Catatan Anak Ideologis Gus Dur

Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur

Adhika Prasetya
suaramerdeka.com

Sejak KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur berpulang, para penerbit tampak berlomba-lomba memublikasikan buku tentang mantan Presiden ke-4 RI ini. Pribadi Gus Dur dibahas di dalam banyak buku dari berbagai sisi. Salah satu yang ikut meramaikan adalah buku ini.

Buku ini terasa lebih istimewa dari buku-buku lain karena ditulis langsung oleh ?anak ideologis? Gus Dur yang sudah lebih dari 20 tahun menjalin hubungan yang sangat dekat dengan cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Dia adalah Ali Masyur Musa, Tokoh muda NU yang saat ini menjabat sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sebagian besar uraian menyangkut pemikiran politik Gus Dur dalam buku ini diambil dari tesis Ali Masykur Musa ketika menyelesaikan program pascasar- jana di Program S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tesis tersebut diberi judul Pemikiran Politik Nahdlatul Ulama Periode 1987-1994 (Studi tentang Paham Kebangsaan Indonesia). Bagi Ali Masykur Musa yang saat ini telah bergelar doktor, Gus Dur merupakan guru, pembimbing, dan bapak yang banyak memberi pengajaran, pencerdasan, dan pencerahan, baik dalam hal pemikiran, sikap kebangsaan, maupun kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana biografi, buku ini juga diawali dengan cerita tentang kisah masa kecil dan masa muda Gus Dur. Beberapa hal menarik yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia pada umumnya juga terungkap. Di antaranya tanggal lahir Gus Dur, yang sebenarnya jatuh pada 7 September 1940. Padahal informasi tang- gal lahir Gus Dur yang sering terungkap di berbagai media dan publikasi adalah 4 Agustus 1940.

Selain itu, Gus Dur sebenarnya bernama asli Abdurrahman Addakhil. Addakhil diambil dari nama seorang pejuang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dalam rangka mengembangkan Agama Islam. Secara harafiah, Addakhil berarti ?Sang Penakluk?. Namun rupanya kata ini tidak cukup dikenal dan terhitung berat untuk ?dibawa?, sehingga kemudian Gus Dur menggantinya dengan Wahid, mengambil nama depan sang ayah yang merupakan mantan Menteri Agama perta- ma RI, KH Wahid Hasyim.

Dalam wawancara dengan wartawan, seperti yang dilansir oleh sebuah media online, Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia sesungguhnya masih memiliki darah Tionghoa dan keturunan dari Tan Kim Han, yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah, pendiri kesultanan Demak yang aslinya bernama Tan Eng Hwa. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, seorang putri Tiongkok yang menjadi selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis-Charles Damais, peneliti Prancis, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur.

Ruang Luas

Dalam buku ini dijabarkan bahwa sebagai muslim, Gus Dur adalah seorang yang memberi ruang sangat luas untuk membangun sebuah dialog. Agama bagi Gus Dur bukan doktrin yang kaku. Agama, sebagai hak fitrah yang melekat di setiap manusia, merupakan hidayah dari Allah SWT yang berperan penting dalam pembentukan pola pikir, sikap, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, nilai keagamaan seseorang tidak dinilai dari atribut-atribut keagamaan yang dikenakan, tetapi pada perilaku keseharian. Dan, Gus Dur percaya, implementasi agama dalam perilaku keseharian inilah yang justru menempatkan Islam sebagai agama ?Rahmatan Lil Alamin?, bukan dengan cara-cara memformalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di bidang politik yang menjadi inti dari buku ini dijelaskan bahwa akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanisme- insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan pruralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial (social harmony). Menurut Gus Dur, kedua elemen asasi tersebut dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.

Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariah sebagaimana prinsip NU.

Karena itu, di dalam politik, Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara. Segala bentuk eksklusivisme dan sektarianisme politik harus dihindari. Ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara, menurut Gus Dur, juga harus dihindari karena tuntutan-tuntutan ini jelas berlawanan dengan azas kesetaraan (egalitarianisme) bagi warga negara.

Seperti yang ditulis Ali Masykur Musa dalam buku ini, pada akhirnya, peran sosial politik Gus Dur tidak boleh dipahami dari seberapa banyak sumbangan materi yang telah diberikannya pada rakyat secara langsung, melainkan bagaimana ia menggagas, merencanakan, dan menjalankan program-program pembebasan terhadap penderitaan rakyat.

Selain itu, bagaimana ia mengadaptasi nilai-nilai agama dan budaya bangsa ke dalam tindakan nyata, untuk membantu mencari pemecahan bagi berbagai persoalan kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป