Dari Surau Berbekal Akhlak

Ahmad Thohari
http://www.republika.co.id/

Selama 20 hari di Tanah Minang, saya bersama penyair D Zawawi Imron telah berziarah ke kampung tempat kelahiran orang-orang besar yang mencatatkan nama mereka dalam sejarah Indonesia. Saya menghirup udara dan mencoba menangkap pancaran semangat kampung H Agus Salim dan Sutan Sjahrir di Koto Gadang; kampung Bung Hatta di Bukit Tinggi; kampung Buya Hamka dan Nur St Iskandar di Sungai Batang, Maninjau; kampung M Natsir di Alahan Panjang, Solok; kampung Syeh Burhanuddin Ulakan, Pasaman; kampung Syeh Ibrahim Musa, Parabek; kampung Tan Malaka di Payakumbuh, sampai kampung Haji Miskin di Pande Sikek, Padang Panjang.

Ketika berada di rumah kelahiran H Agus Salim yang kini hanya dijaga oleh seorang perempuan penunggu, saya termenung lama. Rumah ini berada di ujung gang, berlatar hutan. Saat ini pun, mobil sulit masuk. Surau tempat si kecil Masyhudul Haq (yang kemudian berubah menjadi Agus Salim) dulu mengaji berada di tepi sawah dan kini sudah dibangun ulang. Saya membayangkan, ketika H Agus Salim masih anak-anak, alangkah sunyi tempat itu. Dan, di belakang rumah sana, pastilah hutan lebat. Namun, dari tempat sunyi inilah, muncul seorang pemimpin bangsa yang amat mumpuni dan punya integritas tinggi.

Demikian juga ketika berada di tempat kelahiran Buya Hamka di Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau. Alangkah terpencil dan sepi tempat ini. Dan, bagaimana keadaan seabad yang lalu ketika si Malik (Buya Hamka) masih bocah. Bila mau ke Bukit Tinggi, alangkah berat jalannya. Harus merayap naik melewati Kelok 44 yang terkenal itu. Naik sepeda, tak mungkin. Konon, kendaraan yang mungkin adalah pedati. Tapi, kenyataannya, orang-orang besar yang saya sebut tadi lahir dan menempuh masa anak-anak di tempat seperti itu. Jadi, faktor apa saja yang menyebabkan mereka bisa meraih derajat intelektual dan kesalehan yang demikian tinggi?

Surau. Agaknya, di surau yang saat itu menjadi tampat semua anak lelaki berkumpul untuk ngaji, bersilat, dan tidur bersama adalah basis awal mereka menyerap nilai-nilai akhlak mulia. Nilai-nilai itu bersumber pada agama ataupun adat dan diajarkan oleh para guru yang penuh dedikasi. Tokoh-tokoh, seperti H Agus Salim, Buya Hamka, Bung Hatta, dan lainnya, tentu sudah menyerap nilai-nilai kesalehan hidup itu sejak mereka ngaji di surau. Dan, nilai-nilai itu terbukti menjadi tiang utama kepribadian mereka di kemudian hari.

Namun, untuk membangun kepribadian yang kukuh, modal surau saja rasanya belum cukup. Para tokoh yang sedang kita bicarakan ini ternyata juga orang-orang yang sangat haus ilmu. Maka, setelah khatam dari surau, mereka merantau meninggalkan kesunyian kampung untuk pergi ke kota, ke Pulau Jawa, bahkan ke luar negeri. Mereka bukan dari keluarga kaya. Maka, perantauan mereka lebih didorong oleh semangat cinta dan haus pengetahuan. Tapi, dari manakah kiranya datang semangat cinta ilmu yang memenuhi jiwa mereka itu?

Boleh jadi, jawabnya adalah rasa ingin tahu atau kuriositas yang memang manjadi bagian naluri dasar manusia. Namun, jawaban ini terasa naif apabila kita tidak mempertimbangkan segi ajaran Islam yang jelas sekali mewajibkan kaum Muslim lelaki dan perempuan menuntut ilmu sepanjang hayat. Ada lagi perintah agama untuk mencari ilmu sampai ke Cina sekalipun. Dan, hampir pasti, orang-orang besar tadi sudah meresapi ajaran ini sejak mereka ngaji di surau. Maka, bersinergilah naluri dasar manusia dan ajaran menjadi semangat cinta ilmu yang tumbuh di atas nilai-nilai yang sudah tertanam lebih dulu, yakni nilai akhlak agama dan adat.

Ketika terbang meninggalkan Tanah Minang, ada pertanyaan yang mendengung di belakang kepala saya: bagaimana dengan para tokoh generasi sekarang? Tentu, satu dua ada yang punya riwayat, seperti H Agus Salim atau M Natsir tadi. Mereka mendapat bekal nilai-nilai akhlak sejak anak-anak, lalu menuntut ilmu sampai jenjang yang tinggi. Namun, bila diperhatikan secara umum, rasanya banyak hal yang beda. Soal ilmu dan intelektualitas, siapa bilang pemimpin sekarang kalah dengan pemimpin masa lalu. Namun, soal akhlak dan integritas, di sinilah bedanya. Kebanyakan pemimpin sekarang kurang mendapat pendidikan akhlak atau budi pekerti ketika masih anak-anak dan akibatnya sudah sangat nyata.

Bila demikian, apakah kita harus kembali ke tradisi surau? Mungkin tidak. Tapi, apa pun yang hendak kita lakukan dan bagaimanapun bentuknya, kuncinya tetap sama: penanaman nilai-nilai akhlak sejak masa anak-anak di surau, di rumah, atau di sekolah. Ironisnya, hal ini banyak dilupakan.

Leave a Reply

Bahasa ยป