sebab, bukan tidak mungkin, masih ada sejumlah tokoh atau teks pidato yang lebih luar biasa daripada yang tersaji dalam buku ini. Misalnya, kenapa bukan pidato Obama tentang Permulaan Baru AS dengan Dunia Muslim di Mesir pada 4 Juni 2009 yang dipilih. Bukankah pidato itu banyak menyita perhatian dunia? Atau, bagi kita, mungkin berhak bertanya kenapa pidato Bung Karno yang juga banyak menyuarakan isu-isu dunia tidak dipilih si penulis. Toh, Bung Karno juga termasuk tokoh dunia yang disegani pada zamannya.
Namun, membaca biografi singkat tokoh serta teks-teks pidato dalam buku ini tetaplah menarik. Terasa ada kenikmatan tersendiri. Dan, kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks pidato itu bisa membantu pembaca dalam membangun sebuah dunia bagi dirinya sendiri. (*)
*) Wartawan Jawa Pos.
—
Judul: In Our Time, Pidato yang Membentuk Dunia Modern
Pengarang: Hywell Williams
Penerjemah: Haris Munandar MA
Editor: Daniel P. Purba
Penerbit: ESENSI Jakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2010
Tebal: 220 halaman